Share

12. Terapi untuk Tuan Raharja

Sampai di ruang perawatan, Raharja dipindahkan ke dipan. 

“Alhamdulillah, akhirnya Papah bisa berbaring.”

“Iya, Mah. Setidaknya ini bisa membuat Papah lebih rileks bisa mengendorkan otot-otot Papah yang kencang.”

“Mana Saifi ya, Pah? Mamah yakin dia yang sudah berjuang untuk ini.”

“Semoga dia segera masuk Mah. Dia anak baik.”

“Iya, Pah. Kalau saja Khalid anak nakal itu tidak pergi, dia pasti bisa berkenalan dengan Saifi hari ini. Tapi kebiasaan anakmu selalu pergi tanpa pamit padaku.”

“Kamu juga tidak boleh terlalu memaksakan kehendakmu sendiri. Belajarlah untuk menjadi seorang ibu yang lemah lembut.”

“Inginnya sih lemah lembut, Pah. Tapi rasanya susahnya luar biasa. Anakmu selalu saja punya alasan untuk membuat Mamah marah.”

“Memang mudah untuk marah Ibu. Tapi Allah lebih suka orang yang bijaksana yang mampu mengendaikan emosinya tanpa harus membabi buta”

“Saifi? Kamu sudah datang, Nak?”

“Iya, Bu. Tadi saya menghubungi bagian terapi dan meminta mereka membawa Bapak ke sini untuk mndapatkan perawatan dengan cepat mengingat kondisi Bapak yang lemah.”

“Terima kasih bantuannya, Nak. Semoga Allah memberikan balasan setimpal atas semua pertolongan ini.”

“Aamiin. O iya, saya membawa dua orang terapis yang kebetulan jam kerjanya sudah habis. Mereka akan mencoba mengecek penyimpangan Bapak.  Mereka Mas Fatah dan Mas Widodo.”

Dua orang laki-laki yang sejak tadi berdiri di belakan Dzi mengangguk lalu melaksanakan perintah Dzi dengan patuh.

“Selamat siang, Bapak. Saya Fatah akan mencoba melakukan diagnosa  pada tubuh Bapak berdasarkan visual kaki dan tulang belakang Bapak. Tapi sebelumnya mari kita berdoa dan meminta kesembuhan pada Allah karena pada hakikatnya kita hanya membantu dan hak sembuh mutlak ada di tangan Allah semata.”

“Bismillah, saya akan mengawali dari melihat visual kaki Bapak.”

“Silakan!”

Fatah melakukan pengecekan dengan seksama dalam pengawasan Dzi. Nancy hanya memandang prosesnya tanpa komentar. Ia berharap suaminya akan segera sembuh dan kembali dapat beraktivitas seperti semula.

 “Visual kaki menutup dua-duanya, dengan titik sentuh kendor ada di kaki pantel, Mbak.’

“Ok.” Sahut Dzi sambil mengamati kaki Raharja.

“Lanjutkan!

“Punggung skoliosis.”

“Silakan lanjut!”

Nancy mengamati Dzi. Dalam hati ia yakinbahwa gadis di hadapannya bukanlah hanya sekedar karyawan bagian cleaning service. Meski tak dikatakan secara langsung, Nancy bisa membaca kecerdasan dan kepandaian gadis di hadapannya dengan baik. Tapi lagi-lagi ia tidak berani berfikir terlalu jauh. 

“Lakukan Booster!”

Fatah dan Widodo mengangguk. Dengan cekatan dua laki-laki itu menekuk kedua kaki Raharja dan menyangga kepala di pangkuan Widodo. 

“Segini sakit, Pak?” Raharja menggeleng.

“Kalau segini?”

Sekali lagi Raharja menggeleng. Fatah nyaris putus asa ketika mendapatkan gelengan Raharja, lalu menengok ke arah Dzi.

“Tipe masuk keduanya cukup dengan booster energy tahap dua.”

“Baik, Mbak.”

Fatah melakukan instruksi Dzi. Menggoyangkan kedua kaki keatas bawah dan menahannya di tengah membuat Raharja meringis kesakitan.

“Ulangi sekali lagi.”

“Siap, Mbak”

Raharja bersiap menerima tindakan terapi yang sama untuk mendapatkan energi tahap selanjutnya. Wajahnya yang awalnya pucat kini berangsur memerah. Dadanya yang sesak naik turun, kini nampak sediki bernafas lebih teratur. 

“Bagaimana, Bapak?”

“Hah, alhamdulillah sedikit terasa nyaman, Nak.”

“Alhamdulillah. Sekecil apapun perubahan silakan disyukuri karena dari rasa syukur ini semoga Allah menambahkan nikmatNya lagi.”

“Aamiin, insya Allah, Nak.”

“Sekarang lanjutkan Capit urang”

“Baik, Mbak.’

 Dzi memberi instruksi pada Raharja tentang apa dan bagaimana dia harus bertindak dalam terapi. 

“Jepitkan kaki dan tangan silakan melawan ke arah yang berlawanan. Tindakan ini akan membuka plintiran yang ada di tulang panggul dan tulang sekunder Bapak. Biidznillah.”

“Baik, Nak.”

“Pelan-pelan saja dan jangan mengejut.”

“Saya beri aba-aba, hitungan ketiga dimulai satu . . . dua . . . tiga.”

Raharja melakukan gerakan sesuai arahan Dzi yang kini bukan hanya memandang kegiatan terapi Fatah dan Widodo. Ia memegang tangan Raharja dan melakukan tindakan.”

“Cukup.”

“Ahhhh”

“Silakan telentang! Bapak rasakan apakh semakin sakit atau semakin nyaman.”

“Alhamdulillah, tubuh yang tadi kesemutan sekarang sedikit nyaman.”

“Alhamdulillah. Kita lanjut Capit urang lagi. Kali ini tambahkan tenaganya.”

“Baik.”

Begitu selanjutnya terapi yang dilakukan Dzi, Fatah dan Widodo. Dzi duduk di kursi di sudut ruangan bersama dengan Nancy sambil melihat Raharja melanjutkan tindakan di dalam ruang tersebut

“Terima kasih, ya, Nak. Berkat pertolongan Nak Saifi, Bapak kelihatan lebih kuat sekarang.”

“Sama-sama, Bu. Terapi ini adalah terapi aktif. Kita membantu mengarahkan sedang pasien melakukan terapi harian sendiri di rumah. Sangat saya sesalkan ketika Bapak terapi seperti ini tidak ada pihak keluarga terutama anak yang mendampingi. Kalau tadi ada putra Ibu yang hadir kan bisa membimbing dan mendampingi Bapak saat melakukan gerakan.’

“Yah itu tadi sudah Ibu katakan, Nak. Khalid itu keras kepala. Maunya menang sendiri dan bisanya pergi tanpa pamit.”

“Semoga kedepan Bapak bisa sembuh seperti sediakala, bahkan bisa menjadi semakin kuat Ibu. Kalau kita lihat sekarang, bapak nampak sudah lebih baik. Lebih kuat dalam berjalan tanpa bantuan kursi roda sama sekali.”

“Iya, Mbak” Terima kasih Yaa Allah. Terima kasih”

Dzi melangkah menuju kulkas di sudut ruangan lain, mencoba mengambilkan hidangan yang ada di dalamnya dan menatanya di meja dekat dengan Nancy.

“silakan dimakan, Ibu!. Meski hanya mendampingi, Ibu juga butuh tenaga ekstra.”

“Terima kasih. Jangan merepotkan terus ya Saifi. Ibu sudah berterima kasih karena kau sudah menolong kami tanpa harus menunggu lebih lama lagi.”

“Itu sudah menjadi tanggung jawab saya, Bu. Sebagai bagian dari rumah sehat ini, saya terpanggil untuk memberikan pelayanan lebih pada Bapak dan Ibu.”

“Tapi, apakah ibu bisa meminta tolong lagi?’

“Sebatas yang saya bisa.”

“Apakah Saifi mau menjadi pendamping Bapak saat terapi? Ibu tidak bisa, takut salah.”

“Wadyh, bagaimana ya Bu? Saya . .   “

“Nanti saya gaji dengan gaji lebih tinggi daripada menjadi cleaning servise di sini”

“Bukan itu masalahnya, Bu.”

“Terus?’

“Saya memiliki tugas lain selain membersihkan rumah sehat ini.”

“Apa? Nanti biar ibu meminta pada majikanmu untuk membebaskanmu dan membiarkan kamu bekerja di rumahku.”

Dzi menggeleng. Ia sama sekali tidak berkutik. Ia mencoba berkelit untuk menghindari pemaksaan Nancy namun tiba-tiba ponselnya berbunyi.

“Assalamualaikum”

“Iya, benar.”

“Astaghfirullah, maaf sata lupa, Mas. Maaf. Baiklah kalau begitu saya segera datang. Sekali lagi saya minta maaf ya, Mas.”

“Baik, waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh”

Dzi memandang Nancy.

“Ada apa?”

“Mohon maaf sekali hari ini saya ada acara di masjid, Ibu. Saya lupa kalau ada pengajian ibu-ibu di masjid depan rumah saya dan saya Mcnya.”

“Masya Allah. Kalau begitu kamu harus segera berangkat, Nak. Maafkan Ibu yang sudah mengganggu kegiatanmu.”

“Saya yang minta maaf, Bu. Saya tidak bisa mendampingin Bapak sampai selesai.”

“Iya, tidak apa-apa, Nak. Lain kali insya Allah kita bisa bertemu lagi.”

“Insya Allah. Mari Bu, assalamualaikum”

“Waalaikum salam”

Dzi meninggalkan Nancy dan menghampiri Raharja untuk meminta pamit. Dia segera eninggalkan ruangan dimana Raharja masih menyelesaikan proses terapi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status