Pagi ini, keadaan Anyelir sudah lebih baik dari semalam. Awalnya, Damian tidak ingin berangkat bekerja karena mengkhawatirkan kondisi perempuan yang biasanya rewel itu. Tapi, paksaan Anyelir membuat pria itu akhirnya sudah rapi dan duduk di meja makan pukul 7 tepat."Kan sudah kubilang, kamu belum terlalu sehat. Ngapain masak segala? Kan udah ada Bi Wati juga," kesal Damian sambil mulai menyendokkan nasi dengan lauk kedelai hitam rebus, sambal limau, juga tahu tempe gorengnya.Anyelir mengangkat bahu acuh. Ikut menyuapkan nasi ke dalam mulut dengan lahap."Emangnya kenapa? Om mau ngehalangin aku jadi istri yang baik sampai mana lagi? Lagian aku baru bisa masak aja udah dimarahin. Apalagi mau belajar beresin rumah dengan bener?" jawab Anyelir sambil merengut sebal.Damian menghela napas pasrah. "Yasudahlah, terserah kamu aja." "Oh iya, Om. Ini." Anyelir menyodorkan amplop putih kepada sang suami. "Ini apa?" tanya Damian tidak mengerti."Surat pengunduran diriku dari kantor Pak Bagas.
Damian pulang dengan menenteng lima bungkus ayam geprek pesanan Anyelir. Beberapa kali, di perjalanan, pria itu mendecak tidak habis pikir. Sebanyak ini, apa bisa habis? Mengingat perut kecil juga porsi makan Anyelir yang sedikit, Damian jadi ragu.Begitu hendak menaiki tangga, suara Bi Wati yang memanggil dari arah dapur, menghentikan langkahnya. Pria itu menoleh penasaran begitu melihat raut khawatir sang pembantu."Sudah pulang, Tuan?" tanya Bi Wati berbasa-basi. Damian mengangguk."Kalau gitu, tolong bujuk Nak Anyelir biar mau makan siang, ya? Bibi udah bujuk dari tadi siang, tapi sampai sore ini dia nggak mau bukain pintu kamarnya." Bi Wati menjelaskan yang dibalas Damian dengan kernyitan dahi."Dia belum makan siang?" tanya pria galak itu sambil melirik jam tangan.Sudah pukul 4:39 sore. Bisa-bisanya perempuan itu tidak lapar. Setidaknya, menganggur dan rebahan di rumah juga butuh tenaga. Bahkan, Damian merasa lebih cepat lapar ketika berada di rumah daripada sibuk bekerja di ka
Anyelir baru saja kembali dari pasar bersama Bi Wati saat menemukan seorang perempuan cantik duduk di ruang tengah. Perempuan kerempeng itu kontan mendekat dan memandang orang cantik di rumahnya curiga."Siapa---""Eh, Nak Lisa dateng, toh. Kapan nyampe sininya?" tanya Bi Wati memotong kalimat Anyelir.Perempuan itu tersenyum senang begitu menemukan keberadaan Bi Wati. Mengabaikan Anyelir, perempuan itu bangkit dan menyalami punggung tangan sang pembantu."Baru aja beberapa menit lalu, Bi. Kata Pak Satpam lagi nggak ada orang di rumah, si Damian kerja, Bi Wati ke pasar, jadi disuruh nunggu di sini dulu."Melihat interaksi kedua perempuan itu, Anyelir mengernyit tidak mengerti. Dia siapa? "Oh iya, kenalin, dia istrinya Damian. Namanya Anyelir." Anyelir tersenyum canggung begitu perempuan di depannya tersenyum hangat padanya. Perempuan bernama Lisa itu mendekat dan memeluk Anyelir erat."Waaah ... ini yang namanya Anyelir? Salam kenal, ya, Anye! Aku Lisa, sepupunya Damian."Anyelir me
"Jadi ... Anye sementara tinggal di sini, Pa?" Perempuan dengan rambut sebahu itu, menyorot sang Papa tidak habis pikir. Bagaimana mungkin dia tinggal di sini? Tentu saja dengan pria tua (di mata Anyelir) yang kini tengah menatapnya dengan wajah super seram."Iya, Sayang. Jadi, mulai sekarang tolong bersikap sopan sama Nak Damian. Turuti perintah dia, jadilah gadis yang penurut dan tidak nakal!" perintah Pak Ardi yang diangguki Anyelir pasrah."Kalau gitu Papa berangkat dulu, ingat ya, Anyelir, jangan bandel!" peringat Pak Ardi lagi pada putri semata wayangnya. Pria itu mengecup sejenak puncak kepala gadis 19 tahun tersebut kemudian keluar diiringi Damian. Pria dengan setelan kemeja putih dibalut jas hitam itu, menyorot Pak Ardi dengan senyum hangat."Tolong jaga anak saya ya, Nak Damian. Dia satu-satunya harta paling berharga yang saya punya di sini, kalau bukan karena dia, saya nggak akan bertahan sampai sekarang," pesan Pak Ardi sambil menepuk bahu rekan kerja sekaligus anak sahab
Damian baru saja masuk ke kamar sehabis makan malam saat menemukan seorang gadis keluar dari kamar mandinya. Siapa lagi kalau bukan Anyelir.Gadis itu berjalan santai dengan handuk yang melilit tubuh. Benda berbulu berwarna merah muda tersebut tentu saja hanya mampu menutup setengah paha dan dadanya. Selebihnya ... aih tidak usah disebutkan."Dasar anak kecil! Mentang-mentang kecil apa kau kira boleh keluar masuk kamarku dengan baju setidak layak itu? Kau sedang menggodaku atau bagaimana, Anyelir?!" tanya Damian lebih tepatnya memekik sambil melempari wajah putri seorang pengusaha kaya bernama Ardi itu dengan bantal kamar.Anyelir mendengkus begitu sebuah bantal menabrak wajah sekaligus hidungnya lagi. Kalau begini, dia bakal benar-benar terancam pesek inimah. Dasar duda tidak berperasaan!"Salahku apa, Om Duda? Aku cuma numpang mandi, air di kamar tidak bisa menyala." Anyelir cemberut sambil bersedekap dada.Damian mengalihkan pandangan. Mencoba mencari objek lain selain figur perempu
Damian berkacak pinggang begitu masuk ke rumah besarnya. Seketika, begitu melihat keadaan ruang tengah, dia jadi mau membanting orang yang membuat pepatah 'rumahku adalah surgaku'.Coba saja lihat kelakuan gadis kecil yang gemar bikin masalah besar itu! Satu minggu rupanya bukan masa yang cukup untuk dia menghancurkan mood juga rumah Damian."Kamu ngapain, Nona Adisthy?!" teriak Damian murka membuat orang yang diteriaki kontan keluar dari persembunyiannya. "Eh, sudah pulang kerja, Om. Hai!" sapa Anyelir polos sambil melambaikan tangan heboh dari sofa ruang tengah."Ini apa, Anye?!" tanya Damian tidak santai.Anyelir melihat sekeliling ruangan yang ditata sedemikian rupa mirip area Buper (bumi perkemahan) juga sang sahabat yang memandangnya takut. Tadi pagi dia memang mengundang Ima---mantan teman sebangkunya semasa SMA ke sini. Katanya Anyelir ingin pergi kemah pramuka tapi tidak punya teman.Jadi, berakhirlah Ima di sini. Meladeni keinginan Anyelir untuk bikin kemah rumahan karena P
Anyelir mondar-mandir di kamarnya dengan perasaan gelisah. Sudah sejak kemarin gadis itu tidak mau keluar kamar dan menolak makan. Damian bahkan kebingungan dengan tingkahnya yang tidak seperti biasa.'Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi ....'Gadis dengan piyama ungu itu melempar ponselnya ke ranjang dengan perasaan marah. Papanya kemana? Sudah satu minggu dan dia belum dijemput juga untuk pulang. Bahkan, pria itu sudah tidak meneleponnya lagi.Dia jarang sekali jauh dari Papanya begini. Jadi, rasanya aneh dan menyebalkan saat Anyelir tidak melihatnya dalam jangka waktu yang lama. Tok ... tok ... tok ..."Siapa?" tanya gadis itu begitu mendengar suara ketukan pintu di luar kamarnya."Kalau Bi Wati yang mau nyuruh aku sarapan, balik aja ke dapur. Aku nggak mau," jawab Anyelir begitu tidak mendengar suara apapun lagi."Boleh masuk?" Menyadari orang yang ada di sana, Anyelir segera membukakan pintu. Damian berdiri di sana dengan wajah khawatir begitu
Anyelir sudah bersiap-siap dengan koper juga terusan pink selututnya sejak setengah jam lalu. Tapi, tidak ada tanda-tanda taksi yang membawa sang papa berhenti di halaman rumah Damian. Bahkan, saking tidak sabarannya, Anyelir meminta satpam rumah untuk membuka gerbang rumah sang duda tampan lebar-lebar. Kata Anyelir biar ia leluasa menghadap jalan. Katanya juga, biar Papanya tidak lupa jalan menuju rumah Damian dan tersesat masuk ke rumah orang lain. Memang alasan yang tidak masuk akal. Tapi, Damian membiarkan saja gadis cerewet itu bertingkah sesuka hati. Mumpung hari ini adalah hari terakhirnya berada di sini.Besok-besok, rumah Damian tentu saja bakal kembali damai dan sepi. Tidak seperti ketika Anyelir mendirikan perkemahan di ruang tengah. Tidak seperti ketika Anyelir menghancurkan dapur pukul 3 malam. Tidak seperti ketika gadis itu masih bisa keliaran di sini dan merecoki kehidupan Damian."Anye ... Papamu belum datang juga?" tanya Damian ikutan heran.Anyelir menoleh dengan mat