Share

10. Pria Arogan

“Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.

“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.

“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.

“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”

“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”

“Selamat siang”

“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.

“Aku mencari Sahal.’

Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.

“Sahal? Siapa dia?”

“Aku tidak tahu dia kemana.”

Defandra segera mencengkeram kerah baju Wildan dengan tangan kanannya. Melihat adegan itu ketiga gadis menjerit. Namun mereka sama sekali tidak berani melakukan apapun untuk menolong.

“Aku sedang tidak main-main. Katakan dimana dia!”

“Aku sama sekali tidak tahu dimana dia sekarang. Aku tidak bohong. Kalaupun kau akan membunuhku, aku menyerah pasrah saja.”

Defandra segera melepaskan cengekeramannya. Wildan terbatuk-batuk. Dalam hati ia mengutuk perbuatan Defandra.

“Kau jangan mentang-mentang orang kaya terus bisa semaunya sendiri memperlakukan orang miskin seperti kami. Kalaupun hari ini kau menang, itu tidak akan bertahan lama. Ada yang Maha kuasa yang lebih berkuasa atas kuasamu saat ini.”

“Diam kamu! Aku tidak butuh nasihat atau apapun darimu. Yang kuminta hanya informasi mengenai Sahal. Tidak yang lain.”

“Apakah aku boleh bertanya, Tuan?” tanya Nanda sambil mengedipkan mata. Ia bahagia sekali melihat kedatangan Defandra. Ingin sekali dirinya mendekat dan memegang tangan pria tampan yang kini menatapnya tajam.

“Apa?”

“Ih, jangan sangar-sangar ah, Tuan. Aku hanya bertanya siapa Sahal? Apakah dia temanmu? Atau saudaramu?”

“Kau mengenalnya?” Nanda menggeleng cepat. Alih-alih mendapat jawaban atas segala rasa penasarannya, kini dia bahkan harus rela diinterogasi oleh Defandra.

“Katakan padaku dimana dia!”

            “Ta. . . tapi aku tidak tahu siapa Sahal. Makanya tadi aku bertanya padamu.”

            “Aku yakin kau mengenalnya.”

            Tubuh Nanda mengejang. Ia ingin berlari menghindari Defandra dengan tatapan mata tajamnya, namun Defandra segera menangkap tangannya.

“Jangan pernah meninggalkan aku dalam keadaan marah seperti ini.”

“Ta. . .tapi sungguh aku sama sekali tidak tahu siapa Sahal.”

“Lalu mengapa kau bertanya tentang hubunganku dengannya?”

“Aku hanya bertanya dan ingin tahu apakah orang yang namanya Sahal sama tampannya denganmu. Itu saja.”

“Siapa namamu?”

“Nan . . . Nanda, Tuan.”

“Dimana Dzi?”

“Dzi? Mengapa Tuan mengenal Dzi?”

“Apakah kau juga mengenal Dzi?”

“A . . .”

“Nanda!” bentak Wildan. Ia benar-benar tidak mau Nanda membocorkan rahasia tentang Dzi dan Sahal. Wildan menarik tangan Nanda dan menjauhkannya dari Defandra.

“Kau jangan pernah mencoba untuk mencari orang-orang yang kau sebutkan. Kalau tidak kau akan berhadapan denganku.” Ancam Wildan pada Defandra. Defandra menatap Wildan.

“Aku tidak peduli. Walaupun harus berhadapan denganmu sekalipun. Memangnya siapa kamu?”

“Aku Wildan. Hamba Allah yang hanya takut pada Yang Maha Kuasa. Sama sekali tidak ada rasa takut pada manusia. Asalkan aku benar, aku tak akan pernah takut padamu.”

“Bagus. Kau sudah menabuh genderang perang denganku. Ingat, apapun akan kulakukan untuk bisa bertemu dengan dua orang yang kucari.”

Defandra meninggalkan Wildan dan warungnya dengan pura-pura kesal. Ia segera membuka pintu mobil, menghidupkan dan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

“Hu, mentang-mentang orang kaya maunya menang sendiri.” Gerutu Nanda. Ia memandang Wildan dengan penuh kecemasan.

“Kau tidak apa-apa, Mas?”

“Tidak. Lain kali jangan pernah kau beritahu siapapun temanmu pada orang yang belum pernah kau kenal.”

“Tapi aku sama sekali tidak bermaksud untuk memberitahunya tentang Dzi, Mas. Aku hanya ingin mengenalnya saja. Penasaran mengapa ada orang kaya yang mencari Dzi, si anak kampung itu.”

“Jaga ucapanmu! Jangan sampai berbalik arah padamu.”

“Maksudnya Mas Wildan membela Dzi begitu?”

“Tidak ada yang kubela, Nda. Aku hanya ingin kau bisa lebih waspada dengan ucapanmu, itu saja. Jangan salah paham. Kalian semua adalah teman-temanku, tetanggaku yang bahkan sudah seperti saudara bagiku.”

“Tapi Mas kelihatannya lebih sayang pada Dzi daripada Nanda, Mas.”

“Ah, kau selalu salah paham. Kau dan dia punya kedudukan yang sama di hatiku. Hanya sebagai teman. Tidak ada yang lain.”

“Ah, masa sih. Kelihatannya Dzi mencintai Mas Wildan deh. Kasihan dia kalau perasaannya bertepuk sebelah tangan.”

“Tidak ada yang mencintaiku. Sama sepertimu, aku juga hanya menganggap Dzi dan kamu sebagai saudara. Tidak lebih.”

“Ok, baiklah. Aku percaya. Aku bahagia mendengarnya. Kalau aku bertemu Dzi, aku akan mengatakan kalau Mas sama sekali tidak mencintainya.”

“Eh, mengapa begitu?”

“Ya karena aku tahu perasaannya pada Mas. Jangan sampai Mas menyakiti hatinya dengan memberi harapan palsu. Kasihan dia, sudah miskin tidak punya orang tua lagi. Mas tahu apa pekerjaannya?’

Wildan menggeleng. Selama ini ia memang tidak pernah mencari tahu pekerjaan Dzi, gadis yang baru pindah rumah di depan masjid dekat dengan rumah kontrakannya.

“Dia tukang pijat, Mas. Dia bekerja di panti pijat yang berada di ujung jalan Kusuma.”

Wildan sebenarnya terperanjat mendengar penuturan Nanda, namun ia sengaja tidak menampakkan keterkejutannya.

“Sudah ya, Mas. Kami pergi dulu. Terima kasih semuanya. Gratisan minumnya dan waktu ngobrolnya.” Goda Winda.

“Sama-sama”

Bertiga mereka melangkah, sedang Wildan melanjutkan aktifitas jualannya.

“Laki-laki tadi siapa, Bang? Kelihatannya dia bukan orang sembarangan.” Seorang tukang ojek yang mangkal di dekat warung Wildan medekat. Memandang Wildan dengan cemas. Namun tak ada kecemasan dalam wajah Wildan mendengar pertanyaan sang driver ojek.

“Walaupun bukan orang sembarangan, bukan manusia biasa dan seorang yang hebat, tapi bukan berarti dia bisa sewenang-wenang memperlakukan orang lain. Apalagi terhadap orang teraniaya seperti kita. Tidak takut kualat apa?’

“Kualat ya, Bang? Kok bisa?”

“Ingat tidak, doanya orang teraniaya itu mustajab. Langsung dijawab oleh Allah. Tunai di duna. Jangan mentang-mentang kaya terus semena-mena. Alhamdulillah kita sama sekali tidak ingin menyumpah-nyumpah orang. Walau kita disakiti, kita selalu meminta perlindungan pada Allah. Karena itu lebih baik.”

“Abang selalu menjadi yang terbaik. Tidak pernah ingin menyakiti orang lain.”

“Memang sudah seharusnya seperti itu, bukan? Tidak ada gunanya juga menyakiti orang lain, baik orang lemah atau orang berkuasa, tetap saja punya hak untuk hidup nyaman dan dihargai.”

“Masya Allah, betapa indahnya tabiat dan perilakumu, Bang. Membuatku betah berlama-lama mengobrol denganmu.”

“Tapi jangan terlalu asik denganku. Lihat itu, ada pelanggan sedang menunggumu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status