“Jadi ayah sama bunda mau menikah lagi?” Bima bertanya.
“Bukan menikah lagi, tapi buat pesta pernikahan lagi. Soalnya, waktu pesta pernikahan yang pertama kan abang sama mas enggak ada.”
“Yeay! Keren yah, nanti Bima mau pamer sama Adi.” Pandu mengelus kepala anaknya itu sayang, mereka sedang di butik saat ini.
“Itu bunda yah.” Rama menunjuk tirai yang di buka, mulutnya terbuka membentuk huruf o.
“Bunda cantik banget, kayak peri!” Pandu setuju dengan penilaian anak-anaknya, Maira benar-benar kelihatan cantik dengan gaun pengantinnya itu.
“Bagaimana pak? Apa ada detail lain yang harus di perbaiki?”
“Menurut kamu gimana Mai?”
“Eng kayaknya di bagian dada agak sedikit kekencengan.” Pandu menahan pikirannya untuk tidak traveling ke sembarang arah, matanya pun ia jaga agar tidak memandang lama pada bagian yang di keluhkan oleh istrinya itu.
“Itu aja?” suara Pandu tiba-tiba saja serak.
“Iya.”
“Baik pak, kalau begit
Hai semua, terimakasih untuk dukungannya selama ini dan sampai ketemu di cerita baru ku. Kita akan ketemu Bima - Jenna - Rama di sana :)
“Kamu yakin?” Tanya Pandu sambil membolak balik koran yang sedang di bacanya.“Yakin, perempuan ini bersih. Dia baru aja dateng dari kampung.”“Aku tau kamu itu cemburuan, kamu yakin?”“Mas Pandu kan enggak perlu sering-sering ketemu dia, cukup datengin dia di masa subur abis itu udah. Kita tunggu beberapa bulan kemudian dia hamil atau enggak, aku enggak akan cemburu kalau begitu.”“Hmmm.”“Mas, kamu mau kan? Ini demi keluarga kita, aku tuh udah cape banget tau enggak di tanyain macem-macem.” Pandu tersenyum tipis mendengar perkataan istrinya.Ghiana Van Sore, perempuan yang di nikahi Pandu lima tahun lalu sangat tidak mau kalah dan benci di komentari. Telinganya panas ketika orang-orang yang bertatus lebih rendah dari keluarga Sore mengatainya mandul walau kemungkinan memang benar begitu keadaannya. “Mas?”“Terserah Ghi, kepu
“Jadi kamu udah tau kan tugas dan peran kamu sebagai istri saya itu apa?” Pandu bertanya saat mereka berada dalam perjalanan mengantarkan istri barunya ke komplek perumahan sederhana di pinggiran kota. Ghiana bilang perumahan itu adalah lokasi yang cocok untuk menyembunyikan keberadaan Maira, gadis desa yang baru saja di nikahi Pandu beberapa saat yang lalu.“Udah pak. Saya Cuma perlu kasih satu penerus untuk keluarga bapak, abis itu saya dapet uang. Iya kan?”“Hmm, kamu enggak keberatan?”“Maksudnya?”“Kalau kamu melahirkan anak saya nanti, kamu enggak akan penah bisa ngeliat anak itu. Karena dia akan menjadi milik saya dan Ghiana. Kamu siap?”“Saya siap pak. Sejak awal ibu Ghiana udah ngasih tau saya soal itu dan saya enggak merasa keberatan.” Jawab Maira setelah diam beberapa saat.“Apa yang Ghiana janjiin untuk kamu?”“Sawah di kampung sama s
Maira menghela napas, perempuan desa itu memutuskan untuk berkeliling sebentar. Mengagumi betapa kokoh dan dan indahnya rumah satu lantai yang di berikan keluarga Sore kepadanya. Maira sekali lagi menghela nafas, setelah itu membawa tas lusuhnya ke dalam kamar.“Bagus.” gumamnya tanpa sadar, perempuan itu menatap benda kotak panjang berwarna putih. Pandu bilang itu pendingin ruangan. Maira mencoba mengingat-ingat hal-hal yang di ajarkan Pandu kepadanya sebelum laki-laki itu pergi beberapa saat yang lalu.“Eh, loh kok ini dingin banget?.” Maira yang panik memencet remot AC di tanganya dengan sembarangan, hal itu rupanya justru membuat suhu di kamar itu menjadi semakin dingin.“Duh enggak tau ah! Mainan orang kaya ribet banget ternyata.” Maira menggigil karena sama sekali tidak terbiasa dengan suhu pendingin ruangan di kamarnya, perempuan itu membereskan barang bawaannya yang tidak seberapa dengan cepat.“Haaah, kay
“Langsung pulang pak?” Tanya supir keluar Sore kepada tuannya, Pandu sudah akan mengiyakan tapi kemudian laki-laki itu mengingat janjinya dengan Maira kemarin.“Ke Griya Pesona dulu Din, saya ada janji sama Maira.”“Baik pak.”Pandu menyandarkan tubuhnya yang lelah, jas kerjanya sudah tidak lagi laki-laki itu kenakan. Pandu hanya mengenakan kemeja berwarna biru dongker yang dua kancing atasnya sudah di buka, rambutnya tidak lagi klimis karena laki-laki itu langsung mengacak tatanan rambutnya begitu sampai di dalam mobil.Pandu turun dari mobilnya yang terpakir tepat di bawah pohon mangga tidak jauh dari lapangan kecil. Laki-laki itu berjalan, walau sesekali merasa tidak nyaman karena sekolompok ibu-ibu yang sepertinya terus meliriknya dari tadi.“Baru pulang mas?”“Oh, iya.”“Suaminya mba Maira kerjanya bagus ya? mobilnya bagus, orangnya juga bagus.”
“Kamu sekarang keliatan kayak gembel yang baru ketemu sama makanan tau enggak.” Maira meneguk air di dalam gelasnya sebentar sebelum menjawab kalimat sarkas yang di berikan oleh Pandu.“Saya memang baru ketemu sama makanan kok, walau bukan gembel. Tapi mantan gembel.” Lagi, maira menyendokan mie aneh yang ternyata rasanya sangat enak di lidah perempuan desa itu.“Lagian ya pak, saya enggak akan makan kayak gini kalau bapak enggak ngabisin makanan di rumah saya.”Pandu pura-pura tidak mendengar gerutuan Maira, laki-laki itu memilih memainkan ponselnya yang sebenarnya sama sekali tidak menarik untuk di lihat. Pandu memang sedikit kalap saat di rumah Maira tadi, niatnya hanya sekedar menuntaskan rasa penasaran dengan masakan Maira yang kelihatan sangat aneh di matanya. Sayangnya cita rasa dari masakan yang belum pernah di cobanya itu membuat Pandu sedikit kehilangan kendali, akhirnya tanpa sadar Pandu menghabiskan s
Ghiana menatap komplek sederhana yang sore hari ini kelihatan sangat ramai dari balik kacamata hitam yang di kenakannya, nyonya keluarga Sore itu menjadi pusat perhatian karena gaya dan juga parasnya yang sangat mencolok. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu masih tampak modis dengan atasan crop top kemben model ruched tanpa tali berwarna putih, dan bawahan celana cotton berwarna hitam panjang.“Cari siapa bu?” Ghiana membuka kacamatanya, memperhatikan ibu-ibu tambun yang juga terang-terangan menilai penampilannya.“Maira, saya nyari dia.”“Oh mba Maira, penganten baru itu ya? ibu saudara suaminya?”“Suami?”“Iya, suaminya mba Maira. Dia orang kaya, ibu juga keliatan kaya. Jadi ibu ini siapanya suami mba Maira?” Lagi si ibu tambun memperhatikan penampilan Ghiana dari ujung kaki hingga ujung kepala.“Ibu kenal suami Maira?”“Loh i
Pandu menyesap red wine di tangannya dengan senyum terkulum, laki-laki itu mendapatkan laporan dari orang kepercayaannya kalau hari ini Ghiana datang menemui Maira, Istri pertamanya itu jelas mengetahui kegiatan Pandu dan Maira kemarin malam dan Ghiana jelas sangat tidak menyukainya.“Mas, kamu udah pulang?” Ghiana terkejut mendapati Pandu ada di dalam kamar mereka, ini baru pukul tujuh malam. Biasanya Pandu baru akan memasuki kamar mereka di tengah malam atau dini hari.“Dari mana Ghi?” Pandu bertanya sembari memutar gelasnya pelan, Ghiana yang menolak terintimidasi melipat tangan di depan dada. Jelas menantang suaminya.“Aku abis kasih peringatan sama istri ke dua kamu.”“Pft! Kenapa, kamu merasa terancam sekarang?”“Mas!”“Kenapa sayang?”“Aku minta kamu nikahin dia, bukan untuk berbagi kasih sayang. Kita cuma butuh dia ngelahirin calon penerus u
Pandu langsung berjalan mengambil gelas anggur dan menuangkan wine begitu memasuki ruang kerjanya, perasaan laki-laki itu sedang senang sekarang karena berhasil membuat Ghiana kesal. Tidak pernah ada cinta di dalam pernikahan mereka, Pandu hanya mencintai satu orang wanita. Kekasih yang di pacarinya sejak duduk di bangku SMA, Laras namanya.“Laras..” Pandu mengeja nama itu di dalam hati, batas kesadarannya semakin menipis. Sesapan terakhir Pandu pada gelasnya menumbangkan laki-laki itu, Pandu merasa dirinya melayang kembali ke masa di mana Larasnya masih bisa ia genggam....“Laras?” pandu bertanya bingung.“Iya?”“Laras?”“Apaan sih ndu, hahaha. Kamu ngeliatin aku segitunya banget, kayak kita udah lama banget enggak ketemu.”“Laras!”“Hahahaha”Pandu memeluk ke kasihnya erat, laki-laki itu merasa lega jika apa ya