Share

11. Menggapai Ridha Ilahi

Di sebuah gasebo dekat dengan sebuah rumah sehat Al Fitrah, seorang gadis sedang menghadap laptopnya, menyiapkan beberapa proposal pengajian remaja dan bakti sosial. Gasebo indah yang menjadi tempat favorit Dzi menghabiskan waktu saat di Al Fitrah.

“Assalamualaikum”

Seorang laki-laki menghampiri Dzi yang masih asik menyusun kalimat.

“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.,” Dzi menghentikan kegitannya, lalu menoleh ke arah sumber suara.

“Mas Sahal?’

            “Dik Dzi? Kenapa di sini? Siapa yang sakit?”

Dzi tersenyum. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan bertemu dengan Sahal. Laki-laki yang menjadi tetangga barunya.

“Tidak ada yang sakit, Mas. Saya hanya senang kalau duduk di sini. Itu saja. Mas sendiri mengapa ke sini? Siapa yang sakit?”

“Papa.”

“O, sakit apa?”

“Jantung, Dik. Sudah berobat kesana kemari tapi belum juga ada perubahan. Ini tadi dapat informasi kalau harus datang kemari. Katanya dari teman kerja Papa ada yang pernah ke sini.”

“Mas tidak menunggu di dalam?”

“Aku di sini saja dulu. Masih ada pasien banyak di dalam. Sebenarnya ingin mendapatkan prioritas agar bisa masuk dulu dan membayar lebih, tapi petugas bilang ownernya tidak mengijinkan. Harus antri katanya.”

“Begitu ya?’

“Iya. Kadang heran juga ada orang yang memegang prinsip hidup terlalu kuat. Tidak lagi memikirkan pendapatan. Mentang-mentang dia sudah kaya atau . . .’

Dzi tersenyum. Dia menggeleng pelan.

“Sebenarnya saya yakin bukan karena dia sudah kaya atau sudah nyaman dengan kehidupannya. Mungkin sang pemilik rumah sehat ini hanya ingin memberi pembelajaran kepada masyarakat entah masyarakat golongan kaya maupun miskin, bahwa semua memiliki hak yang sama untuk dilayani.”

“Begitu ya?”

“Bisa jadi. Tapi tidak tahu juga yang sebenarnya, Mas.”

Banyak obrolan yang  mereka diskusikan di gasebo itu, hingga tanpa terasa waktu azan duhur sudah berkumandang.

“Mas, maaf ya sudah azan. Saya harus keluar dulu untuk salat.”

“Kalau begitu ayo kita bareng. Kau bisa ikut motorku.”

“Terima kasih. Tapi mohon  maaf kalau saya harus menolak tawaran Mas. Assalamualaikum”

“Eh, iya silakan.”

“Assalamualaikum”

“Wa alaikum sa . . .lam”

Dzi meninggalkan gasebo menuju mushola di ujung rumah sehat. Ia segera menuju tempat wudhu. Belum sempat menyalakan keran, seorang ibu menghampirinya.

“Saifi ya?”

“Eh, I . . . ibu Nancy. Assalamualaikum, Ibu. Ibu bagaimana kabar?”

“Waalaikum salam, Saifi. Kok di sini? Siapa yang sakit?’

“Tidak ada, Ibu. Saya bekerja.”

“O bekerja di sini?”

“Iya, Alhamdulillah, Bu.”

“Wah, tahu begitu tadi Ibu memberitahu kalau mau ke sini biar Bapak tidak terlalu lama mengantri.”

“Mohon maaf kalau yang itu, Saya tidak bisa membantu, Ibu. Saya hanya bekerja di bagian kebersihan saja. Tidak ada urusannya dengan pasien.”

“Begitu ya? Kenapa harus di bagian kebersihan sih, Nak? Saifi kan bisa menerapi pasien seperti yang Kamu lakukan pada Papanya Khalid, Mengapa tidak minta ke bagian personalia kalau kau bisa membantu para  terapis? Masa iya harus ditempatkan di bagian cleaning service, Nak.”

Dzi tersenyum.

“Menjadi cleaning service kalau ikhlas juga sangat nyaman, Ibu. Apapun posisinya selama kita mensyukuri nikmat, Insya Allah akan bahagia karena hidup saya hanya untuk menggapai ridha Allah.”

“Tapi sayang, Nak. Ah Ibu ingin sekali menjadikan kamu sebagai anakku. Kamu manis sekali. Tidak seperti Khalid yang arogan. Maunya menang sendiri dan seenaknya saja sama Mamanya.

“Bagaimana kondisi Bapak hari ini, Ibu?”

“Bapak, ah, sudah mulai membaik tapi Khalid anakku memintaku untuk membawanya ke sini. Jengkel aku sama anak itu. Sudah seringnya marah-marah, sukanya menang sendiri dan kalau marah selalu saja pergi meninggalkan rumah.” Dzi tersenyum.

“Begitu mungkin namanya laki-laki, Ibu. Ingin menampilkan jati dirinya agar dia tidak diinjak-injak kaum hawa. Mari ibu kita shalat. Muadzin sudah selesai mengumandangkan azan sejak tadi, takutnya kita ketinggalan shalat rawatib.

“Bukannya kita akan shalat duhur ya Nak? Mengapa kamu malah mengejar rawatib? Aku baru dengar kalau ada rawatib.”

“Ibu mungkin bisa lebih banyak membaca lagi karena kalau saya jelaskan di sini nanti tidak ada waktu dan takutnya mengganggu, Bu.”

“Ok baiklah, kapan-kapan saja kita bicara tentang shalat rawatib.”

“Insya Allah.” Dzi segera memutuskan percakapan, menyingsingkan lengan baju dan memulai wudhunya. Baru saja ia selesai, muadzin sudah mengumandangkan iqamat.

“Subhanallah, ketinggalan lagi,,” gumamnya. Ia bergegas masuk menuju mushala dan memakai mukena lalu menyusul sang imam yang sudah mengawali rakaat pertama.

“Saifi mau tidak menemani Ibu ke dalam?” Nancy mencoba membujuk Dzi setelah ia menyelesaikan dzikirnya. Dzi mengangguk lalu melepaskan mukena dan memasukkannya ke dalam tas.

“Ibu minta saya ke mana?”

“Temani Ibu di dalam menunggu Bapak. Tolong cek juga kondisi suami Ibu ya. Barangkali tanpa harus melalui pemeriksaan dan terapi di dalam, suami Ibu bisa sehat.”

“Baiklah. Akan saya coba, Bu. Semampu saya. Tapi saya tidak berjanji Bapak bisa sembuh karena sembuh adalah hak prerogatif Allah. Saya hanya membantu dan selebihnya kita serahkan pada Allah Swt.”

“iya, Mbak. Ayo! Aku yakin Khalid sudah menunggu.”

“Mari, Bu.”

Berdua mereka berjalan ke ruang tunggu. Maksud hati ingin mengenalkan Dzi dengan anaknya, apa daya, sampai di dalam Nancy hanya menemukan sang suami ditunggu oleh anak buahnya.

“Mana Khalid?”

“A . . . anu, Nyonya, Tuan Muda tadi pergi. Mendadak ada panggilan dari asistennya kalau ada meeting di kantor.”

“Selalu seperti itu. Anak itu sama sekali tidak peduli pada kesehatan papanya. Awas saja kalau dia berani menampakkan batang hidungnya di hadapanku nanti sore. Akan kujewer telinganya sampai panas.”

Dzi hanya tersenyum. Dalam hati ia bersyukur tidak bertemu dengan anak semata wayang Nancy. Wanita yang sudah dikenalnya sejak dua pekan lalu ketika dia sedang menemani suaminya jalan-jalan di taman.

Kala itu, Nancy panik mendapatkan suaminya pingsan di kursi rodanya. Setelah beberapa kali meminta tolong dan tidak ada anak buah yang datang membantu, Dzi datang menawarkan bantuan. Ia memberikan beberapa tindakan terapi dan menuntun Raharja melakukan beberapa tindakan.

Sejak saat itu, Raharja dan Nancy berteman dengan Dzi.

“Saifi? Kamu ada di sini, Nak?” tanya Raharja sambil membetulkan posisi duduknya.

“Bapak udah lama di sini?’

“Sudah hampir tiga jam, Nak. Bapak belum mendapatkan pelayanan karena memang pasien sangat banyak hari ini.”

Dzi mendesah. Ada peperangan dalam batinnya antara mendahulukan Raharja dan membiarkannya mengantri sesuai nomor urutnya.

“Ok, Bapak dan Ibu tunggu sebentar ya saya akan berusaha untuk menghubungi seseorang agar Bapak bisa mendapatkan peayanan yang cepat.”

“Benarkah begitu?’ tanya Nancy kegirangan. Saking girangnya ia sampai lupa kalau di sekitarnya banyak yang sedang memandangnya dengan pandangan kecewa

“Ibu jangan terlalu histeris begitu. Maaf, mereka memandang kita dengan kecewa. Mereka pasti berfikir kalau Ibu sudah melakukan nepotisme untuk mendapatkan pelayanan. Maaf ya Bu. Saifi  pergi sebentar.”

“Baiklah, Nak. Ibu tunggu informasi selanjutnya.”

“Mama ini kenapa sih Ma? Masih saja ingin menunjukkan kalau kau berkuasa. Ingat yang dikatakan oleh petugas pendaftaran tadi. Kita harus mengantri sesuai urut kehadiran. Itu yang akan membuat Allah semakin sayang pada kita karena kita tidak semena-mena pada orang lain.”

“Tapi Mamah kasihan sama Papah. Kondisi lemah begini harus mengantr dan duduk  terus seperti ini.”

“Kalau ini demi sembuh, dan kembali normal seperti semula, Papah Ikhlas Mah. Semoga memang ini jalan terbaik untuk Papah. Sembuh tanpa operasi, tanpa alat, tanpa obat dan tanpa Jimat. Bismillah”

“Iya, Pah, Maafkan Mamah.”

“Pak Raharja, anda dipanggil untuk datang di kamar perawatan nomor satu.”

Seorang petugas menemui mereka dengan membawa beberapa berkas dan mencoba membantu mendorong kursi rodanya pelan.

“Memangnya di sini ada kamar perawatan ya, Mas? Mengapa sejak tadi tidak mengajak kami ke sana biar Bapak tidak terlalu lelah?”

“Ah, maaf, Bu. Ini atas permintaan seseorang.’

“Baiklah. Ayo tolong dorong suamiku masuk ruang perawatan sekarang!”

“Baik”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status