Share

13. Berselisih Paham

Sepeninggal Dzi, Khalid masuk ke ruangan dan bergabung dengan  Nancy dan Raharja yang sudah menyelesaikan terapinya. Raharja nampak berkeringat deras.  Ia duduk di kursi dekat dengan Nancy yang kini sedang mengupaskan buah untuknya.

“Bagaimana, Pah? Apakah Papah sudah lebih baik sekarang?’ tanya Khalid sambil memandang Fatah dan Widodo yang duduk terpisah.

 “Seperti yang kamu lihat. Papah sudah bisa berjalan tanpa kursi roda lagi.”

“Tapi Papah harus berhati-hati. Jangan terlalu gegabah, Pah. Agar Papah tidak kambuh lagi.”

“Papah sudah sehat dan baikan. Kau tidak perlu khawatir. Papah baik-baik saja.”

“Khalid heran mengapa Papah sekarang keras kepala sekali. Apakah mereka yang mengajari Papah seperti ini?”

“Kau yang keras kepala. Kecil-kecil sudah berani pada Papahmu. Kau kemana saja? Kenapa pergi-pergi terus tanpa pamit? Apakah kau sama sekali tidak ingin mendampingi Papah terapi?” ucap Nancy sambil bersungut-sungut. Ia jengkel memandang anak semata wayangnya yang sangat tidak suka diatur.

“Mamah kan tahu kalau bisnisku sedang maju-majunya. Tadi Khalid lupa harus ketemu sama klien, Mah. Jadi terpaksa pergi setelah bertemu dengan Dzi.”

“Siapa itu Dzi?”

“Dzi? Ah, dia tetanggaku di kompleks”

“Awas saja kalau sampai dia datang hanya untuk moroti uang kamu. Mamah nggak ridho padanya.”

“Ih, Mamah apaan sih. Belum juga kenal sudah menuduh.”

“Siapa juga yang menuduh. Selama ini yang Mamah tahu tentang gadis yang mendekatimu adalah gadis-gadis yang gila hartamu. Bukan gadis yang tulus. Makanya Mamah kasih alarm, agar kamu tidak terjebak pesona Dzi itu.”

“Ngomong-omong kenapa Mamah dan Papah ada di sini? Bukannya ruang terapi ada di ujung timur ya?”

“Mudah saja jika Allah berkehendak. Kalau menunggu kamu bertindak tidak akan ada habisnya. Bisa-bisa Papah belum dapat giliran.”

“Jangan bilang Mamah menyogok karyawan sini!’

“Siapa juga yang menyogok. Saifi sendiri yang membantu kami. Tanpa kami paksa sama sekali”

“Saifi? Siapa Saifi?”

“Kau tidak akan pernah percaya kalau Mamah cerita tentang dia.”

“Mamah selalu saja menyalahkan Khalid. Memangnya ada hubungan apa antara Mamah dan Saifi? Khalid jadi ragu, jangan-jangan Saifi ini gadis yang hanya mengincar harta kita saja. Dia lebih parah dari pada Dzi yang hanya melihat Khalid sebagai laki-laki miskin.”

“Jangan bicara sembarangan kamu. Saifi gadis terbaik yang Mamah kenal. Kamu hanya tidak tahu bagaimana dia bertingkah laku dan bertutur kata pada Mamah dan Papah dan pada yang lainnya.”

“Ya jangan marah gitu juga kali, Mah. Yang anak Mamah itu aku bukan dia. Tapi Mamah ngotot sekali sama Khalid.”

“Kamu yang sudah membuat Mamah Ilfill mendengar kalimat tuduhanmu pada Saifi.”

“Ya, Mah. Maafkah Khalid. Please! Tapi jangan lupa kalau Khalid sudah memiliki gadis pilihan Khalid sendiri. Jangan mencoba menjodohkan Khalid dengan gadis pilihan Mamah.”

“Mamah tidak janji. Kamu akan tetap Mamah pertemukan dengan Saifi. Andai tadi kau tidak pergi seenakmu sendiri, kau pasti sudah melihat Saifi.”

“Maaf, Ibu, Bapak, kami sudah selesai. Kami mohon diri dulu Kalau Bapak dan Ibu masih mau duduk dan rebahan di ruangan ini silakan. Mbak Saifi tadi bilang seperti itu.”

“Iya, Mas. Terima kasih atas segala bantuan Mas. O iya, apakah Mas sudah diberitahu sama Saifi kalau kami meminta salah satu dari Mas untuk mendampingi terapinya Bapak setiap hari?”

Fatah dan Widodo menggeleng.

“Belum, Bu. Mbak Saifi tidak bilang apa-apa ke kami”

“Bagaimana sih Saifi. Masa dia lupa kalau aku memintanya mendampingi Papah.”

“Sudah, Mah,, tidak apa-apa. Lain kali kita bisa datang ke sini lagi.”

“Datang ke sini males rasanya, Pah. Antriannya panjang, terapinya lama lagi. Kalau mengajak Saifi ke rumah kan bisa langsung eksekusi.”

“Sebenarnya Bapak dan Ibu bisa melakukan di rumah sesuai instruksi kami. Seperti yang sudah dilatihkan tadi.”

“Tetap saja lebih nyaman kalau ada pendamping, Mas.’

“Wah, bagaimana ya Bu. Pekerjaan saya di sini juga banyak. Makin hari semakin banyak pasien. Walaupun sudah ditambah tenaga baru, tetap saja kami masih kewalahan.”

“Apakah Saya boleh bertemu dengan pemilik rumah sehat ini, Mas? Untuk meminta tenaga secara langsung?’

Fatah dan Widodo saling pandang. Mereka tidak bisa berkata apa-apa untuk menjawab pertanyaan Nancy.

“Kami sendiri tidak tahu siapa pemilik rumah sehat ini, Bu. Kami orang baru di sini.”

“Belum pernah bertemu sama sekali? Atau setidaknya kalian kan tahu namanya.”

“Kalau yang kami tahu, namanya Nona Dzulfikar. Itu saja.”

“Coba kau beri aku nomornya Nona Dzulfikar.”

Fatah dan Widodo menggeleng.

“Kami juga minta maaf untuk itu Bu. Kami sama sekali tidak memiliki nomor Nona Dzulfikar”

“Kalau nomornya Saifi?”

Sekali lagi mereka menggeleng.

“Yah, padahal aku ingin menelpon Saifi dan meminta Noor Nona Dzulfikar padanya.”

“Mbak Saifi juga belum tentu tahu, Bu. Non Dzulfikar ini sosok misterius. Hanya beberapa orang saja yang tahu. Kami sama sekali tidak pernah melihatnya datang ke sini.”

“Kok bisa ada pemilik rumah sakit tidak pernah datang ke kliniknya. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang genting. Kesalahan terapi misalnya?Apakah dia akan cuci tangan begitu saja?”

“Alhamdulillah selama ini tidak ada yang salah terapi, Mas. Kami menerapi atas pengawasan senior. Beberapa kali senior mengadakan briefing agar kami tetap waspada dalam diagnosa”

“Tetap saja tidak dibenarkan kalau owner tidak pernah datang.’

“Itu semua dalam kendali satu orang senior yang ditunjuk sebagai direktur utama, Mas.”

“Terserah kamu sajalah. Aku pusing mendengar jawabanmu.”

“Ok kalau begitu kami mohon diri.”

“Aku juga akan membawa Papahku keluar dari ruangan ini.”

“Iya, Mas. Terima kasih sekali bantuannya. Kami akan pulang dan sampaikan salam kami untuk Saifi. Ini kartu nama saya. Kalau Mas berkenan, Mas bisa datang ke rumah ini untuk mendampingi suami saya.”

“Kami akan beerja sesuai ijin dari atasan, Bu. Kalau atasan tidak mengijinkan, kami terpaksa harus menolak dan Bapak melakukan terapi sendiri atau datang ke sini untuk pendampingan setiap hari.”

“Baiklah-baiklah. Kalau begitu aku akan datang ke sini setiap hari dan meminta Saifi untuk mendampingi.”

“Mbak Saifi semoga mau.”

“Ya sudah, ayo Khalid, tuntun Papah ke mobil!”

“Tidak usah. Papah bisa sendiri.”

“Alhamdulillah.”

“Kursi rodanya bagaimana, Bu? Apakah harus kami bawakan ke mobil?”

“Tinggal saja di sini. Insya Allah kami sudah tidak membutuhkan lagi”

“Tapi, Pah.”

“Sudahlah, Mah. Papah sudah tidak apa-apa. A;hamdulillah badan Papah sudah semakin membaik. Tidak sesak seperti saat kita berangkat.”

“Alhamdulillah. Terima Kasih yaa Allah. Berkat bantuanMu lewat Saifi, suamiku bisa kembali sehat.’

“Saifi lagi Saifi lagi.”

“Biarin. Pokoknya dia wajib menjadi menantu Mamah.”

“Jangan bermimpi, Mah. Khalid sudah memiliki Dzi.”

“Tidak ada Dzi. Mamah hanya ridho kalau kau menikahi Saifi.’

“Sudahlah. Kalian ini seperti anjung dan kucing saja. Diam dan fokus pada jalan!”

"Khalid akan fokus pada jalan kalau Paph mau membela Khalid, Pah. Kalau Papah tahu bagaimana rasanya dijodohkan sama orang yang sama sekali tidak Papah kenal apakah Papah mau?" Raharja yang sudah merasa lebih baik secara kesehatan tersenyum dikulum. 

" Kamu pikir Mamah dan Papah menikah karena cinta?" tanya Nancy dan Raharja bersama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status