Di sebuah rumah yang terbilang cukup mewah. Sedang duduk beberapa orang yang tampak sangat serius membicarakan sesuatu.
"Baik, aku akan membantumu. Tapi, tentu saja aku memiliki syarat. Apa kau sanggup memenuhi syarat dariku?" Tanya pria itu dengan tatapan yang tidak bersahabat.
Olivia yang mendadak pulang dari kampus, karena mendapat kabar tentang kebangkrutan Ayahnya, melihat ada tulisan, " RUMAH INI DISITA BANK" di depan pagar rumahnya.
'Ternyata berita itu benar.' Olivia berkata dalam hatinya. Lalu ia bergegas masuk ke dalam rumah, tepat saat Ayahnya selesai bertanya pada pria yang duduk di hadapannya itu.
"Apa syarat dari anda, Tuan Muda?" Tanya Willson, Ayah Olivia.
Olivia berjalan ke arah kursi dimana Ibunya sedang duduk. Pria itu menatap sangat dalam pada wajah Olivia. Ya, meskipun agak tomboy, tapi Olivia memiliki wajah yang sangat cantik dan body yang bisa dibilang sangat bagus untuk kalangan wanita-wanita yang diidamkan pria.
"Sebagai syaratnya...aku ingin dia menikah denganku!" Ucap pria bernama Albert itu sambil menunjuk ke arah Olivia.
"Jangan gila! Aku tidak ingin menikah di usia muda. Terlebih lagi, dengan pria tua sepertimu." Tolak Olive mentah-mentah. Olivia bisa tau dari wajahnya, jika pria itu pasti jauh lebih tua dari dirinya.
Willson berlutut di depan pria itu. Membuat Olivia membulatkan mata tanda tak suka.
"Ayah! Apa yang Ayah lakukan?"
"Diam lah. Jangan banyak bicara!" Hardik Willson dengan perasaan tega tak tega karena telah menghardik putri semata wayang yang sangat ia sayangi.
"Tuan Muda, aku mohon. Jangan minta Putriku. Aku akan memenuhi semua persyaratan yang kau ajukan, selain itu." Ucap Willson menghiba pada Albert.
Pria itu menyunggingkan senyuman sinis, lalu berkata "Tapi sayangnya, aku tidak punya persyaratan lain, selain itu."
"Tuan, kami mohon. Biarkan Putri kami dengan kehidupannya sendiri. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini. Dan lagi, dia masih berstatus mahasiswi. Umurnya masih sangat muda." Clara ikut memohon pada Albert.
Hati Olivia sangat sakit, bercampur sedih. Melihat orang tuanya berlutut di hadapan pria angkuh ini.
Olivia tak pernah bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika ia masih terus diam. Orang tuanya tak akan pernah meminta ia untuk menyetujui persyaratan gila itu. Olivia tau jelas, sebesar apa mereka mencintai dan menyayanginya selama ini.
"Aku menerima persyaratan darimu! " Entah dari mana datangnya keberanian Olivia mengucapkan kalimat itu. "Tapi, aku juga punya syarat." Lanjutnya lagi.
"Ckckck... Berani sekali kau mengajukan syarat padaku." Tatapan menghina dari pria itu terpancar sangat jelas.
"Terserah padamu. Karena kau meminta aku menikah denganmu, tentu saja aku juga harus memiliki syarat." Olivia berbicara dengan sangat percaya diri.
"Olive, biarkan ini menjadi urusan Ayah. Kau tak perlu ikut bertanggung jawab. Ayah berjanji akan menyelesaikan masalah ini secepatnya." Willson menatap nanar pada Olivia.
Olivia berjalan ke arah Willson dan Clara. Dia membantu orang tuanya untuk berdiri.
"Jangan berlutut pada manusia keji ini. Sampai kapan pun, dia tak akan membiarkan keluarga kita hidup dengan mudah. Jadi, lebih baik turuti saja kemauannya." Tatapan benci Olive tujukan pada Albert.
"Gadis yang sangat berani. Tidak salah jika aku memilihmu!" Ucap Albert lalu mejatukan bokongnya di atas kursi empuk ditengah ruangan itu.
"Aku akan membayar semua hutang-hutangmu pada Bank, membayar seluruh gaji karyawanmu, dan menanam saham yang cukup besar pada perusahaanmu. Aku akan membantu perusahaanmu untuk bangkit kembali. Anggap saja itu mahar pernikahan dariku." Albert membeberkan hal-hal yang akan diberikannya saat dia telah resmi menikahi putri mereka, Olivia.
Willson menduduk lesu. Clara memeluk Olivia dan menangis. Mereka tak tau harus bersyukur atau bersedih saat ini. Apakah mereka akan menjual Putri mereka sendiri, demi uang?
"Baik. Semua disetujui." Ucap Olivia dengan lantang.
Dia tau dengan jelas, orang tuanya pasti akan berusaha menolak tawaran ini. Mereka tak akan tega menukar putrinya dengan uang. Tapi, Olivia merasa tidak ada pilihan lain lagi saat ini. Olivia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan orang tuanya dari tuntutan Bank dan demo para karyawan. Dia tak ingin ayahnya berakhir di penjara. Bagaimana nanti nasib dirinya dan juga ibunya. Dia harus melakukan pengorbanan untuk pertama kali dalam hidupnya.
"Aku suka gadis berani dan penurut sepertimu!" Albert dengan mata tajamnya memuji keberanian Olivia.
"Sayang, tolong jangan lakukan ini. Ayah berjanji akan menyelesaikan masalah ini secepatnya. Kau tidak perlu mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya ayah pikul." Ucap Willson meyakinkan Olivia untuk terakhir kalinya. Sebagai seorang ayah, tentu dia tak tega jika kebahagiaan Putrinya ditukar dengan harta.
Olivia menatap wajah Willson yang terlihat sedih dan pilu. Dia tak pernah melihat wajah ayahnya sesedih itu selama hidupnya.
"Aku baik-baik saja. Ayah dan Ibu tak perlu khawatir. Aku pandai menjaga diriku." Hiburnya pada Willson dan Clara. Kedua tangan Clara memeluk tubuhnya dengan lembut. Menangis, melihat betapa berbaktinya Putri mereka saat ini.
"Aku rasa, semua sudah sangat jelas. Orang kepercayaanku akan segera mengurusnya. Aku harus pergi sekarang. Masih banyak yang harus kukerjakan." Ucap Albert dengan nada dingin.
"Dan, kau! Bersiaplah! Aku hanya memberimu satu hari untuk berkemas. Besok, saat buku pernikahan telah berada di tanganku, Mike akan menjemputmu." Albert berdiri dari duduknya, dan memandang Olive yang terlihat bimbang. Ada kata yang ingin dia ucapkan, tapi tak berani ia lontarkan.
"Tolong jaga Putrimu dengan baik, jangan sampai dia kabur malam ini." Sambung Albert mengingatkan Willson.
"Ba-baik, Tuan Muda." Willson berdiri dan membungkuk hormat pada Albert.
Pria angkuh itu bahkan tidak menjawab perkataannya. Dia keluar dari kediaman Willson dengan di ikuti asistennya, Mike yang berjalan di belakang.
Kini hanya tinggal Willson, Clara dan Olivia yang masih menghuni kursi diruang tamu ini.
Willson mendekati Olive yang duduk di sebelah Clara. Dia memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang. "Maafkan Ayah, Nak. Ayah tidak bisa memberikanmu kebahagiaan yang seharusnya kau dapatkan."
"Jangan berkata seperti itu! Selama ini Ayah sudah memberikan semua hal terbaik di dunia ini untuk kumiliki. Mungkin kini saatnya aku berbakti pada kalian." Olive menangis dalam pelukan Willson dan Clara.
"Semoga saja dia bersikap baik padamu. Aku tidak akan pernah rela jika dia menyakiti atau melukaimu." Clara membelai wajah Olivia dengan lembut.
"Percaya lah padaku, Bu. Putrimu ini sangat tangguh. Aku bukan perempuan yang cengeng dan lemah." Semua yang di katakan oleh Olivia adalah kebenaran. Di Kampus, ia terkenal dengan julukan si gadis pemberani. Gayanya sedikit tomboy, namun kecantikannya tak perlu diragukan lagi.
"Ayah, Ibu, aku akan ke kamar. Aku perlu menyiapkan barang-barang yang akan kubawa besok." Olive mengendurkan pelukannya dari Clara.
Dengan cepat Clara menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. "Pergi lah, Ibu akan menyiapkan makan malam. Nanti setelah makan malam, Ibu akan membantumu berkemas."
Setelah mendapat kecupan di keningnya dari Clara dan Willson, Olivia berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Clara memandang kepergian Olive dengan tatapan sendu. Sungguh, ia tak menyangka jika takdir akan mempermainkan kebahagiaan Putrinya seperti ini. Saat sampai di kamar, Olivia langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Sejujurnya, dia masih sedikit syok dengan kejadian siang ini.Dalam hitungan jam, ia akan menjadi isteri seorang pria yang tidak dia kenal. Bahkan, namanya saja dia tak tau. Terbesit penyesalan di hatinya, kenapa dengan mudahnya ia menyetujui untuk menikah dengan pria itu. Namun, saat memikirkan kedua orang tuanya, Olivia merasa telah mengambil keputusan yang sangat tepat.Namun tetap saja, muncul kegundahan di dalam hatinya. Bagaimana dengan kuliahnya nanti? Apa yang harus dia katakan pada Tristan, kekasihnya? Apa dia harus menceritakan semua ini pada Zara, sahabat baiknya? Pertanyaan- pertanyaan itu muncul di dalam pikiranya.Tak
Keesokan harinya, Olivia terlihat sudah rapi dikamarnya. Dia sudah bersiap untuk berangkat ke kampus, saat Ibunya datang memanggilnya untuk turun. "Olive, apa kau sudah siap, Nak? Tuan Muda itu sudah menuggumu di bawah." Tanya Clara dengan sedikit berteriak saat mengetuk pintu kamar. Dengan ekspresi terkejut dan heran, Olivia membukakan pintu. "Apa maksud ibu, pria yang kemarin siang itu? Yang akan menjadi suamiku?" "Benar, sayang. Namanya, Tuan Muda Albert Jay Cammerun. Dia putra sulung keluarga Cammerun. Dia CEO termuda dengan kekayaan yang tidak akan pernah habis selama tujuh generasi." "Oh ya? Tapi, percuma dia mendapatkan semua keberhasilan itu, jika masih ada sifat angkuh dan sombong didalam dirinya." Olivia terlihat tidak tertarik sama sekali dengan hal menakjubkan yang baru saja di terangkan Clara. Saat dia berjalan keluar kamar, ternyata Albert ada diluar kamarnya itu. Clara menjadi gugup, mengingat apa yang baru saj
Setibanya di kantor catatan sipil. Mereka berdua segera masuk ke dalam kantor ketua pengurusan akta nikah. Karena Albert orang yang sangat berpengaruh di kota ini, tentu saja mudah baginya mendapatkan surat nikah itu hanya dalam waktu semalam. Setelah membubuhi tanda tangan di kertas selembar itu, mereka segera keluar. Saat Albert membukakan pintu mobil untuk Olivia, dia dengan cepat memberikan penawaran. "Bisakah aku pergi dengan taxi saja? Aku akan langsung ke kampus. Aku ada kelas pagi ini." "Masuk!" Titah Albert terdengar menakutkan. "Tapi, kau tidak mungkin kan mengantarku ke kampus menggunakan mobil super mewah ini?" Olivia takut menjadi tontonan satu kampus karena turun dari mobil yang hanya ada tiga unit di dunia ini. "Masuk atau aku akan..." "Iya.. iya.. aku masuk. Kau puas sekarang?" Olivia masuk ke mobil itu dengan wajah cemberut. Tersungging senyum di bibir Albert melihat tingkah Olivia yang menurutnya sangat lucu.
Mike sudah menunggu di depan kampus dengan mobil baru, yang tidak terlalu mencolok. Meski begitu, mobil sport yang di bawa Mike saat ini masih terbilang mewah. Karena hanya ada seratus unit di dunia. Setidaknya, Olivia tidsk terlalu risih seperti menaiki mobil yang hanya ada tiga unit di dunia itu. Saat Mike melihat Olivia keluar dari gerbang kampus, ia segera keluar untuk membuka kan pintu mobil. Olivia sedang bersama Tristan saat ini. Saat melihat Mike sudah menunggunya, Olivia menjadi sangat gugup. "Olive, apa kau mendengar yang baru saja kukatakan?" Pertanyaan Tristan membuat Olivia semakin gugup. "Em.. itu, bagaimana jika kita pergi lain kali saja? Ada hal penting yang harus kukerjakan sekarang!" Olivia tidak tau harus berbuat apa saat ini. "Tapi, aku sudah memesan tiket untuk sore ini. Apa kau lupa, film ini hanya di tayangkan satu kali di bioskop." Tristan memegang tangan Olivia. "Aku benar-benar tidak bisa kali ini, aku harus p
Mike tidak tau harus bagaimana menghadapi tingkah Olivia. Mike mengeluarkan ponselnya, berencana untuk melaporkan pada Albert bahwa Olivia sudah selesai makan malam. Olivia yang melihat Mike akan menelpon, lantas berkata "Kadukan saja pada pria sombong itu, aku tidak takut sama sekali. Kau memang anak buah yang sangat berbakti, Mike." "Itu sudah menjadi tugasku, Nona." Mike membungkuk, kemudian pergi dari ruang makan. Meninggalkan Olivia yang masih menggerutu karena kesal. Akhirnya Olivia kembali ke kamarnya. "Apa yang bisa aku lakukan di sini?" Olivia bertanya pada dirinya sendiri saat sedang berbaring di atas ranjangnya. Layar ponselnya menyala, Olivia menjangkau ponsel yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya. Panggilan masuk dari sebuah daftar kontak bernama Tristan. Dengan cepat Olivia mengatur posisinya menjadi duduk. Olivia ragu-ragu namun akhirnya menggeser layar ke tombol angkat. "Hallo.. my sweety."
Pagi ini, Olivia bangun lebih awal. Dia ingin memasak sendiri sarapan yang ingin dia makan. Meski para pelayan dan para koki sudah melarangnya, bukan Olivia namanya jika menyerah. Akhirnya para pelayan dan koki hanya mengawasi saja apa yang di lakukan Olivia. Sesekali Olivia akan meminta mereka untuk membantu mengerjakan sesuatu. Jam setengah tujuh pagi, sarapan telah tersaji di meja makan. Olivia sengaja membuat dua piring sarapan. Dia ingin memberikannya untuk Mike sebagai sogokan pagi ini. Ada informasi yang harus dia ketahui dari Mike. Setelah Olivia selesai mandi dan berpakaian rapi, dia kembali turun dan langsung menuju meja makan. Dia duduk dan mencium aroma masakannya sendiri. "Hhmmm.. aromanya sangat menggoda. Masakanku memang selalu tak tertandingi." Ucap Olivia lalu menyuap satu sendok bubur yang terbuat dari tepung beras dan di siram gula merah di atasnya. Aroma pandannya sangat kuat. Hingga Mike pun bisa mencium aroma bubur itu dari
Di dalam jet, saat perjalanan pulang, Albert tak henti-henti menatap jarum yang bergerak di jam tangannya. "Dasar, gadis manja. Kali ini, apa lagi yang membuatnya bertingkah." Albert menggeram pelan, namun kata-kata itu masih terdengar dengan jelas di telinga Lucy. "Siapa yang di maksud oleh Tuan Muda? Itu tidak mungkin Ny. Monic kan? Jika itu Ny. Monic, Tuan tidak akan meninggalkan rapat penting seperti tadi hanya demi menemuinya. Siapa gadis yang Tuan maksud? Aku harus mencari tau informasinya nanti." Lucy begitu penasaran dengan ucapan Albert. Lucy merasa saingannya bertambah satu orang lagi, setelah Monica. Karena cuaca bagus pagi ini, mereka sampai dengan cepat. Seorang sopir sudah menunggu di bandara. "Lucy, kembali lah ke perusahaan menggunakan taxi. Aku akan pulang ke mansion terlebih dahulu." Titah Albert lantas segera masuk ke mobil, tanpa perlu menunggu jawaban dari Lucy. "Pulang ke mansion? Apakah gadis yang Tuan Muda sebut t
Olivia tidak bersemangat lagi hari ini. Bahkan, ia tidak mengikuti satu pun kelasnya hari ini. Olivia merenungi apa saja yang telah terjadi pagi tadi, semua terasa begitu cepat. "Bagaimana dia bisa menganggap itu seakan bukan lah hal yang penting untuk kuketahui?" Olivia berbicara pada bayangannya di cermin. Setelah kejadian menggemparkan pagi tadi, Albert memutuskan untuk kembali ke kantor pusat. Di kantor, para karyawan sudah biasa melihat wajah kaku dan dingin Albert. Meskti tidak pernah dijawab, para pekerja akan tetap menyapa atau memberi hormat saat mereka melihat Albert. "Lucy, apa kau sudah membereskan masalah di London pagi ini? Jangan lupa, beri tau mereka kembali bahwa aku mengundang mereka dalam peresmian cabang hotel yang akan di laksanakan dua hari lagi. Sebagai permintaan maafku atas kejadian pagi ini, segera kau kirim undangan beserta sebotol anggur tahun 1940." Albert memerintahkan Lucy untuk menyelasaikan urusan itu. "B