Share

Pembunuhan

Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya.

Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini.

Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian.

Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini.

Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya.

Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat itu. Andai mereka tahu bagaimana kisahku yang sebenarnya. Andai mereka tahu.

Dasar orang-orang tolol.

Venus mematikan televisi setelah melihat tak ada perkembangan yang menyenangkan tentang dirinya: dalam artian buruk bagi orang-orang lain.

Anak itu mendengus. Ia mengambil jaket tebal dari gantungan di kamarnya, lalu beranjak keluar dari rumah itu.

Langkahnya bergema saat ia turun dari anak-anak tangga dengan cekatan. Gema yang dihasilkan membuat hati Venus semakin buruk. Ia tak suka sendirian.

(Mustaka?)

Namun tak ada jawaban. Venus berdecak sebal sembari membuka mega-pintu di depannya, lalu menghempaskan benda itu hingga berdebam.

“Aku tak tahu apa fungsi rumah ini bagi Ildara.” Venus menggerutu sendiri seraya menapakkan kaki menuju jalan di depan sana. “Buat apa bermegah-megah kalau tak ada yang datang berkunjung?”

(Teman-teman sebangsanya sering berkunjung, kalau-kalau Anda penasaran.)

Venus nyaris tersentak. Ia mengumpat keras-keras di jalanan yang sepi itu.

“Ke mana kau tadi?” Venus menyurukkan kedua tangannya ke saku jaket dengan jengkel.

(Maaf, ada urusan pribadi dengan Kaisar,) kata Mustaka sok penting.

“Hah.” Hanya itu balasan Venus.

Venus terus melangkah mengikuti jalan beraspal itu sambil mendongak ke atas. Langit cerah, ditambah bulan separuh yang memantulkan cahayanya yang redup ke bawahnya. Sinar lembayung itu membuat wajah Venus tampak sepucat mayat.

“Hm.” Venus bergumam tak jelas saat matanya menangkap papan jalan bertuliskan Perpustakaan Elka.

Masih dengan santai, Venus berjalan ke arah bangunan putih yang kini tampak kotor itu. Bangunan itu tidak besar, tapi pasti bakal jauh lebih baik seandainya masih ada orang yang mau merawatnya.

Langit-langit bekas perpustakaan itu tampak rusak di mana-mana karena termakan waktu. Bagian atap terasnya bocor dan di bawahnya terdapat air yang menggenang kotor.

Venus melewati bagian lantai yang tidak basah dengan hati-hati. Ia mengambil sebuah kayu berukuran lumayan yang tergeletak di depan pintu perpustakaan.

Anak itu meraih Bakat Api, lalu menyalurkan kekuatan itu pada ujung kayu sehingga membuatnya seperti obor.

Venus mendorong pintu yang sedikit terbuka itu perlahan, tapi tak ada yang terjadi. Ia mengguncangnya sedikit. Engsel pintu itu sepertinya berkarat sehingga tak dapat dibuka lagi dengan benar.

Venus mengambil ancang-ancang kurang dari semeter. Sembari menyalurkan tenaga dalam ke kakinya, ia mendobrak pintu itu hingga terpental ke dalam ruangan dengan suara berisik.

(Anda merusakkan pintunya, Venus.) Tiba-tiba Mustaka menyeletuk ke kepala Venus.

Anak itu mendengus. “Siapa peduli, Ka? Siapa peduli?”

Mustaka terkekeh. (Anda kedengaran seperti Kaisar.)

Venus melangkah masuk ruangan dan langsung diserbu dengan bau pengap. Ia berdeham-deham seolah kerongkongannya terasa dimasuki debu.

“Suara Kaisar bagus, Ka.” Venus melanjutkan obrolannya dengan roh lain di dalam raganya. “Aku tidak. Jadi, berhenti membandingkannya.”

(Suara Anda tidak bagus.) Mustaka menyetujui. (Suara Anda dingin.)

“Tutup mulut, Mustaka,” kata Venus jengkel.

Diam-diam Venus berpikir: benarkah suaranya kini berubah dingin? Bukankah dulu dia tidak begitu? Apakah kebencian merubahnya?

Venus tiba-tiba terbatuk-batuk; membuatnya lupa akan pikiran-pikirannya semula.

Beberapa rak di ruangan agak besar itu tampak ambruk dimakan rayap; satu atau dua masih berdiri dengan kokoh. Seakan mereka masih melawan keadaan dan belum waktunya tergoyahkan.

Venus mendekati salah satu rak yang masih berdiri. Buku-buku di sana begitu tertutupi oleh debu tebal dan sawang atau sarang laba-laba. Ia terpaksa menutup mulut dan hidungnya menggunakan telapak tangan.

Venus berbalik arah ke sebuah meja yang juga berdebu. Di atasnya terdapat dua buku; yang satu terbuka di halaman sekian, yang satu masih tertutup.

Venus mendekatkan cahaya obor buatannya ke buku yang terbuka. Ia menggunakan sedikit Bakat Udara untuk meniup debu-debu di atasnya. Anak itu lantas mendekatkan wajah; mencoba membaca halaman buku tersebut.

Venus tidak terlalu paham, tapi adegan yang terpampang sedang menjelaskan tentang keadaan di mana masa-masa Amerta akhirnya mendekati akhir.

Karena tidak mau mengotori tangannya dengan debu, Venus menggunakan Bakat Udara lagi untuk menutup buku itu. Sampulnya menjelaskan bahwa itu hanya novel fiksi yang terinspirasi dengan keadaan nyata di masa kejatuhan Amerta.

Masa kejatuhan Amerta.

Sungguh berlebihan, batin Venus mencela.

Anak itu berganti meniup debu di dua buku yang dari semula sudah tertutup dengan Bakat Udara. Salah satu berjudul ENCHANTED dan yang lain berjudul WOLVIRE, keduanya tampak seperti hasil karya dari seseorang bernama VNB.

Venus membalik-balik secara acak halaman novel itu, dan kemudian yakin bahwa itu pasti juga novel fiksi. Kelihatannya menarik.

Venus baru akan mencoba membalik buku itu lagi ke halaman pertama untuk membacanya, ketika suara langkah kaki terdengar memasuki perpustakaan itu.

Venus berdiri dengan kaku, menunggu.

Seorang laki-laki yang tampaknya lebih tua dari Venus berhenti di ambang pintu. Matanya melongo saat ia melihat Venus yang berdiri sambil menenteng obor buatan. Lelaki itu membawa sebuah senjata serupa badik di tangan kanannya.

Mata lelaki itu menyipit seraya mendekat tiga langkah. Venus mencoba lebih meredupkan lagi kayu terbakar di tangannya, hingga nyala apinya nyaris mati. Wajah gadis itu menunduk sedikit.

“Kau kuyang?” tanya si lelaki tiba-tiba.

Tangan Venus yang bebas mengepal di belakang punggung. Belum saatnya aku menampakkan diri, batin Venus; mencoba tenang.

Ia menjawab dengan suara teramat kecil. “Bukan. Aku … ” sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepala Venus. “ … aku keponakan Bibi Ildara.”

Venus melirik ke atas. Lelaki itu masih penasaran.

“Untuk apa keponakan Ildara ada di sini?” tanya lelaki itu curiga.

Venus berdeham-deham. “Bibi Ildara sakit. Jadi ia memintaku untuk menggantikannya mengawasi kuyang-kuyang di sini.”

Lelaki itu mengangguk-angguk. “Begitu, ya. Yah, syukurlah kalau begitu.”

Venus berdeham sekali lagi. “Kenapa kau ada di sini? Kompleks ini berbahaya.”

Lelaki itu dengan santai berjalan mendekat ke arah meja di samping Venus. Tubuh Venus membeku.

“Aku masih belum percaya,” dengus lelaki itu. “Kukatakan pada teman-temanku bahwa aku akan buktikan pada mereka kalau di sini tak ada yang namanya kuyang atau apa pun.”

“Kenapa kau berpikir begitu?” Venus berucap pelan; secara tidak kentara ia beringsut menjauh dari volt nekat itu.

Si lelaki mengangkat bahu. “Aku selalu mengganggap bibimu aneh. Rasanya ada yang janggal.”

Sudah cukup. Venus perlu pergi dari sini.

Venus menggumamkan pamit lalu melangkah cepat-cepat hingga keluar dari perpustakaan itu. Anak itu menarik masuk Bakat Api-nya lagi ke dalam, lalu membuang kayu gosong itu sembarangan.

“Hei, tunggu!” tiba-tiba sosok tadi memanggil.

Venus terpaku lagi. Ia tak berani menoleh.

“Hei! Kau volt Api, ya?” lelaki itu bertanya dengan nada berseru.

Venus mengiyakan dengan sedikit keras. Tanpa berkata-kata apa lagi, ia tergesa-gesa pergi dari situ.

Tiba-tiba angin tak wajar mengembus badannya; melayangkan dan memutar tubuh Venus secara paksa hingga sejauh satu meter dari atas tanah.

Lelaki tadi terkesiap. Wajahnya menampakkan keterkejutan, lalu berangsur-angsur berubah senang.

Lelaki itu tertawa seraya berjalan lebih dekat. “Sudah kuduga ada yang aneh di sini! Dan coba lihat: Venus Samudera! Buronan kita yang berharga sepuluh juta Volem! Wow!”

Venus menggertakkan giginya dengan geram. Sialan.

Sialan, sialan, sialan!

Venus tak punya pilihan. Anehnya, pilihan itu membuat hatinya berteriak gembira. Perasaan itu menjadikan Venus tak lagi ragu sedikit pun.

“Sepuluh juta Volem, ya.” Venus terkekeh seakan mereka hanya bercanda semata; diam-diam Venus meraih Bakat Besi ke dalam dirinya. “Aku tidak tahu berapa jumlahnya kalau disamakan dengan kurs Rupiah Indonesia dari Bumi Pertama.”

Lelaki itu menyeringai. “Kebetulan aku tahu sedikit tentang itu, anak sok kuat. Sepuluh juta Volem hampir sama dengan sepuluh miliar rupiah!”

Mata Venus mengerjap-ngerjap. “Wah, murah sekali.”

Lelaki di bawah Venus itu mendengus. “Murah buatmu, mahal buat kami. Silakan tunggu di atas sana, akan kupanggilkan pasukan Voltum secepatnya.”

Lelaki itu tertawa-tawa sendiri seperti laiknya orang tamak yang mendapat untung tiba-tiba. Ia menerbangkan tubuh Venus lebih tinggi dari semula, lalu meraih ponsel pintar di sakunya dan mulai menekan-nekan layar sentuhnya.

Namun, cukup sampai di situ saja.

Venus, yang sedari tadi telah menyiapkan jarum panjang di belakang kepala lelaki itu, akhirnya refleks mengentakkan ujung jari.

Jarum panjang itu menancap tepat di nadi leher volt Udara di bawah sana. Bakat lelaki itu terlepas paksa hingga memaksa Venus untuk meraih Bakat Udara agar gadis itu tidak jatuh terjerembab.

Venus mendekati si lelaki yang berdeguk tak berdaya; matanya menatap Venus dengan kengerian yang nyata.

“Seharusnya kau dengar apa kata vrosidenmu,” gumam Venus tanpa perasaan. “‘Jangan coba-coba menangkap Bizura sendirian’, katanya. Dasar bodoh.”

Venus menendang tubuh lelaki yang sudah tak bernyawa itu dengan puas. Lalu, ia berbalik dan hendak meninggalkannya. Namun, tiba-tiba ia berhenti lagi.

Venus menoleh. Ia harus memberi rasa ketakutan lagi ke orang-orang di luar Area Elka agar jauh-jauh dari sini.

Sebelum tengah malam, Venus sudah meletakkan mayat lelaki itu di muka gerbang Area Elka dalam posisi telentang dengan mulut menganga.

Dengan bantuan Bakat, Venus bisa menguras habis darah mayat itu, sehingga membuatnya terlihat seakan ada kuyang yang telah menyerang lelaki itu.

Venus kembali ke rumah Ildara dengan senyum terkembang di bibirnya.

Tak ada yang boleh main-main denganku, bisiknya dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status