Share

Ungkap Kebenaran

Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.

Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.

Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.

Venus.

Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.

Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.

Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.

“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet hitam yang tiba-tiba berucap dengan suara bergemeretak. “Cicitmu ini sudah siap untuk menggantikan cucumu yang sudah mati itu.”

Venus menggigil lagi. Suara itu seperti datang dari dasar kegelapan; seolah diucapkan oleh penguasa kegelapan itu sendiri; terdengar tua dan begitu keramat.

“Tentu saja, Kaisar. Aku sudah mengawasi anak ini sejak masih dalam kandungan ibunya.”

Venus digerayangi ketakutan teramat sangat. Ia tahu siapa pemilik suara siluet merah itu.

“G-Giris ….” Venus hanya mampu berbisik. Ia ingin menangis, tetapi tak bisa. Lagi-lagi, sesuatu tampak menahannya.

Siluet merah tiba-tiba mendekat. Hati Venus dicekam kengerian. Isak ganjil tanpa air mata mengemuka dari tenggorokannya.

“Kau tidak pernah mati, Anakku. Tidak pernah.” Giris membelai Venus dengan bayangan merah nan dingin menusuk kalbu.

Venus tergagap-gagap tanpa bisa mengatakan sesuatu dengan benar. Akhirnya, ia bisa merasakan air matanya meluruh pelan ke pipi.

Lagi, asap merah nan dingin itu membelai wajah Venus.

Anak perempuan itu gemetaran.

“Aku dan Kaisar telah menyelamatkan dirimu, Nak. Kini, kau harus membalas utang itu pada kami.”

Venus menangis tersengguk-sengguk. “Menyelamatkanku dari apa?”

Siluet kepala merah itu menoleh, lalu tertawa. Siluet hitam di sana berganti mendekati Venus. Mereka mengungkung anak itu di antara cahaya merah yang meretih bagaikan api.

“Dari kematian, Jelmaan Bizura. Dari kematian.”

Venus menggigit bibir dan memejamkan mata; mencoba untuk meredam ketakutannya.

Aku hanya berhadapan dengan bayangan, pikir gadis itu gamang.

“A-Aku—” Venus menarik napas dalam-dalam; ia merasa sesak. “Kalian yang membuat Amerta mati? Itukah—”

“Bukan itu, Anakku.”

Venus tersentak memandang siluet merah di depannya. Gemetarnya tak juga hilang.

“Apa maksudmu ‘bukan itu’?” bisik Venus ketakutan.

“Ibumu mencoba membunuhmu, Jelmaan Bizura. Ibumu mencoba membunuhmu.” Kaisar hampir mendendangkan kalimat itu.

Venus berhenti menangis.

“Aku sudah tahu itu,” kata Venus merana. “Tidakkah kau melihatnya, Kaisar?”

“Termasuk pada bagian kau dibuang ke kegelapan sesaat setelah kau lahir?” dendang Kaisar begitu halus.

Venus membeku.

“Dia … a-ayah angkatku bilang—”

“Jangan pernah percaya pada manusia,” sela Druiksa tenang. “Mereka melihat apa yang ingin mereka lihat.”

“A-Apa—”

“Kami merawatmu, Venus.” Bisikan Druiksa terdengar penuh kasih sayang; namun mengandung gurat kengerian di benak Venus. “Dalam beberapa waktu kemudian, kami mengirimkan tubuh bayimu pada mereka. Bukankah ironis? Mereka melihat sosok Langit yang tengah menggendong seorang bayi malang; padahal nyatanya sosok wanita itu adalah seorang iblis sekaligus tangan kanan Kaisar.”

Dada Venus serasa menyempit. Ia kesusahan bernapas.

“Aku tak akan percaya pada iblis seperti kal—”

Visi Venus tiba-tiba berubah. Ia berada di suatu kamar yang hanya diterangi sinar rembulan dari luar. Venus memandang ke tempat tidur dengan kelambu terbuka di ruangan itu.

Jantungnya tiba-tiba berhenti.

Seorang wanita hamil tengah duduk di tepi ranjang itu. Venus ingat siapa dia. Wanita itu adalah sosok dalam foto yang selalu Venus tangisi saat ia masih berada di Bumi Pertama.

Dia adalah Langit Prahara; ibu kandung Venus.

Air mata Venus merebak. Dengan hati-hati ia mendekati sosok itu. Langit hanya menatap kosong ke depan; sama sekali tak menyadari kehadiran Venus.

“Ibu ….” Venus berbisik pelan.

Tiba-tiba Langit bangkit berdiri. Venus membeku saat wanita itu memejamkan mata seakan sedang berkonsentrasi pada sesuatu.

Kedua mata Langit terbuka dan langsung menatap sesuatu di belakang Venus. Gadis itu menoleh … ia berdengap ngeri.

Sebuah batu berbentuk kerucut lancip tampak melayang; belakangan Venus sadar benda itu begitu sejajar dengan perut besar Langit.

Venus menolak setuju dengan pemikiran yang tiba-tiba benaknya berikan. Namun, itulah kebenarannya.

Batu itu memelesat kencang bagai anak panah terlepas dari busurnya. Venus berteriak.

Namun, batu itu tiba-tiba terhenti hanya beberapa sentimeter dari perut Langit. Tangannya terkepal di kedua sisi, dan ia merosot dengan tinju menumbuk lantai di bawahnya.

Batu lancip di depan Langit menghilang perlahan.

Venus menatap ngeri saat Langit meremas kuat-kuat perut buncitnya dengan sikap teramat benci.

“Akan kubunuh kau, benih Amerta! Akan kubunuh kau!”

Hati Venus tersayat sembilu; atau begitulah menurut perasaannya. Apa salahnya, demi Tuhan!

Aku sudah dibenci bahkan sebelum bisa melihat dunia dengan benar, batin Venus tersiksa. Apa yang salah dari menjadi hidup? Apa yang salah dari menjadi istimewa?

APA YANG SALAH?!

Visi itu berubah lagi. Kini Venus berada di suatu tempat … tebing?

Saat itu sudah malam. Seseorang mendesis. Venus berputar dan mendapati Langit yang tengah berdiri di tepi tebing sambil tersenyum keji. Perutnya tak lagi buncit; kini digantikan dengan sesosok bayi mungil di tangannya.

Venus menggeleng-geleng panik. Ia mencoba meraih bayi itu, tapi ia hanya bisa menggapai ruang kosong.

“Tidak, jangan,” lirih Venus terluka. “Jangan lakukan itu, kumohon.”

“Cukup bajingan itu yang jadi musuhku, Bocah,” geram Langit penuh kebencian. Ekspresinya begitu berbeda dengan sosok penuh kasih di foto Venus.

Langit melempar tangannya ke depan tanpa ragu.

“TIDAK!”

Venus menunduk, melongok ke bawah jurang yang tampak begitu gelap di bawah sana. Ia menjerit-jerit; bahkan saat ia tahu visi ini cuma sekadar kenangan. Ia tak bisa melakukan apa-apa.

Namun, saat Venus berdiri lagi dengan berlinang air mata, ia menatap sosok Langit yang masih menampakkan ekspresi kejam di wajahnya.

“Kau—”

Venus menerjang sosok itu, tetapi visi langsung berubah lagi. Venus terperanjat saat ia berada di kegelapan. Rasanya seperti kembali ke dalam Portal Gelap.

Suara bayi menangis menyentak Venus. Ia menoleh dan berputar-putar panik tanpa bisa menatap apa-apa.

Suara dingin Druiksa mengiris udara tiba-tiba. “Di situlah kami merawatmu selama beberapa bulan.”

Venus kembali ke masa kini; kembali di dalam kungkungan cahaya merah antara siluet Kaisar dan piut Venus.

“D-Dia—” bibir Venus bergetar. Tiba-tiba ia ingin menangis; tak ada kengerian berarti yang muncul akibat memandang siluet Druiksa lagi. “Kenapa ia membenciku, Kakek? Kenapa?”

“Venus anakku ….” Druiksa terdengar simpatik. “Kau sudah tahu alasannya, Nak. Ibumu hanya dikendalikan oleh nafsu dunia. Ia tak mau kau mengacaukan usahanya.”

“Usaha apa?” bentak Venus frustrasi. “Apa yang lebih berarti buatnya ketimbang anaknya sendiri?!”

“Kekuasaan, Putri Bizura. Kekuasaan.” Kaisar kembali berdendang.

Venus rasanya seperti akan terpuruk ke bawah; tapi kemudian sadar ia tak punya raga di sini. Ia menguatkan diri.

“Aku masih punya Shad … dan Ris, Lou … Virzash juga.” Venus mengingat-ingat temannya di Volta Juana; mencoba lebih positif. “Aku juga masih punya Mustaka. Aku … aku masih bisa bahagia. Kalian tidak perlu membantuku lagi—”

“Aku tak ingin membantumu lagi, Bizura!” raung Kaisar bergemuruh. Venus tercekat. “Aku ingin kau ‘membayarnya’, kau dengar? Membayarnya!”

Venus memandang siluet Druiksa dengan ngeri. “Apa maksudnya?”

“Bukan apa-apa, Anakku,” bisik Druiksa tenang.

Venus menatapnya dengan sorot mata tak mengerti. Dengan takut ia menoleh pada siluet Kaisar.

“K-Kaisar—”

“Kau harus tahu, Putri Bizura. Kau harus tahu.” Kaisar kembali berdendang. Namun kini suaranya terdengar lebih tajam. “Virzash adalah anak haram Amerta dengan seorang manusia dari Bumi Pertama. Ia selalu menuruti kata ayahnya. Selalu menuruti. Tidakkah kau ingin tahu bagaimana Amerta bisa menemukanmu secepat itu?”

Venus menggigil. “Itu karena Kakek mengumumkan siapa diriku—”

“Dan aku hanya mengumumkan itu di Volta Juana, Anakku,” potong Druiksa muram.

Venus terombang-ambing lagi di antara ketidakpastian. Ia menelan ludah gemetar. Segala yang berhubungan dengannya tampak tak lebih dari keping kebohongan belaka.

“Virzash selalu menghubungi Amerta, Putri Bizura. Selalu menghubungi.” Kaisar berlagu tanpa sedikit pun mengurangi nada tajam di suaranya.

“Tapi seluruh negeri—”

“Itu tipuan Amerta, Nak,” sela Druiksa lagi.

Venus kehilangan pijakan. Ia tak bisa … ia tak tahu mana yang seharusnya ia percayai. Ia dilanda kebingungan yang memenjarakan akal sehatnya hingga ke sudut terdalam.

Hati anak itu berubah hampa; pada saat yang bersamaan, ada setitik rasa sakit yang membuat kesadarannya masih bertahan hingga saat ini.

Bayang-bayang hitam Kaisar Azafer membelai Venus dengan lembut. Melenakan gadis itu hingga nyaris ingin tidur untuk selama-lamanya.

“Ingat satu hal, Putri Bizura. Ingat satu hal.” Kaisar berdendang; kegelapan membuat suaranya bergema. “Kau hanya bisa mempercayai kami. Terutama, dirimu sendiri. Lainnya; kau harus berhati-hati. Kepercayaan mereka tak mudah digenggam; mereka menyiapkan keindahan yang hanya tampak di luar cangkang. Ingat itu, Putri Bizura. Ingat itu.”

Visi itu menggelap; begitu pula kesadaran Venus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status