Share

The Murder of The Grapefruit Pie Act 3

Sesuai yang dikatakan Lumiere tempo hari. Pada hari minggu, para petani yang menyewa tanah di tanah milik Keluarga Wysteria melakukan pengukuran ulang. Lucius, Lumiere, dan Lucian datang dengan pakaian santai mereka. Saking santainya, mereka terlihat seperti bukanlah seorang bangsawan. Hal tersebut membuat para warga tercengang dan terlihat tidak mempercayai apa yang mereka lihat.

Kegiatan pengukuran ulang tanah sewaan berjalan lancar tanpa ada kendala apa pun. Para petani juga mendapatkan beberapa penjelasan tambahan dari Lumiere perihal tanaman apa saja yang dapat mereka tanam di tanah ini. Setelah menyelesaikan pengukuran, Lucian selaku pengurus Administrasi dan Wilayah kekuasaan menetapkan harga sewa per meternya.

Para petani yang menerima jumlah harga yang harus mereka bayarkan terkejut begitu mengetahui nominalnya. Harga sewa yang jauh lebih murah dari pada yang ditetapkan oleh Baron Rogue.

Esoknya, berita tentang harga sewa tanah di wilayah Wysteria menjadi murah tersebar luas dari mulut ke mulut. Hampir setiap orang di kota kecil ini yang berkumpul pasti membicarakannya. Termasuk para pria yang berkerumun di dekat pedagang buah yang kemarin Lumiere kunjungi.

“Sewa tanah di wilayah Wysteria jadi murah, lho!”

“Kebetulan peternakan ayahku berada di wilayah Wysteria. Beliau bilang, ia hanya perlu membayar satu per tujuh dari total tanah yang ia sewa!”

“Katanya, kalau tidak punya uang, boleh pakai panenan untuk pembayaran!”

“Serius?!”

“Enak, ya.”

“Aku jadi mau pindah dari tanah si Baron gendut itu!”

“Memangnya semudah itu untuk pindah sewa tanah!?” gerutu Pak Hendrik seraya membawa sebuah kotak berisi buah grapefruit hasil panennya. Kaki jenjangnya yang masih terlihat kokoh melangkah tegas menuju si Pedagang buah yang seorang wanita tua.

Dan secara kebetulan, kedatangan Pak Hendrik di lapak wanita tua tersebut bersamaan dengan Lumiere yang sedang melintas menuju ke kampus.

“Bu guru kecil bisa juga, ya! Popularitas keluargamu naik, tuh!” ujar si Pedagang buah mengerling menggoda Lumiere yang menghentikan langkah kakinya.

Lumiere tersenyum canggung, “Bu guru kecil?” batinnya saat mengingat kembali bagaimana wanita tua itu memanggilnya.

“Soalnya kami punya banyak tanah di kota lain, jadi tak masalah meski menurunkan harga sewa,” balas Lumiere senyuman canggungnya.

“Kebanyakan duit nih, ceritanya?” tanya wanita tua tersebut kemudian tertawa lepas yang membuat Lumiere merasa pertanyaan tersebut menohok dirinya.

“Kalian melakukan hal yang mencolok sekali, ya?”

Lumiere sontak menolehkan kepalanya dan mendapati Pak Hendrik datang menghampiri mereka dengan kotak kayu berisikan buah grapefruit.

“Tapi, Tuan tanah tempatku tidak berubah.” Pak Hendrik kembali berbicara seraya meletakkan kotak kayu tersebut ke dalam sisi lapak jualan si wanita tua tersebut.

“Kebun buahnya Pak Hendrik ada di wilayah Baron Rogue, ya?” tanya Lumiere seraya memperhatikan Pak Hendrik yang tampaknya sedang membereskan isi dari kotak kayu tersebut.

“Iya. Dan tanah tidak bisa dipindahkan begitu saja ...” jawab Pak Hendrik dengan ekspresi yang tiba-tiba berubah sendu saat akan melanjutkan kembali ucapannya, “... apa boleh buat.”

Baik wanita tua itu ataupun Lumiere sama-sama terdiam. Mereka juga bingung ingin mengatakan apa lagi mengingat keadaan Pak Hendrik yang seperti itu. Dirasa cukup bosan memandangi dua orang di hadapannya, si Wanita tua itu tanpa sengaja menoleh ke arah lain.

“Oh? Wah Michelle, apa kabar?” tanya wanita tua tersebut saat netranya yang masih berfungsi dengan sempurna menangkap sosok seorang wanita cantik yang ia panggil Michelle, sedang berjalan menghampiri lapak dagangannya.

Lumiere lantas menoleh ke arah lain saat wanita tua itu melontarkan pertanyaannya. Sedangkan Pak Hendrik, ia tampak tersentak terkejut dan membeku untuk beberapa saat.

“Selamat pagi, Bu Ariel.” Wanita cantik bernama Michelle itu menjawab pertanyaan si Wanita tua yang ternyata bernama Ariel tersebut dengan senyuman manisnya yang terkesan tidak hidup.

“Tumben sekali, sudah baikan?” Bu Ariel kembali bertanya sembari memperhatikan Michelle yang sedang meneliti satu persatu buah dagangannya.

“Ya. Tak baik mengurung di rumah.”

Pak Hendrik melepas topi yang sedang ia kenakan dan menunduk dalam saat Michelle menjawab pertanyaan kedua dari Bu Ariel. Kesedihan tampaknya sedang menghampiri pria paruh baya tersebut. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang menunjukkan percampuran antara sedih dan juga menyesal. Menyesal dengan apa yang terjadi di antara ia dengan Michelle.

Karena faktanya, Pak Hendrik dan Michelle adalah sepasang suami istri. Namun karena suatu hal, terjadi perang dingin di antara mereka. Lebih tepatnya, Michelle membenci suaminya tersebut.

“Lho? Nona Lumiere?”

Bu Ariel tampak terkejut saat Michelle yang mengenali Lumiere yang sedang memamerkan senyuman manisnya, “Sudah kenal?”

Michelle mengangguk singkat, “Kemarin saya ditolong oleh beliau saat terjatuh waktu pergi ke luar.”

Michelle bergerak sedikit, menghadap Lumiere yang membuat sang Gadis kebingungan. Tanpa ucapan apa pun lagi, Michelle tiba-tiba membungkukkan badannya sembilan puluh derajat yang membuat Lumiere terkejut bukan main, “Terima kasih sudah berbaik hati kepada saya!”

“T–tidak, kok. Sudah sewajarnya manusia saling membantu,” balas Lumiere tersenyum canggung. Ucapannya barusan membuat Michelle menegakkan tubuhnya kembali.

Michelle kembali tersenyum, kembali berbalik untuk memilih buah yang akan ia makan nanti. “Mau buah apa?” tanya Bu Ariel seraya menatap Michelle.

“Hmm... minta grapefruit, deh!”

Pak Hendrik terkejut mendengar jawaban sang Istri. Saking terkejutnya, wajahnya sampai kembali menegak yang semula menunduk dalam.

“Silakan ...” ujar Bu Ariel berhenti sejenak untuk menatap sekilas Pak Hendrik, “... akhirnya panen suamimu berhasil, lho! Rasanya asam dan enak!”

Ada perubahan di raut wajah Michelle saat mendengar kelanjutan dari ucapan Bu Ariel, “Oh... kalau begitu, tidak usah.”

Ucapan tanpa emosi namun cukup mampu menohok hati Pak Hendrik yang kembali menunduk dalam. Lumiere yang kebetulan melihatnya menatap bingung Pak Hendrik dan Michelle secara bergantian. Ada apa dengan mereka?

“Aku tak butuh hasil panen dari tanah busuk itu.” Setelah mengucapkan kalimat pedas tersebut, Michelle melangkah pergi begitu saja tanpa membeli buah.

Meninggalkan Lumiere yang memperhatikannya dengan pandangan bingung. Juga meninggalkan Pak Hendrik yang kembali larut ke dalam rasa penyesalannya.

“Yang tadi itu ...”

“Tiga tahun lalu... putra kami meninggal karena radang paru-paru. Sayangnya saat itu dokter kota sedang tidak ada.”

***

Tetesan air hujan jatuh dengan derasnya membasahi tanah Kota Durham. Karenanya, sebagian besar masyarakat memilih untuk tetap berada di dalam rumah. Melindungi tubuh berharga mereka dari air hujan yang bisa saja membuat mereka jatuh sakit.

Namun, bagi Pak Hendrik dan Bu Michelle, air hujan bukanlah penghalang bagi mereka untuk pergi ke dokter. Pasalnya, anak tunggal mereka demam parah dan juga nafasnya terdengar sesak. Dengan panik kedua pasangan suami istri ini berlari menerjang hujan menuju rumah sang Dokter.

Sayangnya, sang Dokter yang menjadi cahaya harapan mereka sedang tidak berada di tempat. Sang Dokter sedang pergi ke pernikahan putrinya dan tidak akan pulang malam ini. Itu pun mereka mengetahuinya saat Bu Ariel menghampiri mereka.

“Kalau tidak salah, di rumah Baron Rogue ada dokter pribadi,” ujar Bu Ariel setelah mengingat bahwa ada dokter lain di kota ini.

Ekspresi Bu Michelle berubah cerah. Lantas, wanita cantik itu segera membujuk sang Suami untuk bergegas menuju ke rumah Baron Rogue.

“Ayo kita ke sana, sekarang!”

Kedua pasangan yang sudah mengikrarkan janji suci di hadapan tuhan ini kembali menerjang hujan deras yang entah kapan redanya. Tujuan mereka hanya satu, yaitu kediaman Baron Rogue.

Cahaya harapan yang kembali menyala itu perlahan meredup begitu mereka tiba di sana. Kepala pelayan rumah tersebut mengatakan bahwa, tuan rumah sedang kedatangan tamu dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun.

Dengan perasaan marah, Pak Hendrik berteriak, “Bukan saatnya bicara begitu! Tolong panggillah dia kemari.”

“Tapi ...”

“Berisik sekali!”

Wajah Pak Hendrik kembali cerah, memanggil sang Atasan dan hendak menghampirinya. Belum sempat menginjak karpet mahal, Baron Rogue berteriak. Mengisyaratkan agar Pak Hendrik tidak melanjutkan langkahnya.

“Hentikan! Karpetku ini masih baru! Kalian tahu tidak itu harganya berapa, hah!?” bentak Baron Rogue dengan urat di lehernya menonjol karena amarah yang memuncak.

Michelle mengeratkan gendongannya pada sang Anak, “Maaf, tapi ...” Ucapan Michelle dipotong oleh Baron Rogue.

“Ooh. Mau pinjam dokter? Itu cuma masuk angin. Suruh tidur juga sembuh!”

Dari arah dalam rumah, terdengar sebuah teriakan yang meminta Baron Rogue untuk kembali bergabung dengan permainan mereka.

“Rogue, cepat! Sekarang giliranmu!”

“Ah, tunggu sebentar!”

Michelle panik saat melihat Baron Rogue berbalik untuk kembali bergabung dengan tamu-tamunya, “Maaf, dokter ...”

“Rumah ini luas! Aku lupa dia di kamar mana.”

“Ahh ...” Pak Hendrik yang ingin sekali lagi mengatakan permintaannya mendadak terdiam karena istrinya kembali berteriak.

“Kami mohon, setidaknya obat! Atau air pun boleh!” teriak Michelle yang membuat Baron Rogue menghentikan langkah kakinya.

“Kalian... berani bayar berapa untuk airnya?”

Pak Hendrik dan Bu Michelle mematung terkejut begitu pertanyaan  tersebut terlontar dari mulut Baron Rogue.

Di malam yang hujan turun dengan deras, seorang anak tidak berdosa meninggal dunia karena penyakit radang paru-paru.

***

“... dia mendendam pada aku yang tetap bekerja di tanah milik orang itu. Membenciku yang tak bisa kabur ataupun melawan,” ujar Pak Hendrik mengakhiri cerita tentang anaknya yang telah meninggal belum lama ini.

“Tapi, Michelle jauh lebih dendam pada bangsawan. Kamu pasti menyembunyikan statusmu, ya?” tanya Bu Ariel seraya menatap Lumiere yang berekspresi sendu. Sepertinya gadis cantik ini merasa iba dengan kejadian yang menimpa keluarga Pak Hendrik.

“Hei, Bu Guru kecil ...” Lumiere menoleh ketika Pak Hendrik memanggil namanya dengan suara parau penuh keputusasaan, “... mau mendengarkan keluhan hubungan suami istri tidak?”

Lumiere tersentak terkejut. Ia cukup kaget mendengar kata ‘keluhan hubungan suami istri’. Sejujurnya sih Lumiere tidak mempermasalahkan hal apa pun yang ingin dikonsultasikan. Hanya saja, baru kali ini ia mendapatkan permintaan menyangkut urusan rumah tangga orang lain. Walaupun begitu, Lumiere akan tetap menyanggupinya jika ia sanggup.

“Aku harus melakukan apa? Bagaimana caranya menolong istriku?” tanya Pak Hendrik seraya mengacak-acak rambutnya gelisah. Dengan tiba-tiba, Pak Hendrik mendongak. Menatap Lumiere dengan aura membunuh yang terasa samar.

“Asalkan dia hilang... asal dia ...”

“... mati!”

***

Karena gegernya tentang harga sewa tanah di Wilayah Wysteria, para petani di Wilayah Rogue pun melakukan aksi protes ke Baron Rogue. Hal tersebut tentunya membuatnya marah dan akhirnya membawanya menuju Kediaman Wysteria. Pria tua bertubuh gemuk itu bermaksud melakukan protes kepada Lucius yang merupakan kepala keluarga.

Tanpa menjalani etika seorang bangsawan ketika bertamu, Baron Rogue masuk begitu saja setelah Lucian membuka pintu kediaman. Berjalan dengan langkah lebar mencari Lucius yang ternyata sedang berada di ruang bacanya.

“EARL WYSTERIA! SAYA KESUSAHAN NIH!” adu Baron Rogue begitu melihat Lucius baru saja meletakkan cangkir teh ke meja, “Buruh tanimu minta sewa tanahnya diturunkan dan pajak dihapus! Bahkan sampai ada yang bilang mau pindah ke wilayahmu saja!”

Lucius hanya terdiam, terus mendengarkan ocehan demi ocehan yang Baron Rogue keluarkan dari mulutnya dengan penuh amarah.

“Kalau ini terus berlarut, keluargaku bisa bangkrut! Dan kemudian tersingkirkan dari pergaulan kelas atas! Kamu suruh aku jadi apa nanti!?”

Lucius sebenarnya ingin tertawa mendengar ocehan terakhir dari Baron Rogue. Sudah setua itu masih memikirkan pergaulan kelas atas? Memangnya, ada seorang wanita yang mau menikah dengannya?

Baron Rogue memicingkan matanya, “Kalian yang memprovokasi warga kota, ya?”

Lucius mendongak, menatap wajah penuh amarah Baron Rogue, “Anda mau ikut makan malam dengan kami? Di sana, kita bisa membicarakan masalah ini.”

“Boleh ...” balas Baron Rogue menerima tawaran makan malam Lucius. Tangannya tergerak membenarkan kerah bajunya yang terasa mencekik lehernya, “... tapi di rumahku! Siapa juga yang mau terjun ke wilayah musuh!?”

“Memangnya wilayah Anda bukan musuh bagi kami, ya?” batin Lucian yang sedari tadi memperhatikan di pintu.

Setelah mengatakannya, Baron Rogue pamit undur diri. Dengan sigap, Lucian mengantarkan kepergian sang Baron dan memandangi kereta kuda hitam tersebut yang melaju semakin menjauh.

“Baron Eugene Rogue. Istri meninggal, tidak memiliki anak. Empat pelayan, satu dokter pribadi. Penyakit Hipertensi dan Arteri Koroner,” ujar Lucian dengan mata yang lurus ke depan saat Lucius muncul di belakangnya, “Informasi dari klien kita tampaknya akurat, kak.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status