Selang beberapa menit kemudian, setelah acara makan sendiri yang semuram awan kelabu, Venus sudah berada di Pantai Tanjung, tak jauh dari tempatnya semula. Anak perempuan itu duduk di salah satu batang pohon yang sudah tumbang. Di sebelahnya tumbuh beberapa pohon yang ia tak tahu persis apa namanya. Semilir angin membawa serta aroma asin air laut, membuai pikiran siapa saja yang menghirupnya. Samar-samar tercium bau amis dari air laut di bibir pantai yang berwarna kecokelatan itu.
Venus menoleh dan melihat beberapa orang sedang berlutut di tepi pantai agak jauh darinya. Tiga anak kecil tampak berkejar-kejaran. Tawa gembira mereka terbawa serta oleh angin, bahkan ketika mereka menceburkan diri ke air yang agak keruh itu. Mereka yang berlutut tampaknya sedang mengorek-orek pasir, dan sesekali memasukkan sesuatu ke dalam wadah berupa kantong plastik atau stoples. Venus menebak mereka sedang mencari remis. Salah satu dari mereka menoleh memandang Venus. Wanita itu sepertinya menyeringai. Sulit untuk melihat detail wajah seseorang dengan jarak sejauh itu.
Venus menghela napas. Matanya beralih menatap cakrawala. Suasana hatinya semakin lama semakin tenang. Namun, kita tahu, setenang apapun sebuah laut, ia tak pernah benar-benar terbuka. Kita tahu, laut bisa dan sudah terbiasa berbohong. Ia tenang, begitu penuh keindahan. Hal-hal yang penuh dengan warna biru dan corak keragaman makhluk bawah air. Hal-hal yang laut buat untuk mengalihkan perhatian kita dari palung hatinya yang terdalam. Dan, jika sudah tak tahan lagi, laut bisa meluapkan emosinya dalam sejuta cara.
Namun, Venus bisa apa? Luapan emosi anak perempuan itu tak akan pernah menjadi berguna. Acap kali ia berteriak dalam kemarahan dan rasa frustrasi yang melanda, hanya untuk mendapatkan ketidakpedulian. Gadis itu masih punya ayah, tetapi ayah yang dia pikir pasti hidup dalam balut kematian. Venus tak ingat pernah merasakan kehangatan seorang ayah yang seharusnya ada pada lelaki itu, sekecil apapun. Venus tak ingat sosok tersebut sekadar memeluk atau memanggilnya dengan sebutan “Nak”. Venus tidak ingat. Sama sekali.
Mata Venus berkedip saat sebulir air mata luruh jatuh ke pipinya. Tangannya tiba-tiba merogoh tas dan mengambil sesuatu. Air matanya mengalir lagi, tanpa ampun menyakiti kerongkongan gadis itu dengan sebutir batu tak kasat mata.
Sebuah foto.
Dalam lembaran berlapis plastik keras tersebut, terpotret seorang wanita bergaun merah yang tengah berdiri dalam sebuah ruangan. Parasnya rupawan, senyumnya menular, dan sorot matanya tampak bahagia. Venus membelai citra rambut panjang wanita dalam foto tersebut. Jari-jari gadis itu menjadi gemetar. Ia rengkuh foto itu dalam dekapannya. Tangisnya mengemuka dalam bentuk isakan nan menyedihkan.
Hanya selembar foto, demi Tuhan.
“Mama, aku harus bagaimana?”
• • •
Venus masih berada di sana saat langit mulai berubah jingga. Ia tak lagi menangis. Benda yang masih digenggamnya itu telah memberikan kekuatan tersendiri bagi Venus. Benda itu cuma foto, tetapi Venus selalu belajar banyak hal darinya. Seakan jiwa sang ibu tertinggal di sana. Selalu ada kapanpun Venus membutuhkan.
Tiba-tiba, sebuah suara mengagetkan Venus. Perhatian gadis itu sesaat teralih. Ia menelengkan kepala untuk mendengarkan lebih saksama. Jelas, pendengaran gadis itu tidak salah. Namun, ia tidak yakin. Suara itu seperti bunyi sesuatu yang berputar. Venus terus menoleh ke sana kemari, lalu mendapati sesuatu di belakangnya.
Anak perempuan itu menunduk, mungkin agak terlalu menyipitkan mata.
Dari antara semak belukar yang meranggas itu, tampak sesuatu berbentuk spiral berwarna hitam legam. Benda itu terus berputar dengan dengung amat pelan. Venus mengerjapkan mata, berusaha memahami apa yang ia lihat. Venus memundurkan kepalanya sedikit. Ia pasti akan malu sendiri jika benda itu tiba-tiba memutuskan untuk menyerang hidungnya.
Venus menoleh sambil memasukkan foto ibunya ke dalam ransel. Para pencari remis di sana kini beranjak semakin jauh dari tempat Venus. Meskipun tiga anak kecil tadi tampak masih berteriak-teriak, suara mereka anehnya tidak lagi terdengar. Bahkan laut pun serasa sunyi.
Kaki Venus tiba-tiba seperti berubah menjadi jeli. Gadis itu kembali duduk dengan jantung berdebar. Ia mendongak dan menoleh ke segala arah, ingin memastikan apakah semuanya masih nyata. Venus mencubit lengannya sendiri. Terasa sakit. Ya, ini nyata. Sekaligus juga mengerikan.
Riak laut masih berdebur dan embusan angin terasa menggigilkan tengkuk. Awan berarak lambat dengan tidak teratur. Lalu kini, para pencari remis terlihat beranjak meninggalkan pantai. Semua tampak normal. Segalanya baik-baik saja. Namun, apa yang terlihat tidak sama dengan apa yang seharusnya terdengar. Semua suara menghilang. Segalanya terasa sunyi. Begitu hening. Satu-satunya bunyi hanyalah napas Venus dan jantungnya yang kian bertalu. Ketakutan membuatnya sesak napas.
Kejadian ini tak mungkin terulang kembali.
Saat itu, umur Venus tujuh tahun, sedang bermain di halaman rumah sendirian. Kemudian, ia begitu panik saat menyadari semuanya tampak begitu sunyi, padahal ada banyak sekali kendaraan berlalu lalang di jalan raya. Venus berpikir, ia entah bagaimana telah menjadi tuli. Anehnya, beberapa saat kemudian suara-suara itu kembali.
Lalu, mengapa hari ini harus terjadi lagi? Apakah hanya halusinasi? Atau tanda-tanda kegilaan?
Venus menggigit bibir dan merasakan pandangannya kabur karena air mata. Ia menyeka matanya dengan kasar, tak ingin lagi menangisi hal ini seperti masih berusia tujuh tahun. Ia berdiri dan segera meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Di tengah perjalanan, suara dan bebunyian kembali memenuhi indra pendengaran Venus. Gadis itu masih bergetar, tetapi perasaannya sedikit lega.
Saat Venus tiba, ayahnya baru saja membuka pintu dan memasuki rumah. Venus menyimpan sepedanya di garasi, lalu melangkah memasuki rumah ayahnya. Lagi-lagi anak perempuan itu menghela napas, kali ini menguatkan hati untuk apapun yang akan terjadi nanti. Namun, baik ibu tiri maupun ayahnya tampak tak ada di mana pun. Hati Venus terasa lega. Gadis itu lantas bergegas menuju kamarnya dan langsung membersihkan diri. Setelah itu, ia jatuh tertidur.
Mimpi membingungkan menghantui Venus lagi. Ini sudah ketiga kalinya, dengan gambaran yang sama pula. Citra-citra pada bunga tidur itu tampak monoton. Mimpi itu pasti akan tampak jelas, jika saja gambaran tersebut tidak berkabut dan membuat semua tampak abu-abu. Venus hanya bisa menangkap bayangan sepasang insan yang tampak berdiri diam, sebelum akhirnya menghilang seperti tersaput udara. Lalu, bayangan-bayangan lain mulai bermunculan secara acak dan begitu cepat. Suara-suara terdengar tumpang tindih tak beraturan. Sekali waktu Venus merasa ada yang mengucapkan namanya, tetapi ia tidak terlalu yakin.
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting
Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs
Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu
Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet