Share

Marry Me, Om Duda!
Marry Me, Om Duda!
Penulis: Zu

Titip Anyelir

"Jadi ... Anye sementara tinggal di sini, Pa?"

Perempuan dengan rambut sebahu itu, menyorot sang Papa tidak habis pikir. Bagaimana mungkin dia tinggal di sini? Tentu saja dengan pria tua (di mata Anyelir) yang kini tengah menatapnya dengan wajah super seram.

"Iya, Sayang. Jadi, mulai sekarang tolong bersikap sopan sama Nak Damian. Turuti perintah dia, jadilah gadis yang penurut dan tidak nakal!" perintah Pak Ardi yang diangguki Anyelir pasrah.

"Kalau gitu Papa berangkat dulu, ingat ya, Anyelir, jangan bandel!" peringat Pak Ardi lagi pada putri semata wayangnya.

Pria itu mengecup sejenak puncak kepala gadis 19 tahun tersebut kemudian keluar diiringi Damian. Pria dengan setelan kemeja putih dibalut jas hitam itu, menyorot Pak Ardi dengan senyum hangat.

"Tolong jaga anak saya ya, Nak Damian. Dia satu-satunya harta paling berharga yang saya punya di sini, kalau bukan karena dia, saya nggak akan bertahan sampai sekarang," pesan Pak Ardi sambil menepuk bahu rekan kerja sekaligus anak sahabatnya.

"Jangan khawatir, Pak Ardi. Tanpa diminta pun, saya akan melakukannya. Terlebih jika mengingat jasa Pak Ardi pada Almarhum Papa saya, menitipkan Anyelir beberapa hari di sini saja tidak bisa untuk menebusnya." Damian menyahut menenangkan.

"Kamu memang mirip seperti Almarhum Papamu, oleh karena itu saya mempercayakan Anye padamu." Pak Ardi tersenyum lega berikutnya berbalik hendak pergi.

Tapi, belum sampai beberapa langkah, sebuah tangan mungil melingkupi pinggangnya. Begitu menoleh, Pak Ardi menemukan Anyelir di sana dengan mata berkaca-kaca.

"A-apa aku nggak boleh ikut, Pa? Aku janji kok kalau diizinin ikut, nggak bakal nyusahin." Gadis dengan baju gantung berterusan rok itu, meminta penawaran pada sang papa.

Pak Ardi melepaskan pelukan sang putri di pinggangnya. Pria itu berbalik dan mengecup sekali lagi puncak kepala Anyelir.

"Tolong mengerti, Anyelir. Ini perjalanan yang jauh, Jepang itu tidak dekat. Jadi tolong mengerti keadaan Papa," ucap Pak Ardi mencoba memberi pemahaman.

Akhirnya, meski enggan, Anyelir mengangguk patuh. Selesai berpamitan, Pak Ardi masuk ke dalam mobilnya dan menghilang di belokan jalan rumah besar tersebut.

Damian yang sedari tadi menonton gadis berbaju biru muda itu menangis, akhirnya mendengkus jengah. "Ini sudah hampir setengah jam kau berdiri di situ sambil menangis, Anyelir. Bisakah kita masuk sekarang?" tanya Duda 27 tahun itu agak kesal.

Sebenarnya, dia paling malas jika harus dihadapkan dengan seorang anak kecil seperti ini. Pasti merepotkan dan cerewet.

"Hei Anak kecil, ayo masuk!" ajak Damian lagi begitu tidak mendapatkan respon dari gadis bertubuh kecil itu.

"Aku bukan anak kecil! Lagipula, ngapain ngajak-ngajak aku ngomong, kata papa nggak boleh ngomong apalagi mau diajak sama orang asing." Gadis berambut sebahu itu menyahut di sela tangisnya.

Damian memegang kepala frustasi. "Jadi Papamu belum mengenalkanku padamu?" tanya pria bertubuh kekar itu tidak habis pikir.

"Belum, dia cuma ngasih tau namanya Om. Tapi, kita belum kenalan, jadi aku nggak mau nurutin ajakan Om," jawab gadis itu santai masih sibuk memandangi arah mobil yang membawa sang papa pergi.

"Yasudah, ayo kenalan!" tekan Damian sambil mengulurkan tangannya.

Anyelir mengalihkan pandangan ke pria itu dan mendongkak. "Kenalin, namaku Adisthy Anyelir, Om Duda." Gadis berpipi tembam itu membalas uluran tangan Damian.

"Aku Damian Narendra, pemilik rumah ini sekaligus ayah sementaramu di sini," jawab Damian dengan wajah datar.

"Ayahku cuma satu!" teriak Anyelir tidak terima. Matanya menyorot Damian memusuhkan.

Damian memutar bola mata malas. "Bukan begitu maksudku, Anak kecil! Makannya dengar dulu, maksudku intinya kau harus mematuhiku seperti ayahmu di sini!" perjelas pria jangkung itu lagi.

Anyelir mengangguk-angguk paham.

"Yasudah, sekarang ayo masuk! Di luar ada banyak serigala liar yang bisa memangsamu kalau kau kelayapan," ajak Damian lagi.

"Ini bukan hutan, Om. Mana ada serigala keliaran di sini," komentar Anyelir tidak mengerti.

Damian menghela napas berat. Sesusah ini ya, berbicara sama anak kecil? Padahal maksud Damian dari kata 'serigala liar' itu adalah perumpamaan untuk 'pria hidung belang'. Anyelir ini beneran sudah 19 tahun atau belum sih? Kok begitu saja tidak mengerti?

"Ayo masuk atau pulang saja sana ke rumahmu, Nona Adisthy!" tegas Damian sambil menyeret koper anak dari rekan kerjanya kelewat sebal.

Anyelir mengikuti dengan patuh. Matanya menoleh ke segala arah. Memperhatikan setiap interior rumah megah ini dengan biasa. Tentu saja, rumahnya juga besar. Bahkan mungkin lebih besar.

"Kamarku dimana, Om?" tanya Anyelir sambil terus berjalan menatap sekeliling.

Tak sadar karena sibuk melihat rumah yang asing di matanya, dia malah menabrak tubuh besar di depannya yang entah sejak kapan berhenti mendadak. Mengusap hidungnya yang sakit karena menabrak punggung Damian, Anyelir mendengkus kesal.

"Sakit tauk, Om. Hidungku bisa pesek kalau begini caranya," protes Anyelir sambil mengusap-usap hidungnya.

Damian melengos tidak peduli. "Ayo ... biar kutunjukkan kamarmu," ucap Damian sambil menarik Anyelir berikut kopernya menaiki tangga.

Membuka sebuah pintu di samping kamarnya, Damian meletakkan koper gadis cerewet itu di sana. "Ini kamarmu, yang di sebelah kiri itu kamarku. Ingat, jangan sampai ada drama salah kamar atau apalah itu!" peringat Damian mengantisipasi Anyelir berulah di rumahnya yang tenang dan damai.

Anyelir mengangguk paham.

"Kamar mandinya sama nggak, kayak kamar mandi di rumahku?" tanya Anyelir  yang di telinga Damian terdengar sangat unfaedah sekali.

"Memang apa masalahnya kalau beda? Kamu tetep mandi pakai air, 'kan, bukan tanah?" tanya Damian balik. Malah ikutan ngawur.

"Papa dulu pernah mandi air comberan waktu nolong aku pas kecebur karena jatuh dari sepeda," jawab Anyelir polos.

Damian menggemelatukkan gigi meminta ketabahan hati. "Aku tidak peduli apa Papamu mandi pakai air comberan atau air kembang tujuh rupa sekalipun, sana masuk! Kalau butuh sesuatu, kamu bisa ketuk pintu kamar sebelah!" jawab Damian mencoba sabar kemudian melangkah meninggalkan Anyelir menuju kamarnya.

Menyebalkan sekali. Padahal baru beberapa jam gadis kecil itu memijakkan kaki di rumahnya, tapi Damian sudah merasa kesabarannya bakal habis kapan saja. Apa kabar Pak Ardi yang 19 tahunan ini mengurus putrinya sendiri, ya? Bisa-bisanya kepala pria tua itu tidak meledak.

Masuk ke kamar dan membuka pakaiannya guna membersihkan diri di kamar mandi, sebuah ketukan di pintu membuat Damian tidak bisa menahan dengkusan sebalnya.

Segera berjalan menuju pintu kamar dengan menahan segenap perasaan kesal, Damian membuka pintu cepat. Lalu, kekesalannya lagi-lagi harus berada di puncak tertinggi begitu menemukan wajah Anyelir yang tersenyum cengengesan ke arahnya.

"Kenapa lagi, Adisthy Anyelir?!"

"Hehe ... enggak papa kok, Om. Cuma penasaran, aku nggak pernah ngetuk pintu orang soalnya. Kalau mau ketemu Papa, biasanya langsung masuk, ehehe."

Damian berkacak pinggang.

"Jadi hanya itu?" tanya Damian tidak habis pikir.

Anyelir mengangguk. Matanya menyorot duda 27 tahun itu dari atas hingga bawah.

"Hei ... apa-apaan ini? Berdiri tanpa baju di depan gadis dewasa sepertiku? Kamu berniat menggodaku, Om?" tanya Anyelir dengan senyum genit.

Damian melengos malas. "Sudahlah, aku mau mandi." Tangan pria dewasa itu menyentil dahi Anyelir dan berucap lagi, "dan kau, jangan sok mengaku dewasa, Anak kecil!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status