Damian menghela napas berat. Merasa kasihan sekaligus kebingungan harus membujuk Anyelir bagaimana lagi. Gadis yang kini duduk di lantai sambil memeluk lutut itu, terlihat kacau dan sangat berantakan.
Tadi, sehabis menjemput jenazah Pak Ardi, gadis itu mengamuk lagi di sana. Polisi bahkan sampai kesusahan untuk mengevakuasi korban juga bekas kecelakaan karena Anyelir yang terus memeluk jenazah Papanya yang penuh luka.Akhirnya, dengan perasaan luar biasa tidak tega, Damian membawa paksa gadis itu untuk kembali ke rumahnya. Sudah cukup lama Damian menenangkannya tapi gadis itu terus melempar berbagai macam benda yang mampu ia gapai ke arah Damian.Anyelir baru bisa tenang saat Damian bilang jenazah sang papa bakal diurus dan diantar ke rumah Damian. Pria itu sangat kasihan melihat kondisi Anyelir. Gadis itu seperti orang yang kehilangan kewarasan semenjak mengetahui kematian Papanya. Bahkan, Damian kuwalahan untuk mengendalikannya."Kamu nggak mau ganti baju dulu? Bentar lagi jenazah Papa kamu sampai sini. Baju kamu masih banyak noda darahnya itu," tanya Damian yang seperti biasa tidak mendapatkan jawaban.Menyadari gadis itu yang tidak berniat menggerakkan tubuh bahkan mulut untuk berbicara sama sekali, Damian mendekat. Pria itu memberanikan diri mengangkat tubuh Anyelir. Seperti dugaannya, gadis itu memberontak lagi tapi Damian tetap tidak berniat menurunkannya.Segera membawa gadis itu ke kamarnya, Damian melepaskan Anyelir di atas ranjang. "Cepet ganti baju, kamu mau nganterin Papa kamu ke peristirahatan terakhirnya, 'kan?" tanya Damian lembut sambil mengusap puncak kepala gadis itu lembut.Kali ini, gadis itu mengangguk patuh. Meski dengan air mata yang kembali berderai deras, Anyelir kali ini melangkah menuju lemari pakaian dan segera mengambil pakaian serba hitam untuk pemakaman. Damian memperhatikan dalam diam. Sedikit demi sedikit, sepertinya Anyelir mampu menguasai dirinya."Aku keluar dulu, ya. Mau ngurus pemandian dan pemakaman Papa kamu," pamit Damian berikutnya menghilang di ambang pintu.Anyelir masuk ke kamar mandi dan segera menutup pintu. Begitu melepas satu persatu bajunya yang terkena darah sang papa tadi, gadis itu kembali tidak bisa mengendalikan diri sendiri.Bukannya mandi begitu selesai membuka seluruh pakaiannya, gadis itu malah meluruh di lantai lembab kamar mandi dan kembali menangis keras."Papa ...."Bahkan, menyebut nama pria itu terasa menyesakkan sekali. Padahal, tadi pagi Anyelir masih mampu mendengar suaranya. Padahal, Anyelir berharap hari ini mereka bakal pulang ke rumah. Padahal, Papanya bilang bakal menjemputmya.Lalu kenapa pria itu malah mengingkari ucapannya? Dia akan menjemput Anyelir, kan?"Papa ...." Lagi dan lagi, yang mampu gadis itu ucapkan hanya sebatas nama tersebut.Sebab bayangan tubuh penuh darah sang papa, berhasil membuat gadis itu serasa kehilangan pijakannya. Pening bahkan ikut menjalar di kepala begitu bau amis darah perlahan menusuk indra penciumannya.Setelah ini, Anyelir bahkan tidak mampu membayangkan bagaimana hidupnya tanpa pria itu.***Damian menjemput Anyelir di kamarnya begitu menyadari gadis itu yang tak kunjung keluar. Begitu sampai di sana, yang ia dapati adalah wajah sembab gadis itu yang masih duduk termenung bak patung di sisi ranjangnya."Anye ... ayok keluar!" ajak Damian lembut.Gadis itu menoleh sejenak, berikutnya mengangguk dan berdiri. Tidak ada air mata lagi yang menetes dari mata gadis itu. Tapi wajah pucat juga mata sembabnya sudah mampu membuat Damian mengerti bahwa dia memang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja."Wajah kamu pucat, Anye. Ohiya ... kamu belum makan sejak kemarin. Ayok makan dulu, habis itu baru kita ke pemakaman!" ajak Damian yang dibalas Anyelir dengan gelengan.Damian menghela napas berat. Semakin khawatir dengan kondisi gadis itu.Selesai sholat zuhur, jenazah Pak Ardi bakal dimakamkan dan kini sudah saatnya. Damian terus mendampingi Anyelir guna jaga-jaga kalau sampai gadis itu mengamuk lagi.Tapi, dugaan Damian rupanya salah. Semenjak keluar dari kamar, gadis itu bahkan tidak mau mengeluarkan suara apapun lagi.Baru saja akan pergi guna mengurus hal lain karena mengira gadis itu sudah bisa ia tinggalkan sendiri, Damian terpaksa harus menghentikan langkahnya saat tubuh Anyelir limbung dan hampir terjatuh kalau saja ia tidak menahannya."Kamu nggak papa?" tanya Damian sambil menahan bahu gadis itu yang hampir ambruk.Gadis itu menggeleng dan memilih kembali berjalan. Damian menggigit bibir bawah khawatir. Seharusnya dia memang cukup tahu. Tidak ada yang selamat dari kata selamat tinggal. Tidak pernah ada yang baik-baik saja perihal kehilangan. Tidak Damian, tidak pula Anyelir.***Tangis Anyelir lagi-lagi tidak mampu terkendali saat melihat jenazah Papanya dikebumikan. Damian bahkan tidak tahu sudah sebanyak apa air mata gadis itu keluar sejak pagi tadi.Pria itu akhirnya cuma bisa berusaha menenangkan Anyelir dengan merangkul bahu gadis itu sambil membisikkan beberapa kalimat menenangkan. Semua pasti terlalu tiba-tiba untuknya. Terlebih, Papanya adalah satu-satunya orang yang ia punya selama ini.Sama sepertinya ketika almarhum istrinya meninggal dulu, Anyelir memang sangat kacau. Beberapa menit kemudian, proses pemakaman berakhir. Beberapa pelayat perlahan berlalu dengan memberikan ucapan berbela sungkawa terlebih dahulu. Tentu saja Anyelir tidak mempedulikannya dan Damian yang membalas ucapan mereka sebagai gantinya.Beberapa rekan bisnis cukup sadar seterpukul apa putri sematang wayang Ardi tersebut. Sebab, Anyelir memang kerap kali selalu membuntuti Ayahnya kemanapun pria itu pergi bekerja. Jadi, banyak orang yang mengenal dan tahu sedekat apa Anyelir dan Papanya."Kapan kita pulang? Udah mau hujan ini," tanya Damian menyadari Anyelir yang masih tidak bergeming di pijakannya.Gadis itu masih sibuk berdiri dengan mata tanpa berkedip menatap makam sang papa. Bahkan, gerimis yang perlahan turun tidak sedikit pun mengusik kegiatan gadis itu.Malah Damian yang takut gadis itu bakal sakit kalau berdiri di bawah gerimis dengan kondisi sekacau ini."Ayo pulang, Anye!" ajak Damian lagi meski sadar tetap tidak bakal mendapat jawaban dari gadis itu."Papa mau jemput aku, Om."Kalimat yang terlontar dari mulut gadis itu, kontan membuat Damian terbungkam. Bahkan dari nada suaranya, ia dapat menangkap geletar kesedihan yang tidak mampu pria itu jelaskan."Papa beneran mau jemput aku kan, Om?" tanya gadis itu lagi yang kini membuat Damian bahkan semakin terbungkam."Dia sebelumnya janji mau bawain aku oleh-oleh dari Jepang, dia juga udah janji kalau pulang nanti mau ngajak aku main basket lagi. Dia janji mau pulang, dia sudah janji dan dia nggak boleh nggak nepatin!" isak gadis itu semakin menjadi."Ayo kita pulang, Anyelir!" ajak Damian lagi.Memilih mengalihkan topik dan segera merengkuh tubuh gadis itu dalam dekapan."Papa ... Papa sudah janji, Om."Begitu kalimat gadis itu selesai, bersamaan dengan itu juga tubuh Anyelir merosot jatuh tak sadarkan diri."Pokoknya nggak mau tau! Nggak mau makan kalau nggak diseduhin mie instan!" Teriakan cempreng dari sang putri bungsu, membuat Anyelir berkacak pinggang. Perempuan itu mendengkus kesal sebelum kemudian beralih ke dapur."Azura! Jangan bikin Mama marah! Kata Papa, Mama lagi mode singa betina," bisik Elynca---sang putri sulung yang sayangnya tidak mirip bisikan. Karena Anyelir bahkan mampu mendengar 'bisikan' gadis kelas 1 SMP itu. Azura menoleh pada sang kakak kemudian memasang wajah memelas."Mintain mie instan ke Papa kalau gitu. Sana teleponin Papa, Kak Elyn!" Azura meminta sambil menarik-narik ujung baju kakaknya. Gadis yang saat ini duduk di bangku kelas 4 SD tersebut bahkan hampir menangis hanya karena sebungkus mie instan."Lagian kamu sih! Makan mie mulu, dimarahin Papa tau rasa deh," omel Elynca membuat Azura menggeleng protes."Aku nggak makan mie banyak kok sekarang. Cuma 2 kali sehari," cerita Azura yang dibalas dengusan sebal Elynca."Itu banyak namanya, Zuraaa! Papa aja
"Hei, Anak kecil! Makan dulu baru main! Ya Ampun, kok susah banget nurutnya sih?!" omel Anyelir pada gadis berambut sebahu yang berlari keluar dari dapur.Meninggalkan sang Ibu yang kini sudah berkacak pinggang di pintu utama rumah. Elynca menyengir lebar begitu melihat kekesalan yang terpeta di wajah awet muda sang Mama. Tapi, bukannya takut, gadis 5 tahun itu justru semakin berlari hendak keluar gerbang kalau saja tidak menubruk tubuh seseorang.Bruk ...."Aduuh ...." Elynca meringis sambil mengusap-usap keningnya tengan tangan mungilnya.Tapi, begitu mengenali celana orang yang ditabraknya, perempuan itu mendongak antusias dan menemukan wajah Damian tengah tersenyum sama sepertinya."Hei, Nona Adisthy kecil. Kamu ngapain Mamamu lagi sekarang sampai dia semarah itu, hm?" tanya Damian sambil menggendong sang putri dengan begitu ringan.Anyelir yang melihat kepulangan suaminya, semakin mendengkus kesal. "Oh ... inget rumah ternyata? Kirain lupa alamat terus nggak tau mau pulang lewat
Anyelir duduk berpangku tangan serius sambil memandangi pria di depannya yang memasak wajah ngeri. Berbanding terbalik dengan wajah sang suami di sampingnya yang sudah seperti hendak menerkam orang."Dia nggak bisa itu, Nye! Mending kamu liat aku makan pedes aja daripada dia. Dia mah cemen!" saran Damian masih tak mau menyerah membujuk istrinya.Anyelir mendesis kesal. Merasa fokusnya memandang wajah Angga terganggu oleh rengekan Damian."Ish, diem dulu, Om! Lagi serius ini!" kesal Anyelir begitu melihat Angga mulai membuka cup mie instan pedas yang dibelikan Anyelir khusus untuknya.Meski disuruh diam, Damian tetap mendumel sebal. Masih tidak terima karena Anyelir lebih tertarik pada wajah kepedasan Angga daripada wajah cool-nya."Apa hebatnya sih liat wajah Angga makan pedes dariapa liat wajah ganteng suami kamu ini?!" tanya Damian masih tidak mengerti."Kalau Om kan bisa makan pedes, dia mah nggak bisa. Jadi ya lucu aja ekspresinya gitu," jawab Anyelir sambil cekikikan geli.Damian
Anyelir berbaring telentang di lantai keramik dingin ruang tengah. Tanpa alas, tanpa bantal, juga tanpa niat bangkit meski Damian sudah menyorotnya tajam dari lantai atas tepat di ujung tangga."Woi!" teriak Damian yang ditanggapi Anyelir dengan tatapan malas.Melihat Anyelir yang tidak berpindah posisi sama sekali, Damian kontan berlari turun tangga. Anyelor yang melihatnya, menggeleng-geleng."Jangan lari-lari di tangga! Dasar anak kecil!" peringat Anyelir menirukan kalimat sang suami saat mengomelinya.Damian mendengkus sebal. Tanpa berucap apapun, pria itu mendekat pada Anyelir yang terlihat seperti paus terdampar. Damian mengangkat tubuh sang istri santai. Seolah tidak keberatan padahal perut Anyelir mulai terlihat lebih menonjol karena kehamilannya yang menginjak usia 5 bulan."Jangan rebahan di lantai tanpa alas! Dasar anak kecil!" balas Damian sambil membaringkan perempuan itu di sofa panjang ruang tengah.Anyelir menghela napas berat. Seolah habis melakukan kegiatan melelahka
"Om?" Anyelir terpaku melihat Damian berdiri di sampingnya dengan payung yang bahkan belum tertutup. Pria itu menyorotnya dengan pandangan tak terbaca. Seperti ... sorot kecewa?"Tadi niatnya mau jemput kamu, mau perbaikin hubungan kita juga. Tapi, kayaknya nggak guna. Kamu udah punya Angga."Selesai mengatakan hal itu, Damian melangkah meninggalkan Anyelir menuju mobilnya yang entah pria itu parkir dimana. Menyadari kesalah pahaman yang terjadi, Anyelir bangkit berdiri dan berlari menembus hujan mengejar Damian.Tapi, langkah lebar dan cepat Damian tidak berhasil membuatnya mengejar pria itu. Anyelir yang lincah dalam hal berlari tidak menyerah tentu saja.Sedangkan Angga, memperhatikan dalam diam di kursi depan minimarket. Sejenak, senyum getir menghiasi wajah pria tampan itu. Menyadari kesempatannya yang sudah nihil juga Anyelir yang sepertinya terlihat begitu mencintai suaminya."Om! Tunggu dulu!" teriak Anyelir begitu berhasil menarik ujung jaket sang suami yang kontan ikut basa
Anyelir mendelik begitu menemukan dua garis merah dari benda di genggamannya. Perempuan itu menggigit bibir bawah gusar. Masih tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya saat ini.Dia hamil. Anyelir akan menjadi seorang Ibu. Rasanya ... terlalu cepat dan tiba-tiba.“Masak aku hamil sih?” tanya Anyelir pada dirinya sendiri.Perempuan itu hanya menggigit bibir bawah gelisah. Tidak mengerti harus menanggapi hal ini dengan reaksi apa. Dia ... masiih terlalu muda untuk menjadi seorang Ibu kan, ya?Mengabaikan test pack di tangannya, Anyelir segera keluar dari kamar mandi dan berjalan ke ruang tengah, hendak pulang. Tadi, sehabis mampir ke apotek, dia memang memilih pulang ke sini, ke rumah Papa. Rencananya ingin membuat Damian panik dan akhirnya mencarinya ke sini, lebih tepatnya cari perhatian. Tapi, hingga pukul 8 malam, pria itu bahkan tidak mencarinya sama sekali.Dalam hati, Anyelir merasa sedikit kecewa. Dia pikir Damian bakal peduli padanya. Tapi, jangankan mencari, pria itu ba
Karena merasa bersalah dan sudah cukup bermain marah-marahan, siang ini, Anyelir sudah menyiapkan sekotak makanan untuk makan siang Damian. Rencananya, perempuan pendek itu akan datang ke kantor Damian dengan modus mengantar makan siang sekalian minta maaf atas sikap menyebalkannya selama ini.Sedari pagi tadi, beberapa kali ketika berbicara dengan Lisa, perempuan cantik itu mengungkit-ungkit tentang ‘tidak baik istri mendiamkan suami terlalu lama’ membuat Anyelir akhhirnya sedikit mendapat hidayah. Maka dari itu, begitu Lisa berjalan keluar rumah dengan alasan pergi menemui temannya, Anyelir berlari mengejar.“Kak Lisa! Jadi mau pergi?” tanya Anyelir sambir berdiri di samping Lisa yang sudah hendak memasuki mobil merahnya. Perempuan itu terlihat ngos-ngosan sehabis berlari dari lantai dua hingga halaman rumah.“Nggak usah lari-lari aelah, Nye! Emangnya kenapa?” peringat dan tanya Lisa sambil terkekeh geli melihat tingkah kekanakan istri sepupunya tersebut.“Ehehe ... maaf, Kak. Habis
Sudah terhitung 3 hari sejak Anyelir dan Damian main marah-marahan. Atau ... bisa juga disebut bertengkar sih. Damian sebelumnya ingin minta maaf lebih dulu meski merasa tidak melakukan kesalahan. Tapi, melihat sikap Anyelir yang sinis serta seolah tidak menganggap keberadaannya di rumahnya sendiri, pria itu memilih mengurungkan niatnya.Entah harus mengatakan Anyelir atau Damian yang kekanakan, yang jelas Lisa tidak berani ikut campur. Perempuan itu hanya bersikap seperti biasa. Sesekali mengajak bicara Damian kemudian sesekali berbicara dengan Anyelir yang auranya sama-sama mencekam.Seperti malam ini ...."Nye ... kok kamu makannya dikit banget sih?" tanya Lisa heran begitu melihat isi piring Anyelir.Perempuan itu hanya menyendokkan nasi yang bagi Lisa bisa dimakan sekali suapan serta lauk sayur asam. Anyelir menyengir."Lagi diet."Damian melirik piring sang istri. Beberapa detik kemudian, berdehem guna menahan tawa. Ingat! Dia masih marah pada perempuan itu."Badan kerempeng git
Hingga pukul 8 malam, Anyelir tidak tampak ingin keluar dari kamarnya. Perempuan itu entah tengah melakukan apa di dalam. Damian memilih membiarkan saja. Terlalu terbiasa dengan gaya ngambek ala Anyelir. Perempuan itu bahkan kembali ke kamar sebelah---markas ngambeknya.“Dam, si Anye mana? Masak kita makan malemnya nggak sama dia sih? Istri ngambek itu ya dibujuk, bukan malah balik didiemin!” Lisa memberi wejangan.Damian mendengkus kesal. “Istri yang hobinya ngambek tiap hari itu ya didiemin, bukan malah dibujuk terus. Ntar malah makin ngelunjak. Kapan berpikir dewasanya coba?” balas pria itu santai.Lisa memberengut sebal. “Emang bener kata si Anye, susah ngomong sama orang jelek.” Lisa menghujat kemudian memilih berlalu dari hadapan pria yang masih setia rebahan sambil nonton TV di ruang tengah itu.Di sisi lain, Anyelir terbangun dari tidurnya karena merasakan perut yang keroncongan. Setelah selesai sholat magrib, ia tidak sengaja ketiduran dan sekarang terjaga lagi karena lapar.