“Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.
“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.
“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.
“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”
“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”
“Selamat siang”
“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.
“Aku mencari Sahal.’
Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.
“Sahal? Siapa dia?”
“Aku tidak tahu dia kemana.”
Defandra segera mencengkeram kerah baju Wildan dengan tangan kanannya. Melihat adegan itu ketiga gadis menjerit. Namun mereka sama sekali tidak berani melakukan apapun untuk menolong.
“Aku sedang tidak main-main. Katakan dimana dia!”
“Aku sama sekali tidak tahu dimana dia sekarang. Aku tidak bohong. Kalaupun kau akan membunuhku, aku menyerah pasrah saja.”
Defandra segera melepaskan cengekeramannya. Wildan terbatuk-batuk. Dalam hati ia mengutuk perbuatan Defandra.
“Kau jangan mentang-mentang orang kaya terus bisa semaunya sendiri memperlakukan orang miskin seperti kami. Kalaupun hari ini kau menang, itu tidak akan bertahan lama. Ada yang Maha kuasa yang lebih berkuasa atas kuasamu saat ini.”
“Diam kamu! Aku tidak butuh nasihat atau apapun darimu. Yang kuminta hanya informasi mengenai Sahal. Tidak yang lain.”
“Apakah aku boleh bertanya, Tuan?” tanya Nanda sambil mengedipkan mata. Ia bahagia sekali melihat kedatangan Defandra. Ingin sekali dirinya mendekat dan memegang tangan pria tampan yang kini menatapnya tajam.
“Apa?”
“Ih, jangan sangar-sangar ah, Tuan. Aku hanya bertanya siapa Sahal? Apakah dia temanmu? Atau saudaramu?”
“Kau mengenalnya?” Nanda menggeleng cepat. Alih-alih mendapat jawaban atas segala rasa penasarannya, kini dia bahkan harus rela diinterogasi oleh Defandra.
“Katakan padaku dimana dia!”
“Ta. . . tapi aku tidak tahu siapa Sahal. Makanya tadi aku bertanya padamu.”
“Aku yakin kau mengenalnya.”
Tubuh Nanda mengejang. Ia ingin berlari menghindari Defandra dengan tatapan mata tajamnya, namun Defandra segera menangkap tangannya.
“Jangan pernah meninggalkan aku dalam keadaan marah seperti ini.”
“Ta. . .tapi sungguh aku sama sekali tidak tahu siapa Sahal.”
“Lalu mengapa kau bertanya tentang hubunganku dengannya?”
“Aku hanya bertanya dan ingin tahu apakah orang yang namanya Sahal sama tampannya denganmu. Itu saja.”
“Siapa namamu?”
“Nan . . . Nanda, Tuan.”
“Dimana Dzi?”
“Dzi? Mengapa Tuan mengenal Dzi?”
“Apakah kau juga mengenal Dzi?”
“A . . .”
“Nanda!” bentak Wildan. Ia benar-benar tidak mau Nanda membocorkan rahasia tentang Dzi dan Sahal. Wildan menarik tangan Nanda dan menjauhkannya dari Defandra.
“Kau jangan pernah mencoba untuk mencari orang-orang yang kau sebutkan. Kalau tidak kau akan berhadapan denganku.” Ancam Wildan pada Defandra. Defandra menatap Wildan.
“Aku tidak peduli. Walaupun harus berhadapan denganmu sekalipun. Memangnya siapa kamu?”
“Aku Wildan. Hamba Allah yang hanya takut pada Yang Maha Kuasa. Sama sekali tidak ada rasa takut pada manusia. Asalkan aku benar, aku tak akan pernah takut padamu.”
“Bagus. Kau sudah menabuh genderang perang denganku. Ingat, apapun akan kulakukan untuk bisa bertemu dengan dua orang yang kucari.”
Defandra meninggalkan Wildan dan warungnya dengan pura-pura kesal. Ia segera membuka pintu mobil, menghidupkan dan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
“Hu, mentang-mentang orang kaya maunya menang sendiri.” Gerutu Nanda. Ia memandang Wildan dengan penuh kecemasan.
“Kau tidak apa-apa, Mas?”
“Tidak. Lain kali jangan pernah kau beritahu siapapun temanmu pada orang yang belum pernah kau kenal.”
“Tapi aku sama sekali tidak bermaksud untuk memberitahunya tentang Dzi, Mas. Aku hanya ingin mengenalnya saja. Penasaran mengapa ada orang kaya yang mencari Dzi, si anak kampung itu.”
“Jaga ucapanmu! Jangan sampai berbalik arah padamu.”
“Maksudnya Mas Wildan membela Dzi begitu?”
“Tidak ada yang kubela, Nda. Aku hanya ingin kau bisa lebih waspada dengan ucapanmu, itu saja. Jangan salah paham. Kalian semua adalah teman-temanku, tetanggaku yang bahkan sudah seperti saudara bagiku.”
“Tapi Mas kelihatannya lebih sayang pada Dzi daripada Nanda, Mas.”
“Ah, kau selalu salah paham. Kau dan dia punya kedudukan yang sama di hatiku. Hanya sebagai teman. Tidak ada yang lain.”
“Ah, masa sih. Kelihatannya Dzi mencintai Mas Wildan deh. Kasihan dia kalau perasaannya bertepuk sebelah tangan.”
“Tidak ada yang mencintaiku. Sama sepertimu, aku juga hanya menganggap Dzi dan kamu sebagai saudara. Tidak lebih.”
“Ok, baiklah. Aku percaya. Aku bahagia mendengarnya. Kalau aku bertemu Dzi, aku akan mengatakan kalau Mas sama sekali tidak mencintainya.”
“Eh, mengapa begitu?”
“Ya karena aku tahu perasaannya pada Mas. Jangan sampai Mas menyakiti hatinya dengan memberi harapan palsu. Kasihan dia, sudah miskin tidak punya orang tua lagi. Mas tahu apa pekerjaannya?’
Wildan menggeleng. Selama ini ia memang tidak pernah mencari tahu pekerjaan Dzi, gadis yang baru pindah rumah di depan masjid dekat dengan rumah kontrakannya.
“Dia tukang pijat, Mas. Dia bekerja di panti pijat yang berada di ujung jalan Kusuma.”
Wildan sebenarnya terperanjat mendengar penuturan Nanda, namun ia sengaja tidak menampakkan keterkejutannya.
“Sudah ya, Mas. Kami pergi dulu. Terima kasih semuanya. Gratisan minumnya dan waktu ngobrolnya.” Goda Winda.
“Sama-sama”
Bertiga mereka melangkah, sedang Wildan melanjutkan aktifitas jualannya.
“Laki-laki tadi siapa, Bang? Kelihatannya dia bukan orang sembarangan.” Seorang tukang ojek yang mangkal di dekat warung Wildan medekat. Memandang Wildan dengan cemas. Namun tak ada kecemasan dalam wajah Wildan mendengar pertanyaan sang driver ojek.
“Walaupun bukan orang sembarangan, bukan manusia biasa dan seorang yang hebat, tapi bukan berarti dia bisa sewenang-wenang memperlakukan orang lain. Apalagi terhadap orang teraniaya seperti kita. Tidak takut kualat apa?’
“Kualat ya, Bang? Kok bisa?”
“Ingat tidak, doanya orang teraniaya itu mustajab. Langsung dijawab oleh Allah. Tunai di duna. Jangan mentang-mentang kaya terus semena-mena. Alhamdulillah kita sama sekali tidak ingin menyumpah-nyumpah orang. Walau kita disakiti, kita selalu meminta perlindungan pada Allah. Karena itu lebih baik.”
“Abang selalu menjadi yang terbaik. Tidak pernah ingin menyakiti orang lain.”
“Memang sudah seharusnya seperti itu, bukan? Tidak ada gunanya juga menyakiti orang lain, baik orang lemah atau orang berkuasa, tetap saja punya hak untuk hidup nyaman dan dihargai.”
“Masya Allah, betapa indahnya tabiat dan perilakumu, Bang. Membuatku betah berlama-lama mengobrol denganmu.”
“Tapi jangan terlalu asik denganku. Lihat itu, ada pelanggan sedang menunggumu.”
Khalid masih terpana menyaksikan mobil yang kini parkir dan berjajar di depan masjid. Ia melihat keluarga yang tadi duduk di ruang VVIP restoran AD datang menemuinya. Wildan dan Khalid saling pandang.“Apakah kau masih ingin menolak permintaan orang tuamu kalau saat ini mereka memintamu menikahi Saifi, khalid?”Wildan menatap Khalid yang kini menegang. Khalid benar-benar tidak habis pikir dengan kegigihan keluarganya memaksa dirinya menikah.“Aku akan tetap menolak, Wildan. Aku sudah mengusulkan kepada MAma agar menungguku menemui Dzi dulu dan mengatakan semua perasaanku. kalau Dia sudah tidak mau denganku, aku baru bisa menerima Saifi. Kalau Dzi belum kutemukan aku merasa sangat tidak nyaman karena aku merasa mengkhianatinya.”Tuan Raharja dan semua yang hadir di sana tersenyum. mereka tahu betapa gigihnya Khalid memperjuangkan cintanya. Tuan Raharja dan Nancy mendekati Khalid lalu mengelus kepala anaknya.“Apakah kau
Setelah puas melampiaskan semua keluh kesahnya di pantai, Khalid segera melangkah meninggalkan pantai. Ia bergegas menuju mobilnya sebelum semua keluarganya tahu kemana ia akan melangkah. Ia benar-benar ingin sembunyi dari mereka yang sama sekali tidak tahu perasaannya.Setelah menghidupkan mobilnya, Khalid bingung menentukan arah. Ia tidak tahu kemana harus bersembunyi dari mamanya yang selalu mendatanginya dan memaksanya untuk menikah. Pikirannya terus dipenuhi oleh wanita yang sejak awal sudah mengganggu pikirannya. Wanita yang disakiti oleh Nancy dan kini entah dimana.Kini, ia mengarahkan mobilnya menuju tempat dimana ia memiliki kenangan indah bersama Dzi di masjid Baiturrahim. Ia ingin melihat kondisi terakhir rumah mereka saat ini. rumah yang ia tinggalkan hampir satu tahun lamanya dan menyimpan kenangan yang indah kini sudah ada di depan mata.“Yaa Tuhan. Rumah itu masih sama seperti kondisi awal aku datang.” gumam Khalid saat melihat rumah
“Assalamualaikum”Semua mata memandang Khalid yang baru saja masuk dengan penampilan acak-acakan. Nancy yang melihat kehadiran anaknya segera berdiri lalu menyambutnya dengan wajah berbinar cerah. Ia ulurkan tangannya dan menggandeng tangan Khalid untuk mengikutinya duduk di antara para orang tua yang hadir di sana.“Akhirnya kau datang, Sayang. Mama khawatir sekali kalau kau sampai tidak datang. Tadi Saifi baru saja duduk di sini. Dia baru saja keluar ke toilet.”Khalid terpana mendengar mamanya menyebut nama Saifi baru keluar dari ruangan menuju toilet. Ia kemudian memandang sekeliling ruangan, menatap satu persatu kerabat yang diundang oleh keluarganya.“Ada apa ini, Mama? Mengapa mereka ikut hadir di sini? Bukankah MAma datang ke apartemen dan meminta Khalid untuk makan bersama di restoran AD?”“Bukan untuk makan bersama, Mama kan bilang kalau Mama ingin melamar Saifi untuk kamu.”&ld
“Apa permintaan Ayah yang harus aku lakukan, Kak? Apakah Ayah memintaku untuk pulang?”Amira menggeleng. ia mencoba menetralisir perasaannya agar ia mampu menyampaikan pesan ayahnya dengan benar tanpa terjadi salah paham dengan adiknya.“Ayah memintamu datang ke restoran.’Dzi terpana mendengar kakaknya menyampaikan berita itu. datang ke restoran ayahnya sama dengan ia harus bertemu dengan orang yang sudah menorehkan luka di hatinya ketika dia masih duduk di bangku SMA. Orang kepercayaan ayahnya yang sudah membuat dia kehilangan harga diri karena dihina olehnya. Laki-laki tampan yang menjadi kebanggaan ayahnya karena memiliki bakat langka. Adrian, executive Chef, yang dimiliki restoran AD, restoran kebanggaan keluarga Dzulfikar. Restoran memiliki menu spesial yang selalu baru setiap harinya selalu menjadi rujukan kolega dan rekan bisnis Tuan Dzulfikar yang berada di dalam maupun luar negeri.Keberadaan Adrian di restoran AD, sama s
“Kakak? Kenapa Kakak bisa ada di sini? Sama siapa? Apakah Kak Wildan juga datang?”Amira mengacak rambut Dzi yang memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Ia ingin mengacaukan perasaan adiknya, namun ia kasihan memandang gadis cantik yang mirip dengan dirinya menerima masalah lebih besar.“Bisa tidak bertanyanya satu-satu?”“Bisa”Amira mencubit pinggang Dzi yang semakin ia anggap kurang ajar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kehadirannya di apartemen Dzi mampu membuat adiknya bahagia seperti saat ini. ia duduk di ranjang yang acak-acakan karena beberapa kain tergeletak di sana. ia ambil pakaian Dzi dan melemparnya ke sudut kamar, membuat pemiliknya melotot tak percaya.“Kenapa dibuang? Aku akan memakainya untuk pergi ke kota.”“O iya? Kemana?’Dzi menggeleng. ia yang awalnya ingin pergi dan kini memilih untuk mengurungkannya segera menggeleng. ia sama sekali tidak ingin
Di rumah sehat Alfitrah, Dzi yang baru datang ke ruangan perawatan Khalid segera memandang Nancy dan Raharja yang duduk lesu di bed pasien.“Tante minta maaf ya, Sayang. Khalid pergi tanpa Tante bisa mencegahnya setelah Tante mengatakan padanya kalau kau mau datang menengoknya.”“Apakah Tante mengatakan kalau Dzi akan datang?”“Tante bilang Saifi akan datang menemuinya, tapi dia memang dasar keras kepala. Ia sama sekali tidak mau mendengar penjelasan Tante. Tante mengundangmu untuk mengobati luka hatinya karena kau pergi dan dia gagal mencarimu, e, dia memang anak yang keras kepala makanya tidak mau tahu. Dia memilih meninggalkan Tante di sini.”Dzi tersenyum. dia sangat paham mengapa Khalid pergi namun ia tidak akan menyalahkan siapapun.“Ini sudah takdir, Tante. Takdir Tuhan yang harus kita terima dengan ikhlas walau kita sebenarnya juga geregetan.”Nancy mengangguk. ia memang geregetan
“Kita akan kemana, Tuan?”Defandra masih belum tahu di mana Khalid memutuskan akan tinggal. Khalid yang masih sakit hati dengan kedua orang tuanya lebih memilih apartemen sebagai tempat untuk perawatannya.“Aparteenku, Ndra.”“Baik, Tuan.”Defandra mengangguk. ia terus fokus pada jalan raya yang ramai karena jam-jam seperti sekarang, semua karyawan sedang berangkat ke tempat mereka berangkat ke kantor. Khalid yang masih merasa sangat mengantuk segera menyandarkan kepalanya di sandaran jok penumpang dan memejamkan matanya.Ia menerawang jauh membayangkan pertemuan pertamanya dengan Dzi, gadis yang kini hilang entah kemana dan terus membayang-bayangi kehidupannya. Ia menggeleng, membayangkan tentang kegagalan anak buahnya dalam melakukan pencarian. Beberapa bulan dari hilangnya Dzi, anak buahnya belum melaporkan keberadaan gadis yang dicintainya. Ia merasa bahwa ada yang aneh dengan gadisnya.&ld
Di ruang perawatan Khalid di pagi yang sama, Nancy masih kesal. Pasalnya beberapa menit lalu ia mengunjungi dokter Willy di ruangannya, namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas keberadaan Dzi. Willy belum mau membuka suaranya. Ia hanya mengatakan agar bersabar sebentar karena Saifi sedang dalam urusan yang tidak bisa diganggu siapapun.Willy tidak mengatakan kalau Dzi sudah datang ke Alfitrah dan menemuinya. Ia sengaja membiarkan Dzi untuk menyiapkan dirinya dengan mandi dan sarapan. Willy melihat tubuh Dzi semakin kurus karena memikirkan masalah percintaannya dengan Khalid. ia tidak rela ketika Dzi sedang makan dan istirahat, ada orang lain mengusik bosnya.“Kau kenapa, Mama? Sejak tadi bukannya duduk malah mondar mandir kesana kemari. Apakah kau sedang menahan hasrat ingin kencing?”Nancy melototkan matanya. Ia benar-benar ingin mencakar wajah suaminya yang tidak pernah tahu kalau dia sedang berakting. Ia selalu bersikap serius men
Dzi segera mengecek panggilan masuk. Lima kali Willy memanggilnya dengan panggilan video dan lima kali dengan panggilan suara. Dzi segera mengusap wajahnya. ia menelpon balik nomor Willy namun panggilannya ditolak. Ia segera menelpon Andini, namun beberapa kali panggilannya tidak terhubung. Dzi nampak sangat khawatir. Ia segera memandang ayah dan kakaknya.“Kelihatannya ada yang genting di Alfitrah, Ayah. Dzi harus segera pergi sekarang.”Tuan Dzulfikar, Wildan dan Amira mengangguk. mereka tidak dapat menahan Dzi sama sekali. Meski hanya untuk memberi pesan kepadanya agar hati-hati di jalan. Dzi segera berlari ke kamarnya dan mengganti pakaiannya tanpa membersihkan badannya terlebih dulu. Ia berniat mandi di apartemennya di Alfitrah. ia segera keluar rumah dengan Expander miliknya.Setengah jam kemudian, mobil warna hitam sudah berhasil parkir di tempat parkir khusus Direktur Utama rumah Sehat AlFitrah. ia segera berlari ke ruang dokter Willy dengan