Share

5. Nasib Narsih

Narsih sudah menghabiskan sepiring nasi goreng dan juga tiga lembar roti tawar lapis selai. Secangkir teh manis hangat juga sudah tandas melewati tenggorokannya. Betapa leganya rasa, kini perutnya terasa begitu kenyang. Sambil mengusap sudut bibirnya yang terasa berminyak, Narsih memilih membuka jendela kecil di dalam gudang itu.

Pandangannya menyapu ke area pekarangan rumah Devano, ada kolam renang besar yang di pinggiran kolamnya ditanami oleh pohon palem. Ada pohon buah rambutan juga di sana, sedang berbuah merah. Sayang sekali, jendela kecil itu memakai teralis besi, jika tidak, tentu saat ini dengan berani ia akan melompat ke bawah.

Narsih bingung mau melakukan apa, ia memilih duduk kembali di atas kasur busanya, sambil melamun Narsih memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Ya Tuhan, benar-benar ujian yang tidak berkesudahan.

****

Devano tengah mengendarai mobilnya menuju kantor. Sang papa hari ini tidak berangkat karena ingin istirahat di rumah katanya. Jalanan Jakarta pukul sembilan pagi masih cukup padat, sehingga membutuhkan waktu satu setengah jam untuk Vano sampai di kantornya.

Langkahnya mantap naik ke lantai dua belas, tempat ruangannya berada. Senyum yang biasanya tak ada, entah kenapa pagi ini ia berikan pada sekretarisnya, Dina.

"Pagi, Pak," sapa Dina.

"Pagi, Dina. Bawakan saya kopi!" pintanya pada sang sekretaris.

"Baik, Pak." Dina bergegas ke pantry membuatkan kopi untuk bosnya. Sebenarnya ada OB yang bisa disuruh membuat kopi, tetapi Dina memilih ia sendiri yang membuatkan kopi untuk Devano. 

Ia mengeluarkan kantung kecil dari dalam sakunya, membuka plastik yang terikat rapat, lalu menaburkannya di atas kopi Devano. Ia aduk, lalu ia bawakan ke ruangan Devano yang kini tengah fokus pada laptopnya.

"Ada agenda apa saja kita hari ini?"

"Meeting di Shangrilla jam dua siang, Pak."

"Oke, kamu temani saya."

Dina mengulum senyum, lalu mengangguk. Langkahnya ringan kembali menuju meja kerja. Tak sabar menanti menemani Devano meeting dan juga efek dari obat yang ia berikan.

Sementara itu, di rumah Devano, Pak Broto sedang muntah-muntah di depan ruang TV, seperti lelaki tua itu benar-benar kurang sehat. Narsih terperanjat, saat mendengar suara laki-laki muntah dari kejauhan. Pelan ia berjalan mendekati pintu, kemudian membukanya pelan, berharap suami jadi-jadiannya lupa mengunci dari luar. Benar saja, pintu itu terbuka. Narsih berjalan untuk melihat siapa di bawah sana yang sedang muntah, ternyata orang tua dari Devano.

Dengan berlari, Narsih turun dari lantai dua menghampiri lelaki berusia senja itu. 

"Maaf, Tuan. Biar saya bantu," ujar Narsih takut-takut. Dengan hati-hati Narsih memijat tengkuk Pak Broto, kemampuan memijatnya memang cukup baik, ia belajar memijat ibu asrama saat ia masih tinggal di panti asuhan.

"Di mana minyak kayu putihnya, Tuan?" tanya Narsih.

"Di sana," tunjuk Pak Broto ke arah dapur. 

Narsih kembali berlari menuju dapur, mencari minyak kayu putih di dalam kotak obat. Rumah Devano yang lebih besar dari rumah Yasmin, membuat Narsih menggelengkan kepala. Tidak perlu lari pagi keluar komplek, cukup berlarian di dalam rumah besar ini, dijamin kalorinya terbakar habis tak bersisa.

Narsih mengoleskan minyak kayu putih di tengkuk, kemudian kepala dan tenggorokan Pak Broto. Lelaki tua itu pasrah saja, saat Narsih membantunya menghilangkan rasa mual dan muntah. Ia memilih memejamkan mata, saat Narsih membersihkan lantai rumah dengan muntahannya tanpa rasa jijik.

Narsih mengepel ruangan itu sampai bersih dan kinclong, ia juga mencuci tumpukan piring sisa sarapan di dapur. Setelah selesai mencuci piring, Narsih melihat tumpukan pakaian di mesin cuci. Ia memisahkan baju bewarna gelap dan terang, mencucinya dengan hati-hati berharap tidak melakukan kesalahan dalam mencuci pakaian Devano dan juga Pak Broto.

Setelah mencuci selesai, ia langsung menjemurnya. Pinggangnya terasa linu dan organ intimnya yang selalu bergesekan membuat rasa perih kembali melanda. Tanpa Narsih ketahui, ternyata Pak Broto mengirimkan foto dirinya sedang membereskan rumah Devano. Lelaki tua itu tersenyum simpul. 

[Ini adalah salah satu manfaatnya punya mantu pembantu. Rumah bersih, rapi, kinclong, pakaian kotor dicuci. Mantap]

Begitulah isi pesan Pak Broto kepada anaknya. Lelaki itu benar-benar bisa bersantai di sofa ruang tengah, menikmati harum detergen lantai yang segar. Tidak perlu lagi memanggil jasa bersih-bersih rumah, cukup Narsih yang mengerjakan semuanya, pikir lelaki tua itu.

[Jangan sampai dia keluar rumah, Pa]

Itulah balasan pesan dari Devano pada papanya. 

"Tuan, saya mau memasak boleh?"

"Oh, tentu saja boleh. Memangnya ada bahan masakan di kulkas?"

"Seadanya saja, Tuan."

"Terserah kamu saja. Oh ya, jangan terlalu berharap pada pernikahan ini ya."

"Tenang saja, Tuan. Saya tidak pernah berharap apapun pada pernikahan jadi-jadian ini," balas Narsih sambil berlalu meninggalkan Pak Broto di ruang televisi.

Narsih memasak menu seadanya, hanya ada telur, cabe, bawang merah, dan bawang putih. Ada juga sayuran pokcoy yang hampir saja layu, ia mengolah masakan seadanya dari bahan yang ada.

Peluhnya menetes, baju yang ia kenakan masih baju kausnya yang kemarin sudah basah oleh keringat saat ia baru saja selesai masak. Perutnya kembali berbunyi, menatap ricecooker yang sudah mengeluarkan aroma nasi yang baru saja matang.

"Tuan mau makan?" tanya Narsih pada mertuanya.

"Boleh," sahut Pak Broto, kini sudah berjalan ke arah meja makan. Sudah ada hidangan matang yang ditutup tudung saji di atas meja makan. Narsih mengambilkan nasi di dalam piring, lalu menyerahkan pada Pak Broto. Lelaki tua itu mengambil sayur dan juga telur dadar yang sudah ditumis dengan cabai dan juga bawang.

Narsih menatap cemas wajah mertuanya, saat lelaki tua itu mulai mengunyah masakannya. Bisa mati dia kalau rasanya tidak enak di lidah orang kaya seperti papa Devano ini.

"Enak, pintar masak kamu," puji Pak Broto sambil terus menikmati makan siangnya.

"Alhamdulillah, terimakasih Tuan. Saya permisi naik ke atas," pamit Narsih.

"Narsih, kamu bisa memakai baju yang ada di  dalam kamar Devano, baju almarhum istri Devano. Kalau kamu masih berkeliaran di rumah ini tanpa mengganti baju kamu yang dekil itu, saya pastikan saya akan pingsan karena bau badan kamu."

"Emangnya boleh, Tuan?"

"Boleh, kamu pakai sekalian juga kamar mandinya, jangan lupa disikat ya. Gerak cepat, jangan sampai Devano tahu," ujar Pak Broto sambil menahan senyum.

"Alhamdulillah, ternyata Tuan tidak seangker kumis Tuan," ledek Narsih langsung berlari ke lantai atas.

Pak Broto tertawa sambil meraba kumisnya yang melebar. Ia akan membuat anaknya kesal, jika tahu Narsih memakai baju Sekar dan juga mandi di kamar mandi Devano.

Benar saja, Narsih mandi dengan senang di dalam kamar mandi Devano, ada sampo dan sabun wanita yang sangat harum. Ia pakai semua, sebelumnya ia sudah menyikat kamar mandi itu terlebih dahulu. Keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan kimono handuk bewarna merah muda yang sepertinya milik almarhum istri Devano.

Ranjang pangeran di sana tengah melambai-lambai padanya, Narsih menguap. Tanpa mengganti pakaian, Narsih rebahan di atas ranjang super besar milik Devano. 

"Aduh, mimpi apa aku bisa rebahan di sini," gumam Narsih sambil meraba betapa halusnya seprei yang ia tiduri saat ini. Begitu menikmati suasana nyaman, Narsih lupa akan pesan dari mertuanya agar ia mandi dan berpakaian dengan cepat. Wanita itu malah terlelap sangat nyenyak di atas ranjang suami jadi-jadiannya.

Narsih merasa terganggu dari tidurnya, hawa panas dan harum yang kini mulai ia hapal, berhasil membuat matanya terbelalak kaget.

"Tuan," cicitnya dengan wajah pucat, saat Devano kini sudah memandangnya dengan horor.

Buugh!

Narsih tersungkur di lantai kamar Devano, lelaki itu menarik paksa Narsih dengan kasar, sehingga Narsih jatuh di bawah kaki suaminya, dengkulnya terasa linu. Hatinya pecah, air matanya sebentar lagi akan mengalir deras.

"Berani sekali sampah seperti kamu tidur di kamarku, hah? Cari mati kamu, Narsih?"

"Maaf, Tuan. Maaf," Narsih ketakuatan, kilat marah di kedua netra Devano membuat nyalinya ciut. Dengan susah payah ia mencoba berdiri dengan maksud segera pergi dari kamar suaminya.

"Karena kamu sudah di kamarku, mari kita ulangi seperti kemarin. Aku akan bikin kamu mati di ranjangku."

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Bue Azzam
Jgn bilng klo isi bungkusan itu bubuk obat perangsng ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status