Suara berisik tiba-tiba membangunkan Venus. Gadis itu bersusah-payah membuka matanya dan berkedip-kedip memandang jam dinding. Pukul delapan malam.
Venus mengeluh dan merutuk dalam hati sambil memeluk kembali bantal gulingnya. Sedetik kemudian ia duduk terkaget saat pintu kamarnya digedor dari luar.
“VENUS!”
Venus mengeluh lagi. Itu suara ayahnya. Dalam dan besar.
Gadis itu tersaruk-saruk menuju pintu untuk membukanya.
“Apa-apaan kau ini?!” bentak sang ayah begitu melihat Venus.
Venus mengucek mata sambil mencoba merapikan rambutnya menggunakan tangan. Gadis itu merengut sebal pada sosok tegap nan galak di depannya.
“Yang apa-apaan itu Ayah,” gerutu Venus. “Kenapa, sih, membangunkan aku malam-malam begini?”
“Rapikan dirimu, ganti baju dan sandalmu, lalu pergi ke kamar Ayah.”
Ekspresi datar sang ayah mengganggu Venus. Apa ia akan dihukum karena sudah membentak Sella? Namun, kenapa penampilan harus begitu rapi?
“Kena—”
“Sekarang!”
Laki-laki itu kemudian meninggalkan Venus yang masih ternganga karena ucapannya terpotong. Venus mendengus dan membanting daun pintu kamarnya dengan jengkel.
Sepuluh menit kemudian Venus sudah berada di kamar ayahnya. Ia sengaja memakai jeans hitam dan sepatu bot hitam, serta kaos polos yang dibalut jaket kulit berwarna hitam. Tidak lupa ia memakai riasan, yang meskipun natural, tetap saja namanya riasan. Gadis itu lebih mirip seperti pengawal pejabat bertubuh kecil. Sebenarnya, Venus hanya ingin membuat sang ayah jengkel. Karena, siapa sih, yang akan berganti pakaian sementereng itu hanya untuk ngobrol bersama orangtua di rumah sendiri?
Venus melihat sekilas pada Sella yang bersedekap sambil duduk di tepi ranjang, tatapannya menusuk mata Venus. Sedangkan ayah Venus berdiri di samping pintu lain yang Venus baru sadari. Itu jelas bukan pintu kamar mandi ataupun pintu menuju balkon.
“Ayah punya ruang rahasia?” Venus bertanya heran.
“Tidak,” ayahnya menjawab, datar.
Venus menatap ayahnya lekat-lekat. Laki-laki itu sama sekali tak terganggu dengan dandanan Venus. Venus tidak jengkel, hanya merasa sia-sia.
“Jadi?” Kini giliran Venus yang berkata dengan nada datar. “Apa maksudnya ini semua?”
Ayah Venus membuka pintu di sampingnya dengan satu sentakan pelan. Venus tak bisa melihat apa-apa di ruangan itu. Hanya kegelapan.
“Sudah saatnya kau mengetahui ini,” ujar ayah Venus, nada suaranya tetap sedatar papan. “Masuklah.”
Venus memandang ibu tiri dan ayah kandungnya dengan sangat curiga.
“Ruangan apa itu?” Venus bertanya.
“Masuk saja!” salak Sella.
Venus menatap ibu tirinya itu dengan benci. Ia sungguh tak peduli jika ia sudah kelewatan. “Aku tidak bertanya padamu, Nenek Sihir. Terimakasih.”
“Diam kau!” Ayah Venus membentak begitu keras, sementara Sella tampak marah.
“Kau yang diam!” teriak Venus tak tahan lagi. “Ayah macam apa kau ini?! Kau biarkan wanita ini menggantikan peran ibuku dalam versi yang jahat! Kau bahkan tak pernah peduli dengan anakmu sendiri, ya, 'kan?”
“Aku tak pernah dan tidak akan pernah,” desis ayah Venus dingin. “Dan, ini adalah terakhir kalinya kau boleh memanggilku ayah. Aku bukan ayahmu!”
Wajah Venus bagai ditampar kekosongan. Ia tidak mengerti maksud lelaki itu, tetapi sekaligus juga paham. Gadis itu berjuang mengeluarkan kata-kata, apapun. Namun, yang terdengar hanya degup jantung yang kian berdentam di telinganya.
Venus berjalan pelan menghampiri lelaki tersebut. Kakinya terasa begitu gemetar. Diperhatikannya baik-baik ekspresi orang yang selama ini ia anggap sebagai ayahnya itu. Jelas ia tak pernah bergurau dengan Venus sebelumnya.
“Apa maksud Ayah?” Akhirnya Venus mampu berkata.
“Sudah kubilang, jangan panggil aku Ayah lagi! Aku bukan ayahmu!” Bima menghardik. Tangannya tiba-tiba mencekal lengan Venus dengan kuat, sementara tangannya yang lain menunjuk ke kegelapan. “Ayahmu ada di dalam sana. Janjiku padanya sudah kutepati, dan kini aku berhak hidup dengan tenang. Pergilah ke manapun asalmu berada, sebab aku tak sudi melihatmu lebih lama lagi!”
Bima tiba-tiba mendorong tubuh Venus masuk melewati pintu. Venus tak mengerti apa maksudnya hingga ia terjerumus ke ruangan gelap tersebut. Rasanya seperti jatuh ke kehampaan, dengan jantung bagai tertinggal entah di mana. Hal terakhir yang Venus saksikan adalah kelegaan yang terpancar begitu jelas di wajah sang pendorongnya.
Hati Venus belum pernah terasa sesakit ini sebelumnya.
Venus terbangun dengan kaget di tengah kegelapan. Ia menyadari tengah melayang dalam keadaan berdiri. Tubuhnya serasa berada dalam kegelapan tak berdasar. Ingin rasanya Venus menangis lagi, tetapi ia pikir ia harus menahannya. Venus sudah berada di leher kematian. Ia tidak boleh menangis, bahkan saat tak ada apapun yang perlu ditangisi. Tak peduli sesesak apapun perasaan di dadanya. Alih-alih, Venus menarik napas panjang dan mengembuskannya lambat-lambat kendati gemetar.
Kemudian, Kematian merengkuhnya.
Leher Venus mulai tercekik oleh rantai ketiadaan. Mulanya pelan, tetapi kemudian kian menguat. Venus menggapai-gapai udara, sia-sia berjuang meminta Kekosongan melepaskan belenggu semu pada lehernya. Tubuhnya memberontak dan menggeliat seperti ular yang dipukul kepalanya. Hingga saat ia berpikir sudah tidak tahan lagi, cengkeraman itu lantas menghilang begitu saja. Venus terengah-engah dan menghirup oksigen dengan rakus, merasa kuat dan lemah pada saat yang sama. Dalam kelelahan mental yang menyedihkan, anehnya ia merasa dongkol, dan mengumpat banyak hal dalam hati. Kenapa Kematian mempermainkan seseorang yang akan mati, ia sungguh tidak tahu.
“Mama ...,” Venus merintih setelah beberapa saat.
Venus pikir suasana hening akan tetap bertahan, jadi ia melenakan diri pada kegelapan. Gadis itu memejamkan mata sambil mengingat foto ibunya yang kini masih tersimpan di dalam ransel. Sekelebat wajah sang ayah muncul dalam benaknya.
Bukan, bukan Ayah. Tapi Bima. Dia bukan ayah kandungmu, dia cuma orang asing yang terpaksa merawatmu.
Venus merasa kewalahan dengan keyakinan baru yang asing itu. Tenggorokannya seperti terganjal menyakitkan. Ia menelan ludah berkali-kali, berharap rasa sakit itu tenggelam kembali ke dasar perutnya.
Dalam keheningan yang merebak, Venus hanya membisu sambil mendengarkan desir halus yang dihasilkan kegelapan di sekitarnya. Venus bertanya-tanya apa yang sedang Tuhan pikirkan tentang nasibnya. Kenapa Dia membiarkan Venus tetap hidup? Apa maksudnya ia dibeginikan?
Kemudian, ingatan tentang keluarga palsunya kembali menghantam Venus. Bagaimana perasaan mereka berdua saat ini? Apakah mereka bahagia karena Venus memang sehina itu? Ataukah justru menyesal dan sedih? Apakah mereka bahkan pernah merasa sayang pada Venus sedikit saja? Pikiran itu menggelayuti Venus, berusaha membebani hidupnya yang tinggal seujung jari.
Venus memejamkan mata, berharap semuanya akan jadi mudah. Namun, kemunculan titik bundar berwarna putih di kejauhan menghapus pengharapannya. Gadis itu menatap titik itu dengan waspada, tetapi juga sedikit ingin tahu. Cahaya itu makin lama makin membesar, atau mendekat, Venus tak tahu. Ia menutupi wajah karena silau, tetapi itu bahkan tak membantu. Venus bergegas membelakangi cahaya itu dan tetap menutup mata.
“Habislah aku,” gumam Venus, mencoba menenangkan hatinya sendiri dengan tidak bersikap takut.
Venus bahkan belum sempat berdoa saat cahaya menyelimuti tubuhnya. Dan sama mengerikannya dengan kegelapan, kesadaran Venus kemudian menghilang.
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting
Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs
Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu
Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet