Narsih merasakan sakit di sekujur tubuhnya saat ia membuka mata. Adzan shubuh yang mengalun merdu membangunkan dirinya dari peraduan penuh luka dan nestapa. Betapa tidak, lelaki yang berstatus suaminya, kini telah berhasil merenggut keperawanannya dengan cara kejam. Bahkan untuk bernafas pun ia harus mengeluarkan air mata.
Setelah pingsan, kemudian sadar, maka Devano kembali menggagahinya, hingga pingsan kembali, dan dengan santainya lelaki laknat ini, masih berada di alam mimpi sambil memeluk pinggangnnya.
Puk!
Narsih menghempaskan kasar tangan Devano, bukannya bangun, lelaki itu malah semakin erat memeluk Narsih, hingga wanita itu mencebik kasar, lalu menghempaskan lagi lengan kasar suaminya. Tertatih ia bangun dari peraduan, kedua kaki sebenarnya tak kuat melangkah, tetapi ia harus segera membersihkan seluruh tubuhnya dari bekas sentuhan menjijikan sang suami.
Bagaikan robot, Narsih berjalan dengan merapatkan kedua pahanya, jika bergesek terlalu kasar, maka dapat dipastikan organ intimnya kembali terluka.
Sabun kering yang masih bisa digunakan itu, ia pakai untuk membersihkan seluruh tubuhnya. Tidak hanya untuk badan, Narsih juga membersihkan rambutnya dengan sabun batangan yang berwarna merah itu. Suara kran air yang terlalu deras diputar oleh Narsih, ternyata membangunkan singa yang tengah tertidur sangat lelap.
Dengan mengucek kedua matanya, lelaki itu mengedarkan pandangan, di mana ia kini berada. Kenapa tubuhnya sakit semua saat ini? Matanya turun menjelajah di mana tubuhnya rebah saat ini. Hanya selembar kasur busa yang tidak terlalu tebal, dengan bercak merah tanda ia telah berhasil memerawani istrinya.
"Ha ha ha ... gila gue. Lima kali nikah, baru ini berhasil memerawani istri, pembantu pula," umpat Devano sambil menertawakan dirinya sendiri. Suara guyuran air, membuat Devano kini tersadar, dengan langkah gontai ia berjalan mendekati pintu yang tertutup rapat di sana.
Bugh!
Bugh!"Buka!" teriaknya di balik pintu. Narsih kaget, gayung yang ia pakai sampai terhempas di lantai kamar mandi. Saat ini, ia sudah selesai mandi dan sedang memakai baju kausnya.
"Buka, denger gue ga!" teriak Devano lagi. Membuat Narsih ketakutan, dia gemetar ia membuka pintu kamar mandi sambil menunduk, Narsih mencoba melewati Vano, namun sayang, lelaki itu menghalangi jalannya.
"Wangi banget," goda Devano membaui curuk leher Narsih, membuat wanita itu bergidik ngeri. Langkahnya mundur, masuk kembali ke dalam kamar mandi, maksud hati hendak menutup pintu kembali, namun, lagi-lagi Devano berhasil menahan pintu dengan kakinya.
"Temani aku mandi," bisik Devano dengan suara serak.
****
Pak Broto sudah menunggu di ruang makan, menanti anaknya yang tak kunjung turun padahal sudah pukul setengah delapan pagi. Aneka sarapan sudah tersedia, Pak Broto melirik ke lantai dua, tempat kamar anaknya berada. Pria tua itu menautkan alisnyaz tumben sekali sudah sesiang ini belum bangun. Pikirnya."Bos kamu ke mana ini, sudah siang belum bangun? Mabuk lagi ya semalam?" tanya Pak Broto pada Samsul, supir dari Devano.
"Masih betah di atas, Tuan. Kelonan," ledek Samsul sambil menyeringai.
"Hah? Beneran?" Pak Broto menatap Samsul tak percaya.
"Iya. Coba saja nanti lihat, pasti turun dengan wajah bersinar dan rambut basah."
"Ha ha ha ha ..." tawa keduanya menggema.
"Kasian anak saya, Sul. Pertama kali menikah, pengantinnya kabur, diganti sama pembantu. Trus pembantu yang baru dua hari jadi istri, udah ditalak. Nikah lagi dengan Suci, Laras, dan dua minggu lalu Sekar, semua meninggal dalam usia pernikahan dua hari, dan tak ada satu pun dari keempat wanita itu yang berhasil digagahi Vano," cerita Pak Broto panjang lebar.
"Lha, kok bisa, Tuan?"
"Karena semua sedang datang bulan saat hari pernikahan. Nah, wanita yang ini itu, istri pertama Vano, pembantu yang ia cerai baru dua hari nikah. Ck, sekarang saja, sudah tahu enaknya malah tidak turun-turun dari kamar," cerita Pak Broto sambil tersenyum remeh. Pak Samsul manggut-manggut paham sekarang.
Lelaki yang baru saja mereka bicarakan, tidak lama turun dari lantai dua. Rambutnya basah, wajahnya bersinar, dan ada garis bibir tipis tertarik di sana. Langkahnya begitu ringan menuruni anak tangga satu per satu, menuju meja makan.
"Pak Samsul, bawakan sedikit makanan untuk dia!" titah Devano pada Samsul menunjuk lantai dua dengan dagunya.
"B-buat istri bapak maksudnya?"
"Iya," sahut Vano malas.
Sang pesuruh, begitu cepat memasukkan aneka makanan ke dalam piring. Ada nasi goreng, sosis bakar, roti bakar, mie goreng, dan potongan buah melon. Tak lupa satu gelas air teh hangat ia ambilkan juga.
"Segitu banyak, untuk jatah makan tiga hari. Bilang padanya, Pak," ujar Devano dengan ketus, membuat Samsul dan ayahnya tergugu.
"Maksud kamu, mau menyiksa wanita itu hingga mati pelan-pelan?" sindir sang Papa pada anaknya.
"Begitulah," sahut Devano singkat sambil mengangkat bahunya.
"Ck, kapan tobatnya kamu?" Pak Broto berdecih, ia melanjutkan sarapannya kembali, sedangkan Devano tengah melirik Samsul yang kini tengah menaiki anak tangga, sambil membawa nampan.
Tuk!
Tuk!"Non, buka pintunya," panggil Samsul dari balik pintu. Narsih yang terkulai lemas di atas kasur busa, kini sudah mencoba bangun. Ia tahu, bukan suara Vano yang ada di sana. Dengan cepat ia berjalan walau perih, membuka pintu dan melihat siapa yang mengetuk pintunya.
Mata Narsih membulat sempurna, saat melihat nampan berisi aneka makanan, dan juga satu gelas besar teh manis hangat. Samsul dengan senyum tipis, memberikan nampan tersebut pada Narsih.
"Habiskan, Non. Nanti saya bawakan lagi, tapi mungkin malam. Jika saya ketuk pelan dua kali, tandanya itu saya ya," bisik Samsul pada Narsih. Kepala wanita itu hanya mengangguk kaku, lalu menerima nampan berisi makanan.
"Pak, bisa bawa saya keluar dari sini?" pinta Narsih sambil berbisik dengan wajah memelas.
"Maaf, Non. Percuma, pasti nanti Non ditemukan kembali," jawab Samsul kembali berbisik.
"Samsul!" teriak Devano dari lantai bawah.
"Udah ya, Non. Makan yang banyak. Iya...Tuan!" dengan tergopoh, Samsul berlari turun ke lantai bawah, nampan makan ia biarkan di kamar istri majikannya.
"Bicara apa kalian? Kenapa kamu lama sekali di atas?" tanya Devano penuh selidik, saat Samsul sudah kembali berdiri di hadapannya.
"Wow, apakah ini pertanyaan dari seorang suami yang cemburu? ha ha ha ..." sindir Pak Broto sambil terbahak.
"Pa, jangan mulai! Potong tangan Vano kalau sampai Vano menaruh perasaan pada wanita menjijikan itu," tantang Vano pada sang papa.
****
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho