Share

Terbakar Matahari

"Aksa! Lo mau nitip?" tanya cewek yang sempat lewat sisi meja.

Aku lupa namanya kalau enggak nemu penanda di seragam, soalnya belum ganti kaus olahraga. Aku juga, sih. Belum ganti.

Bersyukurnya masuk kelas Bahasa, mereka enggak lihat penampilanku sebagai patokan femes. Namun, suasana saat keluar kelas yang justru membuatku jarang melintasi koridor saat jam istirahat.

Terlalu ramai. Belum lagi kehebohan karena aku siswa baru di semester awal kelas dua. Cowok yang dianggap cakep karena punya muka blasteran Arab biarpun enggak ada keturunan sana.

Pede? Enggak.

Bukan aku yang bilang, tapi para seleb dadakan yang sandaran di daun pintu setiap jamkos atau istirahat. Mereka selalu punya gosip kekinian yang pastinya terdengar sampai tempatku duduk. Abaikan.

Kuangsur lembaran merah muda dari hasil semalam berpesta sampai menjelang terang ke cewek yang menunggu dengan telapak tangan terbuka. "Beliin yang bikin kenyang. Lo pilih satu juga. Jangan lupa air botolan."

Hangover membuatku enggak peduli sama sekali mau dia ngejingkrak atau berlari saat membawa Pak Soekarno pergi. Belum ada tidur, udah harus keliling lapangan buat pelajaran olahraga. Aku capek.

Buku pelajaran yang tergeletak kuambil tanpa peduli bertuliskan pelajaran apa, yang penting cukup besar untuk menutup wajah yang menempel di permukaan meja. Hanya membayangkan yang terjadi di malam sebelumnya, ketika dipaksa para wanita paruh baya buat ikutan minum. Panas.

Kugelengkan kepala, meyakinkan diri jika tidak terjadi apa pun. Aku bisa melepaskan diri semalam setelah berhasil mendapat air dari pancuran kamar mandi di tempat pesta. "Gila aja mereka bayar anak di bawah umur buat pamer belalai gajah."

"Gajahnya siapa, Sa?" Tanya yang terdengar sangat familier membuatku semakin menenggelamkan wajah dalam kantuk.

Namun, ketukan ujung sepatu dari penghuni kursi di sebelah mampu mengalihkan perhatianku dan menoleh tanpa mengangkat kepala atau memindahkan buku. "Gambarnya Sinchan pakai spidol."

Ya, kartun yang biasa ditujukan pada anak bergenre bimbingan orang tua itu kerap menyelipkan konten kelamin dalam percakapan.

Bisa kulihat gadis yang biasanya tanpa absen mengetuk pintu kamarku duduk di kursi itu dan condong padaku. Kedua kakinya merapat ke depan. Rok selututnya tertutup jaket yang sangat kuhafal pemiliknya. "Aksa ngomong porno, ih."

"Bodo." Jika bisa, ingin kubuka dimensi dunia lain yang tak kasat mata biar tidak ada pengganggu, tapi enggak mungkin, kan? Semua itu hanya ada dalam dunia ilusi fantasi. Akhirnya, aku hanya mampu menutup mata dan mendengarkan ocehan random tanpa menyimpan sedikit pun dalam otak.

Permukaan kulit yang lembut menyapa, menyingkirkan buku yang memberatkan belakang kepala. Aroma segarnya seperti anggur yang manis saat membelai pelipis.

"Sakit lo, Sa?" Suara itu menghancurkan ekspektasi. Bukan mimpi. Saat aku menoleh lagi ke arahnya, wajah mengerut khawatir sudah menyapa di depan mata. "Serius, panas gini."

Kursi yang diduduki Sara ternyata sudah merapat ke tempatku. Dia masih berusaha menyentuh meski berkali-kali kutepis.

Melihatnya, aku harus menahan tawa, refleks mengingat kejadian terakhir saat dia menghindari tanganku yang hampir mengungkungnya sampai menabrak pintu dan mengaduh.

Gila. Dia itu terlalu polos atau gimana?

Wajah Sara merona sambil melebarkan bola mata yang terlihat ketika mendengar gertakan kalimat, "Menurut lo? Gue bisa apa dalam satu ruangan sama lo? Per-gi," benar-benar mampu membuatnya melepaskan diri dan mengambil langkah seribu.

Yah, kukira cukup. Ternyata dia justru masih berkeras menemuiku.

"Lo balik aja sana ke kelas lo." Suaraku serak, sulit berkata ketus atau berusaha menariknya keluar kelas. Seluruh tubuh rasanya remuk gara-gara minuman laknat yang bisa saja menjerumuskan semalam.

"Gue kan lagi datengin Akang Aksa tersayang."

Aku berdecak setelah mendengarkan kalimatnya yang dibuat-buat manja dan memalingkan wajah ke arah sebaliknya. "Jijik."

"Akang Aksa ...."

Kedua tanganku sudah menutupi telinga. Berasa ada yang merapat di kursiku. Kebiasaan. Ini cewek enggak tahu malu atau apa, sih?

"Bantuin gue dong, Sa." Jemari lembut itu mengerat di lenganku, menarik-narik hingga kuhempaskan ke udara.

"Kagak."

"Bubur ayam, deh. Mau, ya."

Berani membujuk Aksa Bagaskara?

Dengkus terdengar dari rongga hidungku. Kalau enggak kepepet kayak sebelumnya, enggak mungkin aku turutin. Permintaan Sara kadang aneh. Terakhir aja sampai berujung pada pengakuannya soal kami pacaran, yang jelas, "Kagak."

"Pesenan lo." Si tukang beli ternyata balik dan meletakkan kotak makan di meja tepat saat aku mengangkat kepala.

Kuangkat tempat dari stirofoam itu sambil mengangguk pada Sara dan segera berdiri, melompati tempat duduknya. "Sudah, kan?" Posisi mejaku yang terbatas jendela kaca tidak memungkinkan kabur selain melewatinya.

"Ih, Aksa. Gue cuciin baju lo lagi, deh!"

Teriakannya justru mempercepat langkahku. Apalagi selentingan ucapan dari siswa sekelas yang bertanya, "Sara nyuciin baju Aksa?"

"Iya, dong. Kita kan tinggal bareng." Pede banget dia ngejawab kayak gitu? "Aksa! Tungguin gue!"

***

Setelah menandaskan bubur ayam, kutumpuk kotak sisanya di antara kotak lain yang lebih dulu mepet dinding di antara bangunan belum selesai. Hanya beberapa bangku panjang yang tersedia buat tempat duduk, itu pun terbatas sekat dinding batako yang belum diplester. Sepertinya siswa lain juga rajin mampir. Beberapa puntung rokok tampaknya dibuang asal, bahkan baranya masih ada yang menyala.

Suara jejak berhenti di ujung jalan masuk, disusul tumpukan kayu berjatuhan.

Aku segera berdiri, melangkah perlahan mendekati asal suara. Dari bayang yang terlihat, boleh jadi aku menebak si pemilik rambut panjang. Gadis itu selalu terlihat feminin di sekolah. Sayang, teriakan maupun manjanya langsung menghancurkan ekspektasi yang sempat terbangun di awal jumpa.

Kusandarkan punggung pada dinding yang membatasi kami sambil menyalakan sebatang candu dari kotak dalam saku celana di sudut bibir. Asapnya mengepul saat tiupan pertama. "Rajin banget ngikutin gue!"

Hitungan detik dari bibirku tak terjawab sampai kusadari dia berada di sisi dan berkata, "Abisnya, lo doang yang enggak ngeliat gue."

"Cari perhatian?" Gelak lolos dari bibirku, memikirkan ulang jawabannya. Apa ini kisah fiksi yang selalu didengungkan pengagum sastra dalam majalah dinding sekolah? Kisah cewek cantik yang mengejar cowok cuek? "Lo terlalu banyak teracuni cerita cowok cool kayaknya."

"Yakin lo cukup dingin buat dikejar kayak dalam cerita?"

"Siapa tau?"

Sara sepertinya menertawakan anggapanku. Dia sampai menutup mulut dengan tangan kirinya sebelum menyodorkan botol minuman yang langsung kusambut.

Detik berikutnya, keheningan kembali menyapa. Hanya ada embusan asap yang beberapa kali keluar dari bibirku, dan tatapan mirisnya.

"Banyak kok yang merhatiin gue. Banyak banget, tapi mereka cuma liat gue dari jauh." Dia lebih dulu memulai pembicaraan, meraih atensiku sampai perlu menoleh, mendengarkannya sejelas mungkin. "Apa gue terlalu terang ampe lo enggak liat gue?"

"Lo kata bola lampu?" Tawa kembali menguar. Aku bahkan tak mampu menelan air yang baru masuk rongga mulut. Sial! Kenapa pikiran malah meleng ke lampu?

"Ternyata lo mikir gitu juga." Sara menunduk. Ucapannya terdengar lirih. Ujung sepatunya terlihat mengetuk lantai semen.

Sontak aku diam, berpikir ulang tentang hal serupa dalam keadaan masih berusaha menelan air sampai menembus kerongkongan. Jauh lebih lega.

"Matahari juga cuma bisa kasih manfaat dari jauh. Coba aja lo deketin. Enggak bakal cuma gosong doang."

"Yang ada kebakar, Aksa."

"Sama kayak gue."

"Maksud lo?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status