Share

9. Kehidupan Baru

“Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.

“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.

“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”

“Kau juga bisa kalau mau.”

“Belum ada modalnya, Mas.”

“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”

Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”

Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nanda. Anak kos di sebelah rumah kontrakan yang sudah dua tahun dikenalnya.

“Silakan, Mbak.”

Dua sahabat Nanda mengangguk lalu mencoba tersenyum, menggoda sang pemilik warung. Wildan pura-pura tidak melihat. Setelah meletakkan tiga mangkuk seblak, ia segera meninggalkan mereka.

“tiga es teh ya, Mas.” Psan salah satu sahabat Nanda dengan suara manja.”

“Ya. Tunggu sebentar.’

“OK”

“Ih, apaan sih kamu genit banget.” Protes Nanda dengan nada kesal.

“Kau bilang tadi kan kalau aku bebas mengatakan apapun di sini ? Asal aku yang traktir kan?’

“Tapi jangan kecentilan begitu kale, norak tau? Mas Wildan pasti juga tidak suka kalau melihat kau terlalu agresif.”

“Maksudnya apa ya, Nda?” Nanda diam. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Wildan sudah berada di sampingnya. Ia bingung harus menjelaskan apa pada Wildan. Dia tahu, Wildan bukanlah laki-laki yang mudah digoda wanita. Ia pasti akan marah kalau kedatangan mereka hanya untuk melihat bagaimana wajah sang penjual seblak favorit Nanda.

“Eh ti  . .  tidak kok, Mas. Nanda tahu kalau Mas sama sekali tidak suka dengan gadis yang kecentilan makanya aku mencegah Winda untuk menggoda Mas.”

“O”

“Kok Cuma O reaksinya?”

“Mau gimana lagi?”

“Ya paling tidak ada reaksi lain, gitu?”

“Maaf, aku harus segera pergi.”

Wildan meninggalkan Winda dengan sedikit kesal. Sesekali ia pandang jalan raya, menanti kedatangan pelanggan lain.

Dari jauh, Dzi yang sedang berjalan ke warungnya segera menghentikan langkah. Ia memandang warung Wildan dengan seksama. Langkahnya perlahan ia mundurkan menyaksikan tiga gadis yang sangat dikenalnya.

Perlahan ia membalikkan badannya, namun belum sempurna ia berbalik sebuah tangan mencegahnya.

“Mau kemana?’

“Eh M . . . mas Wildan? I . . . ini Mas, mau ambil dompet yang ketinggalan di motor.”

“Dompetnya nanti saja ya. Kalau Dik Dzi mau makan seblak, aku rela kok tidak usah bayar.”

“Bu . . .bukan mau beli seblak, Mas. Aku . . . aku mau bilang kalau nanti sore acara pengajian remaja ita cancel pekan depan. Ustadnya bilang kalau hari ini ada acara sampai empat hari ke depan di luar kota.”

“O, baiklah. Nanti akan aku sampaikan di grup. Memangnya Dik Dzi tidak memiliki nomorku ya kok harus susah-susah datang kemari?’

“Em, telponku ke reset, Mas. Nomor lama sudah terblokir dan nomor kontak semuanya hilang Mas kecuali nomor teman Mama yang kusimpan di google.

“Kok bisa?” Dzi tersipu malu. Ia tidak tahu mengapa bsa sebodoh itu.

            “Ya, selama ini kan aku selalu menyimpan kontak di kartu SIM. Aku memang bodoh, Mas. Tidak pernah mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.” Ucap Dzi sambil menunduk.

“Tidak bodoh kok.”

“Cuma teledor ya?”

“Ha ha ha, tidak juga. Mungkin khilaf. Ha ha ha” suara tawa Wildan sampai di telinga para langganan seblaknya, membuat mereka menoleh ke arah mereka. Termasuk Nanda dan dua temannya.

“Huh, dia lagi.” Sungut Nanda kesal. Winda dan Bekti yang melihat kekesalan Nanda segera mengerutkan kedua alisnya.

“Memangnya siapa dia?”

“Biasa sang pengacau. Dimana ada dia selalu saja mengacaukan rencanaku. Kalian juga perlu waspada kalau bertemu dia. Apalagi kalau sampai kalian sedang bersama kekasih kalian. Pantang banget ketemu dia.”

“Kenapa emangnya?”

“Kekasih lo pada bakal kena peletnya.”

“Ih, pakai pelet dia?”

“Apalagi kalau bukan pelet? Aku yakin seratus persen kalau dia pakai itu. Secara mereka selalu membuat laki-laki terpikat.”

“Tapi perlu dicoba Win. Kau kan jomblo ya. Perlu tuh berguru sama tuh cewek. Sudah pakai kerudung masih pakai pelet juga.”

“Jangan suka menggosip. Belum tentu juga yang dikatakan Nanda benar. Dia memang cantik kok.” Seorang wanita yang mendengar ucapan Nanda menyela membuat Nanda emosi lalu memelototkan matanya.

“Jangan ikut campur deh, Mbak. Aku tidak pakai saluran bebas tuh. Jadi please ya jangan nyambung.”

“Ada apa, sih, Nda? Kok ribut-ribut di warungku?” Nanda yang tidak menyadari kehadiran Wildan terpaku. Bingung mau menjawab apa, dia menunduk.

“Tidak, Mas. Tidak ada apa-apa kok, iya kan, Mbak?”

Sang lawan bicara melengos lalu meninggalkan Nanda.

“Sudah Mas, aku dua seblak ceker sama jeruk manis dua.”

“Dua puluh enam, Mbak”

Sang gadis mengulurkan selembar lima puluh ribuan. Setelah menerima kembalian, ia memandang ke arah Nanda lalu meninggalkan warung seblak dengan perasaan kesalnya.

            “Aku sudah, Mas Wildan.”

“Sudah tidak usah bayar, Nda. Kau simpan saja uangnya untuk makan malammu.”

“Tidak usah, Mas. Kan yang mau bayar Bekti sama Winda. Biarkan saja mereka bayar. Masa iya harus gratis. Kasihan Mas Wildan dong.”

“Tidak apa-apa, itung-itung promosi.”

“Tidak mau makan gratisan, Mas. Nanda tidak akan rekomendasikan ke teman-teman kalau Mas tidak mau dibayar.”

Wildan termenung. Ia segera mengangguk lalu menerima uang ratusan ribu dari tangan Winda.

“Baiklah. Tiga puluh ribu saja untuk seblaknya, es tehnya gratis.”

“Asik, terima kasih ya Mas.”

“Sama-sama.”

“Ngomong-omong tadi Dzi datang ke sini kok tidak jadi beli, Mas.”

“O, dia hanya ingin menyampaikan kalau pengajian remaja diundur pekan depan karena ustadznya keluar kota.”

“Bukannya bisa lewat pesan ya?”

“Hpnya ke reset. Nomerku hilang.”

“Mas percaya gitu aja?”

“Terus?”

“Ya masa tidak ada sedikit kecurigaan gitu?”

“Curiga untuk apa? Dia tidak mencuri, tidak juga berniat buruk padaku.”

“Ih, belum tentu juga begitu. Bisa jadi kan, dia sengaja ingin mengintipku yang mendekati Mas Wildan. Dia kan kelihatannya jatuh cinta tuh sama Mas.”

“Tidak mungkin, Nda. Mas tahu diri kok. Bujang lapuk, tidak punya kerjaan mana ada yang mau.”

“ih, jangan merendah gitu juga kali Mas. Nanda yakin kalau banyak gadis yang suka sama Mas. Contohnya . . .”

“Siapa?”

“Tuh!” Nanda menunjuk Winda dan Bekti dengan kedua telunjuknya. Membuat mereka mencubit Nanda bersamaan.

“Auw, sakit tau?’

“Kau jangan suka bkin gosip. Aku tidak jatuh cinta kok sama Masnya. Jangan percaya ya, Mas.”

“Aku juga, Mas. Tidak jatuh cinta sama, Mas. Yang aku tahu, Nanda tuh yang kesengsem sama Mas. Tiap hari yang diceritakan Cuma Mas Wildan di kantor.”

“ O iya?”

“Iya. Mana ada cowok lain di hatinya.”

“Apaan sih. Jangan main lempar batu sembunyi tangan ah. Tidak asik tau.”

“Biarin tidak as. . . .” ketiga gadis di hadapan Wildan menghentikan aktivitasnya mengobrol dengan Wildan saat sebuah mobil sport warna hitam berhenti di hadapan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status