Narsih sudah menghabiskan sepiring nasi goreng dan juga tiga lembar roti tawar lapis selai. Secangkir teh manis hangat juga sudah tandas melewati tenggorokannya. Betapa leganya rasa, kini perutnya terasa begitu kenyang. Sambil mengusap sudut bibirnya yang terasa berminyak, Narsih memilih membuka jendela kecil di dalam gudang itu.
Pandangannya menyapu ke area pekarangan rumah Devano, ada kolam renang besar yang di pinggiran kolamnya ditanami oleh pohon palem. Ada pohon buah rambutan juga di sana, sedang berbuah merah. Sayang sekali, jendela kecil itu memakai teralis besi, jika tidak, tentu saat ini dengan berani ia akan melompat ke bawah.
Narsih bingung mau melakukan apa, ia memilih duduk kembali di atas kasur busanya, sambil melamun Narsih memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Ya Tuhan, benar-benar ujian yang tidak berkesudahan.
****
Devano tengah mengendarai mobilnya menuju kantor. Sang papa hari ini tidak berangkat karena ingin istirahat di rumah katanya. Jalanan Jakarta pukul sembilan pagi masih cukup padat, sehingga membutuhkan waktu satu setengah jam untuk Vano sampai di kantornya.Langkahnya mantap naik ke lantai dua belas, tempat ruangannya berada. Senyum yang biasanya tak ada, entah kenapa pagi ini ia berikan pada sekretarisnya, Dina.
"Pagi, Pak," sapa Dina.
"Pagi, Dina. Bawakan saya kopi!" pintanya pada sang sekretaris.
"Baik, Pak." Dina bergegas ke pantry membuatkan kopi untuk bosnya. Sebenarnya ada OB yang bisa disuruh membuat kopi, tetapi Dina memilih ia sendiri yang membuatkan kopi untuk Devano.
Ia mengeluarkan kantung kecil dari dalam sakunya, membuka plastik yang terikat rapat, lalu menaburkannya di atas kopi Devano. Ia aduk, lalu ia bawakan ke ruangan Devano yang kini tengah fokus pada laptopnya.
"Ada agenda apa saja kita hari ini?"
"Meeting di Shangrilla jam dua siang, Pak."
"Oke, kamu temani saya."
Dina mengulum senyum, lalu mengangguk. Langkahnya ringan kembali menuju meja kerja. Tak sabar menanti menemani Devano meeting dan juga efek dari obat yang ia berikan.
Sementara itu, di rumah Devano, Pak Broto sedang muntah-muntah di depan ruang TV, seperti lelaki tua itu benar-benar kurang sehat. Narsih terperanjat, saat mendengar suara laki-laki muntah dari kejauhan. Pelan ia berjalan mendekati pintu, kemudian membukanya pelan, berharap suami jadi-jadiannya lupa mengunci dari luar. Benar saja, pintu itu terbuka. Narsih berjalan untuk melihat siapa di bawah sana yang sedang muntah, ternyata orang tua dari Devano.
Dengan berlari, Narsih turun dari lantai dua menghampiri lelaki berusia senja itu.
"Maaf, Tuan. Biar saya bantu," ujar Narsih takut-takut. Dengan hati-hati Narsih memijat tengkuk Pak Broto, kemampuan memijatnya memang cukup baik, ia belajar memijat ibu asrama saat ia masih tinggal di panti asuhan.
"Di mana minyak kayu putihnya, Tuan?" tanya Narsih.
"Di sana," tunjuk Pak Broto ke arah dapur.
Narsih kembali berlari menuju dapur, mencari minyak kayu putih di dalam kotak obat. Rumah Devano yang lebih besar dari rumah Yasmin, membuat Narsih menggelengkan kepala. Tidak perlu lari pagi keluar komplek, cukup berlarian di dalam rumah besar ini, dijamin kalorinya terbakar habis tak bersisa.
Narsih mengoleskan minyak kayu putih di tengkuk, kemudian kepala dan tenggorokan Pak Broto. Lelaki tua itu pasrah saja, saat Narsih membantunya menghilangkan rasa mual dan muntah. Ia memilih memejamkan mata, saat Narsih membersihkan lantai rumah dengan muntahannya tanpa rasa jijik.
Narsih mengepel ruangan itu sampai bersih dan kinclong, ia juga mencuci tumpukan piring sisa sarapan di dapur. Setelah selesai mencuci piring, Narsih melihat tumpukan pakaian di mesin cuci. Ia memisahkan baju bewarna gelap dan terang, mencucinya dengan hati-hati berharap tidak melakukan kesalahan dalam mencuci pakaian Devano dan juga Pak Broto.
Setelah mencuci selesai, ia langsung menjemurnya. Pinggangnya terasa linu dan organ intimnya yang selalu bergesekan membuat rasa perih kembali melanda. Tanpa Narsih ketahui, ternyata Pak Broto mengirimkan foto dirinya sedang membereskan rumah Devano. Lelaki tua itu tersenyum simpul.
[Ini adalah salah satu manfaatnya punya mantu pembantu. Rumah bersih, rapi, kinclong, pakaian kotor dicuci. Mantap]
Begitulah isi pesan Pak Broto kepada anaknya. Lelaki itu benar-benar bisa bersantai di sofa ruang tengah, menikmati harum detergen lantai yang segar. Tidak perlu lagi memanggil jasa bersih-bersih rumah, cukup Narsih yang mengerjakan semuanya, pikir lelaki tua itu.
[Jangan sampai dia keluar rumah, Pa]
Itulah balasan pesan dari Devano pada papanya.
"Tuan, saya mau memasak boleh?"
"Oh, tentu saja boleh. Memangnya ada bahan masakan di kulkas?"
"Seadanya saja, Tuan."
"Terserah kamu saja. Oh ya, jangan terlalu berharap pada pernikahan ini ya."
"Tenang saja, Tuan. Saya tidak pernah berharap apapun pada pernikahan jadi-jadian ini," balas Narsih sambil berlalu meninggalkan Pak Broto di ruang televisi.
Narsih memasak menu seadanya, hanya ada telur, cabe, bawang merah, dan bawang putih. Ada juga sayuran pokcoy yang hampir saja layu, ia mengolah masakan seadanya dari bahan yang ada.
Peluhnya menetes, baju yang ia kenakan masih baju kausnya yang kemarin sudah basah oleh keringat saat ia baru saja selesai masak. Perutnya kembali berbunyi, menatap ricecooker yang sudah mengeluarkan aroma nasi yang baru saja matang.
"Tuan mau makan?" tanya Narsih pada mertuanya.
"Boleh," sahut Pak Broto, kini sudah berjalan ke arah meja makan. Sudah ada hidangan matang yang ditutup tudung saji di atas meja makan. Narsih mengambilkan nasi di dalam piring, lalu menyerahkan pada Pak Broto. Lelaki tua itu mengambil sayur dan juga telur dadar yang sudah ditumis dengan cabai dan juga bawang.
Narsih menatap cemas wajah mertuanya, saat lelaki tua itu mulai mengunyah masakannya. Bisa mati dia kalau rasanya tidak enak di lidah orang kaya seperti papa Devano ini.
"Enak, pintar masak kamu," puji Pak Broto sambil terus menikmati makan siangnya.
"Alhamdulillah, terimakasih Tuan. Saya permisi naik ke atas," pamit Narsih.
"Narsih, kamu bisa memakai baju yang ada di dalam kamar Devano, baju almarhum istri Devano. Kalau kamu masih berkeliaran di rumah ini tanpa mengganti baju kamu yang dekil itu, saya pastikan saya akan pingsan karena bau badan kamu."
"Emangnya boleh, Tuan?"
"Boleh, kamu pakai sekalian juga kamar mandinya, jangan lupa disikat ya. Gerak cepat, jangan sampai Devano tahu," ujar Pak Broto sambil menahan senyum.
"Alhamdulillah, ternyata Tuan tidak seangker kumis Tuan," ledek Narsih langsung berlari ke lantai atas.
Pak Broto tertawa sambil meraba kumisnya yang melebar. Ia akan membuat anaknya kesal, jika tahu Narsih memakai baju Sekar dan juga mandi di kamar mandi Devano.
Benar saja, Narsih mandi dengan senang di dalam kamar mandi Devano, ada sampo dan sabun wanita yang sangat harum. Ia pakai semua, sebelumnya ia sudah menyikat kamar mandi itu terlebih dahulu. Keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan kimono handuk bewarna merah muda yang sepertinya milik almarhum istri Devano.
Ranjang pangeran di sana tengah melambai-lambai padanya, Narsih menguap. Tanpa mengganti pakaian, Narsih rebahan di atas ranjang super besar milik Devano.
"Aduh, mimpi apa aku bisa rebahan di sini," gumam Narsih sambil meraba betapa halusnya seprei yang ia tiduri saat ini. Begitu menikmati suasana nyaman, Narsih lupa akan pesan dari mertuanya agar ia mandi dan berpakaian dengan cepat. Wanita itu malah terlelap sangat nyenyak di atas ranjang suami jadi-jadiannya.
Narsih merasa terganggu dari tidurnya, hawa panas dan harum yang kini mulai ia hapal, berhasil membuat matanya terbelalak kaget.
"Tuan," cicitnya dengan wajah pucat, saat Devano kini sudah memandangnya dengan horor.
Buugh!
Narsih tersungkur di lantai kamar Devano, lelaki itu menarik paksa Narsih dengan kasar, sehingga Narsih jatuh di bawah kaki suaminya, dengkulnya terasa linu. Hatinya pecah, air matanya sebentar lagi akan mengalir deras.
"Berani sekali sampah seperti kamu tidur di kamarku, hah? Cari mati kamu, Narsih?"
"Maaf, Tuan. Maaf," Narsih ketakuatan, kilat marah di kedua netra Devano membuat nyalinya ciut. Dengan susah payah ia mencoba berdiri dengan maksud segera pergi dari kamar suaminya.
"Karena kamu sudah di kamarku, mari kita ulangi seperti kemarin. Aku akan bikin kamu mati di ranjangku."
****
Narsih masih terlelap di atas peraduan Devano dengan sangat lelap. Begitu juga dengan Devano yang kini tengah memeluk pinggang Narsih. Tubuh keduanya berselimutkan kain tebal dan hangat, sehingga AC kamar yang dinyalakan cukup dingin, tidak menggangu kenyamanan tidur mereka. Tanpa sadar, Devano malah menarik tubuh Narsih agar semakin dekat padanya."Sekar," gumamnya dengan mata tertutup.Suara yang ternyata membuat Narsih membuka matanya pelan, wanita itu menepuk keningnya setelah ia sadar di mana ia saat ini dan sedang apa."Ih... berat!" keluh Narsih sambil melemparkan lengan Vano yang masih melingkar manis di pinggangnya. Devano tersentak kaget, lelaki itu langsung terduduk dengan tubuh atasnya yang polos. Dengan kuat, ia mengucek kedua matanya, memastikan keadaan apa yang baru saja terjadi."S-siapa kamu?" tanya Vano dengan mata menyipit melihat Narsih."Nenek Grandong," sahut Narsih sebal. Perlahan ia turun dari ranjang suami jadi-jadian
Narsih memilih keluar dari ruang makan, ia berjalan menuju taman belakang, untuk mengangkat jemuran yang kemarin ia jemur. Sesekali melirik ke dalam ruang makan, sambil tersenyum licik. "Makan tuh iler gue," ledeknya sambil menahan tawa. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya dengan menyetrika pakaian yang ada di dalam keranjang. Entah berapa abad sang suami laknat tidak menyetrika pakaiannya. Tumpukan pakaian begitu banyak di dalam empat bak besar bewarna hitam.Huk!Huk!Suara batuk-batuk wanita terdengar dari ruang makan. Narsih tersenyum sambil memainkan matanya, barisan gigi kuningnya ia perlihatkan pada tumpukan pakaian yang audah mengantre minta disetrika."Alhamdulillah," gumamnya, lalu melanjutkan aktifitas main mobil-mobilan.Huk!Huk!Kini suara batuk Devano yang terdengar nyaring, bahkan kini keduanya saling batuk bersahutan."Emang enak, kena corona, ha ha ha hi hi hi," Narsih tertawa geli menutup mulutnya."Giyem!
Memang dasar wanita, tubuh masih terasa panas, serta terus saja terbatuk-batuk, tetap tidak menyurutkan semangatnya untuk berbelanja di mall. Apalagi sudah memegang kartu sakti unlimited, maka ia akan berbelanja sepuasnya dan penyakitpun hilang.Sambil mendorong troli belanja yang sudah penuh barang belanjaan, sesekali juga ia mengecek ponselnya, belum ada kabar dari Devano, padahal lelaki itu berjanji menjemputnya. Tidak mungkin ia membawa berkantong-kantong belanjaan barang dapur sambil membeli baju dan sepatu."Ck,mana sih?" matanya terus saja mencari keberadaan Devano yang tidak kunjung terlihat."Dasar Giyem aneh! Masa calon majikan disuruh beli udang, ikan, telur, gula, beras, dan masih banyak lagi. Hadeeeh," gerutu Jelita sambil menggelengkan kepala.Jelita memutuskan untuk masuk ke antrean kasir yang sudah kosong, dengan mahir sang kasir menghitung satu per satu barang belanjaan Jelita, lalu dimasukkan ke dalam goodie bag besar sebanyak tiga kanto
Narsih terbangun dari tidurnya, saat adzan shubuh berkumandang. Dengan malas ia menoleh pada lelaki yang menjadi suaminya kini, ada air liur yang menetes di sudut bibir lelaki itu karena tidur dengan mulut terbuka. Mati-matian Narsih menahan tawanya. Dasar aneh! Pikirnya. Dengan perlahan, Narsih masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan juga menyikat giginya dengan telunjuk. Karena sikat gigi pesanan Narsih tidak dibeli oleh Jelita. Setelahnya, ia kemudian berwudhu dan melaksanakan sholat shubuh seadanya karena tidak ada mukena di rumah keluarga Devano ini.Devano masih terlelap, sambil sesekali tersenyum dalam tidurnya. Narsih yang memperhatikan tingkah suaminya, tentu saja tersenyum kecil. Mulut saja yang pedas, wajah polosnya seperti anak PAUD lagi mimpi dibelikan es krim, gumam Narsih sebelum ia akhirnya keluar kamar. Narsih melewati kamar wanita calon istri kedua suaminya. Masih sepi tiada suara apapun di sana.Narsih melanjutkan aktifitasnya menyalakan me
Tuk!Tuk!Tuk!"Vano...Giyem! Buka pintunya!" teriak Jelita dari luar kamar Devano. Jelita menunggu dengan gelisah, sambil menggigit kukunya dengan kasar, ia kembali mengetuk pintu kamar Devano.Bugh!Bugh!Kali ini ia menggunakan kepalan tangannya untuk menggedor pintu kamar Devano dengan keras."Non, sini!" Pak Samsul menarik Jelita menjauh dari depan kamar majikannya."Lepas! Ngapain sih, pegang-pegang?" Jelita menghempaskan tangan Pak Samsul yang memegang lengannya."Ck, jangan ganggu Tuan dan Nyonya Devano," bisik Pak Samsul dengan ekor mata melirik kamar Devano."Maksud kamu apa? Siapa yang nyonya di sini?""Itu Narsih, istri Tuan Devano.""Siapa Narsih?""Narsih itu yang Non panggil Giyem. Dia istri sah Tuan Devano baru seminggu nikah.""Lha, bukannya Devano duda?""Siapa bilang? Tuan Devano sudah menikah kembali sepekan yang lalu dengan Aminarsih.""Tahu gak, kenapa Tuan
Plaak!Plaak!"Berani sekali kamu mau kabur, hah!" teriak Devano di depan wajah Narsih. Dua tamparan dari sang suami membuat kedua sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Narsih tak gentar, walau darah semakin banyak menetes mengotori lantai. Narsih dengan berani menatap wajah lelaki yang masih berstatuskan suaminya. Mencari sorot rasa kasihan di sana, namun sayang, Narsih tidak menemukannya. Lelaki itu benar-benar membenci dan hanya memanfaatkannya saja.Pak Broto yang memergoki Narsih saat hendak kabur, hanya memperhatikan perlakuan anaknya dari balik kaca mata, tanpa komentar. Ia membiarkan Devano melakukan apapun pada wanita yang berstatus istri siri dari anaknya itu."Berani kamu tatap saya!" bentaknya lagi, bahkan tangannya kini mencengkeram dagu Narsih dengan kuat."Saya sudah bilang, kenapa tidak kamu bunuh saja saya?" tantang Narsih berbicara dengan mulut yang sangat sakit."Oke, kalau itu mau kamu. Saya akan bunuh kamu, tapi perlaha
Rumah besar yang terlihat kokoh itu, kini rata dengan tanah. Semua barang hangus terbakar, tidak ada yang dapat diselamatkan termasuk berkas-berkas penting, dua mobil mewah Devano, satu motor Harley miliknya, serta satu mobil sport milik Pak Broto, semua hangus terbakar dilalap si Jago Merah. Bahkan memerlukan enam mobil pemadam kebakaran untuk mematikan api tersebut. Tetapi anehnya, begitu api sangat besar melahap rumah Devano beserta isinnya, namun tidak mengenai bangunan tetangga kanan dan kirinya, bahkan asapnya saja tidak tercium para tetangga."Kapan kebakarannya? Kok kita tidak tahu," celetuk seorang ibu dari depan rumahnya."Iya, Nya. Padahal lima belas menit lalu, saya buang sampah di depan, Nya, tetapi tidak ada api," sahut pembantu si ibu sambil bergidik ngeri."Seram ya, Ma. Ayo kita masuk!" sela seorang lelaki muda pada ibunya."Dibakar jin kali," celetuk tetangga yang lainnya.Semua tetangga satu per satu meninggalkan Devano yan
Narsih terbangun dari tidurnya, saat mendengar suara klakson mobil begitu nyaring. Sigap ia berdiri, untuk melihat siapa yang ada di luar sana. Jauh sekali, itu yang dilihat oleh Narsih saat ini. Sepertinya rumah tempat ia berada saat ini berada di atas gunung, sehingga pemandangan area sekitar terlihat berada di bawah.BughBugh"Tolong!" teriak Narsih."Tolong!" teriaknya lagi.Namun, bagaikan angin saja yang menangkap suaranya. Tidak ada siapa pun yang menyahut. Dari tempat Narsih berpijak saat ini, dapat dilihat dengan jelas, begitu banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Walaupun tidak seramai ibu kota, tetapi tetap saja keadaan ramai. Mobil, motor, orang bersepeda, bahkan para pejalan kaki tampak jelas di mata Narsih. Sungguh di sayangkan, mereka sangat jauh dari jangkauan. Hanya dengan TOA masjid mungkin, baru akan terdengar.Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Gumam Narsih kembali dengan air mata yang jatuh satu per s