“Langsung pulang pak?” Tanya supir keluar Sore kepada tuannya, Pandu sudah akan mengiyakan tapi kemudian laki-laki itu mengingat janjinya dengan Maira kemarin.
“Ke Griya Pesona dulu Din, saya ada janji sama Maira.”
“Baik pak.”
Pandu menyandarkan tubuhnya yang lelah, jas kerjanya sudah tidak lagi laki-laki itu kenakan. Pandu hanya mengenakan kemeja berwarna biru dongker yang dua kancing atasnya sudah di buka, rambutnya tidak lagi klimis karena laki-laki itu langsung mengacak tatanan rambutnya begitu sampai di dalam mobil.
Pandu turun dari mobilnya yang terpakir tepat di bawah pohon mangga tidak jauh dari lapangan kecil. Laki-laki itu berjalan, walau sesekali merasa tidak nyaman karena sekolompok ibu-ibu yang sepertinya terus meliriknya dari tadi.
“Baru pulang mas?”
“Oh, iya.”
“Suaminya mba Maira kerjanya bagus ya? mobilnya bagus, orangnya juga bagus.”
“Hahahaha.” Pandu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, laki-laki itu sama sekali tidak mengerti dengan ucapan ibu-ibu tambun di hadapannya ini.
“Saya permisi duluan bu.”
“Oh, iya. Silahkan, mba Maira pasti udah nungguin.”
Pandu tidak mengatakan apapun, laki-laki itu hanya bergegas berjalan menuju rumah Maira dan mengetuk pintunya dengan tidak sabaran.
“Ya ampun bapak, kalau pintunya rusak gimana?” Maira langsung menegurnya begitu pintu di buka, perempuan itu benar-benar tidak mempunyai rasa takut atau segan kepada Pandu. Laki-laki asing yang baru di temui dan di nikahinya kemarin siang.
“Stt, nanti aja ngomelnya. Saya mau masuk dulu.”
“Kenapa sih?”
“Tetangga kamu aneh.”
“Oh, hahaha. Bapak ketemu ibu-ibu di luar?” Pandu mengikuti Maira yang memasuki rumahnya lebih dalam, samar-samar laki-laki itu mencium bau harum makanan yang langsung membut perut laki-laki itu merasakan lapar.
“Mereka tau saya suami kamu?”
“Iya, kemaren malam mereka nanya. Saya jawab aja bapak suami saya.” Maira kemudian menjelaskan pendapatnya yang untungnya di setujui oleh Pandu.
“Bagus, jadi mereka enggak akan penasaran kenapa saya sering kesini nanti. Ngomong-ngomong kamu masak?”
“Iya, saya belum makan malem gara-gara nunggu bapak. Hampir aja saya kira bapak lupa sama janji bapak untuk beliin saya ponsel.” Pandu berdehem kecil untuk menutupi kegugupannya mendengar protes dari Maira karena sejujurnya laki-laki itu memang nyaris melupakan janji mereka tadi.
“Kita jadi berangkat pak? Ini udah jam tujuh loh, enggak ke maleman?”
“Jadi, kamu mau siap-siap dulu?” Maira menggelengkan kepala.
“Mau makan aja dulu boleh? Saya laper banget soalnya.” Pandu melirik meja makan, tidak ada terlalu banyak menu seperti di rumahnya dan Ghiana. Hanya ada ayam goreng yang entah di bumbui bagaimana karena warnanya kecoklatan, potongan tempe yang di lumuri tepung dan juga sayur sup yang jauh lebih banyak di isi oleh sayuran di bandingkan bakso.
“Boleh.” Pandu akhirnya mengangguk.
Pandu duduk di ujung meja, memperhatikan Maira yang dengan riang menyendokan nasi panas beserta lauk pauk yang sedari tadi membuat Pandu penasaran kedalam satu piring kaca. Perempuan itu hanya menyiapkan satu piring, dan itu membuat kening Pandu sedikit berkerut tidak senang.
“Kamu enggak nawarin saya makan?”
“Bapak mau makan?” Maira yang sudah siap dengan suapannya menatap Pandu dengan bingung, sedangkan Pandu berdecak sebal karena ketidak pekaan perempuan kampung yang duduk di samping kanannya ini.
“Ya ngomong dong pak kalau mau makan, saya kan bukan dukun yang bisa baca pikiran.” Pandu yang sudah malas hanya berdecak, Maira benar-benar perempuan yang menyebalkan.
“Jadi ayah sama bunda mau menikah lagi?” Bima bertanya.“Bukan menikah lagi, tapi buat pesta pernikahan lagi. Soalnya, waktu pesta pernikahan yang pertama kan abang sama mas enggak ada.”“Yeay! Keren yah, nanti Bima mau pamer sama Adi.” Pandu mengelus kepala anaknya itu sayang, mereka sedang di butik saat ini.“Itu bunda yah.” Rama menunjuk tirai yang di buka, mulutnya terbuka membentuk huruf o.“Bunda cantik banget, kayak peri!” Pandu setuju dengan penilaian anak-anaknya, Maira benar-benar kelihatan cantik dengan gaun pengantinnya itu.“Bagaimana pak? Apa ada detail lain yang harus di perbaiki?”“Menurut kamu gimana Mai?”“Eng kayaknya di bagian dada agak sedikit kekencengan.” Pandu menahan pikirannya untuk tidak traveling ke sembarang arah, matanya pun ia jaga agar tidak memandang lama pada bagian yang di keluhkan oleh istrinya itu.“Itu aja?” suara Pandu tiba-tiba saja serak.“Iya.”“Baik pak, kalau begit
“Bima, Rama. Ayah sama bunda kalian itu cerai ya?” Adi bertanya kepada si kembar yang saat itu sedang bermain di taman komplek.“Cerai itu apa?”“Duh, cerai itu enggak tinggal sama-sama lagi. Enggak menikah lagi gitu.” Si kembar mencoba mengingat-ingat. Pandu memang tidak pernah tidur di rumah selama ini, laki-laki hanya akan datang di pagi hari untuk ikut sarapan bersama. Siang sibuk di kantor, dan malamnya datang lagi untuk makan malam dan main bersama mereka setelah itu pergi ketika mereka sudah tidur.“Enggak tau, tapi nanti coba aku tanya.”“Kalau cerai, berarti nanti kalian bisa dapet bunda atau ayah baru loh.”“Eh, kenapa gitu?!” Bima berseru tidak suka.“Iya, papa Dyo kan dulu juga cerai terus enggak lama Dyo punya mama baru. Sekarang mamanya Dyo jadi dua.” Adi mendekatkan diri untuk bisa berbisik.“Tapi mama baru Dyo galak.” Bima d
Pandu mengelus dada, keadaan Bima tidak terlalu memprihatinkan. Dokter bilang anak itu tidak sadarkan diri karena mengalami syok dan bukan karena kondisi serius. Bima cukup beruntung kali ini karena air bag di kursi penumpang cukup melindunginya, selain itu mobil yang berlawanan dengan mobil Ghiana juga sempat banting stir. Tapi Ghiana, perempuan itu kritis.“Iya, Bima enggak apa-apa untungnya.” Pandu langsung mengabari Maira begitu urusannya dengan tim penyidik selesai.“Besok aja, hari ini biar aku yang jaga Bima di sini. Rama juga pasti masih syok kan. Aku janji akan kabarin kamu secepatnya kalau ada apa-apa.” laki-laki itu sedikit menyunggingkan senyum mendengar suara Maira di seberang sana. Suara istrinya itu bersahutan dengan suara Rama yang cerewet menanyai keadaan saudaranya.“Oke, besok biar pak Udin jemput kamu sama Rama.” Laki-laki itu kemudian memutuskan sambungan telefon, setelah menitipkan anaknya kepada perawat
Maira membelai rambut Bima dengan perasaan haru, anak bungsunya itu sekarang kembali tertidur dengan nyaman di ranjang kamarnya yang sederhana. Perempuan itu kemudian menghela napas, mengingat kembali ke jadian beberapa jam yang lalu di rumah keluarga Sore.Maira kira ia terlambat, ia sudah khawatir terjadi sesuatu yang buruk terhadap Bima. untungnya ke khawatirannya tidak terjadi, karena begitu memasuki rumah besar terdebut dengan paksa Maira melihat Bima sudah berada di dalam pelukan Pandu.“Bima, astaga. Kenapa nak?” Maira langsung mengambil anak itu cepat, di peluknya bocah laki-laki yang sebentar lagi akan berusia enam tahun itu dengan erat.“Din, bawa Maira dan anak-anak ke mobil. Tunggu saya di sana.”“Baik pak, Mari bu. Ikut saya dulu sebentar.” Maira sama sekali tidak membantah, ia tidak ingin terlibat dengan masalah rumah tangga Pandu karena yang terpenting baginya anak-anaknya aman.Maira tidak tau ber
“Bunda, kok Bima manggilnya mama ke tante Ghiana?” Rama bertanya sembari memakan makan siangnya, sudah satu bulan Bima sadar dari komanya. Dokter bilang, anak itu mengalami cidera kepala yang membuat Bima tidak bisa mengingat semua kenangan di masa lalunya.“Kan tante Ghiana istri ayah juga, jadi memang bisa di panggi mama.”“Rama mau punya bunda aja, enggak mau ada mama.” Maira tersenyum miris, jika bisa memilih ia juga ingin anak-anaknya merasa cukup hanya dengan memilikinya.“Pa, ngapain di situ!” Bima berseru heboh begitu Pandu datang dan lansung mengecup kening Maira.“Sebentar ya mas, ayah kangen sama abang ini.”“Pa!”“Iya..iya..” banyak hal yang berubah dari diri Bima. ia tidak lagi mengingat Rama saudara kembarnya dan menolak memanggil Pandu dengan sebutan ayah. Ghiana bilang, Bima harus memanggil Pandu dengan sebutan papa.“Apa ka
Pandu berlari di lorong rumah sakit bersama dengan Maira yang sejak tadi tidak bisa berhenti menangis. Perempuan itu di kabari oleh salah satu tetangganya soal kecelakaan yang menimpa Bima.“Bunda!” Rama langsung mengehambur, tangisnya pecah di dalam gendongan bundanya yang juga sama gemetarnya dengan anak itu.“Gimana bisa sampe kayak gini pak RT?” Pandu yang bertanya, karena Maira jelas masih tidak bisa mengontrol diri.“Saya cuma denger sekilas dari Adi pak Pandu, katanya ada perempuan yang ngaku-ngaku istrinya pak Pandu dateng terus nanyain rumah bu Maira. Terus Adi bilang kalau bu Maira pelakor, Bima mungkin enggak terima terus mereka berantem sampe ke jalan terus kejadian lah ini.”“Astaga..”“Terus gimana sama penabraknya?”“Maaf pak, tapi dia berhasil kabur.” Pandu mengumpat, ia tidak akan tinggal diam. Laki-laki itu bersumpah akan menemukan keparat yang sudah me