Keesokan harinya, Olivia terlihat sudah rapi dikamarnya. Dia sudah bersiap untuk berangkat ke kampus, saat Ibunya datang memanggilnya untuk turun.
"Olive, apa kau sudah siap, Nak? Tuan Muda itu sudah menuggumu di bawah." Tanya Clara dengan sedikit berteriak saat mengetuk pintu kamar.
Dengan ekspresi terkejut dan heran, Olivia membukakan pintu. "Apa maksud ibu, pria yang kemarin siang itu? Yang akan menjadi suamiku?"
"Benar, sayang. Namanya, Tuan Muda Albert Jay Cammerun. Dia putra sulung keluarga Cammerun. Dia CEO termuda dengan kekayaan yang tidak akan pernah habis selama tujuh generasi."
"Oh ya? Tapi, percuma dia mendapatkan semua keberhasilan itu, jika masih ada sifat angkuh dan sombong didalam dirinya." Olivia terlihat tidak tertarik sama sekali dengan hal menakjubkan yang baru saja di terangkan Clara.
Saat dia berjalan keluar kamar, ternyata Albert ada diluar kamarnya itu. Clara menjadi gugup, mengingat apa yang baru saja di ucapkan oleh Olivia tentang pria itu. Entah sudah berapa lama pria itu berada di sana.
Olivia terlihat sangat santai mendapati pria itu sudah berada di rumahnya sepagi ini. Ia sengaja berkata dengan gaya sombong untuk memberi pria itu sedikit pelajaran. "Apakah kau tidak sabar ingin membawaku ke rumahmu? Pagi-pagi seperti ini sudah datang menjemputku. Begitu tertariknya kau pada diriku ini?"
"Kita harus ke catatan sipil pagi ini, karena mereka butuh tanda tanganmu!" Jawab Albert datar tanpa eksperi.
'Ya Tuhan. Apa yang baru saja aku katakan? Mana mungkin pria seperti dia tertarik pada gadis seperti aku?' bathin Olivia menjerit.
Olivia terlihat malu dan salah tingkah, karena sudah salah bicara. Untung Clara dengan cepat menengahi situasi canggung ini.
"Tuan, apa tidak sebaiknya kita sarapan dulu?" Clara dengan sopan menawarkan.
"Tidak. Aku tidak punya banyak waktu. Karena aku harus terbang ke London siang ini." Jawabnya lagi dengan ekspresi yang sama dengan tadi.
"Kalau begitu, mari kita ke bawah." Ajak Clara dengan menggandeng tangan Olivia. Albert memimpin jalan menuruni anak tangga.
Di meja makan sudah ada Willson yang dari tadi menunggu mereka turun. Willson memang belum bisa pergi ke kantor untuk beberapa waktu ini, hingga keadaan kembali aman.
"Sayang, kenapa kau membuat Tuan Albert menunggu terlalu lama?" Ucap Willson basa-basi.
"Tidak apa-apa, Tuan Willson. Kami akan pergi sekarang." Albert melirik ke arah Olivia yang baru saja duduk di kursi meja makannya.
"Aku tidak bisa pergi jika belum sarapan. Aku punya penyakit lambung kronis." Ucap Olive santai, lalu mulai menyesap susu hangat dan menyuap nasi goreng yang sudah tersaji di piringnya.
"Aku tidak punya banyak waktu!" Albert menahan amarahnya melihat tingkah laku Olivia.
Ayah dan Ibunya turut menegur Olivia, karena mereka takut Olivia akan di perlakukan tidak baik jika menentang perintah sang Tuan Muda ini.
"Sayang, berangkat lah. Lanjutkan makanmu nanti." Clara berusaha menarik badan Olivia dari kursinya.
"Dia yang tidak punya banyak waktu, lalu mengapa dia menyusahkanku? Aku punya banyak waktu. Tentu aku bebas melakukan aktifitasku." Olivia dengan santai mengucapkan kalimat demi kalimat itu, tanpa menghiraukan siapa yang sedang ia bicarakan.
Rahang Albert mengeras mendengar kata-kata yang di ucapkan Olivia. Ia menahan gemuruh di dadanya. Dia ingin marah, tapi tak bisa. Ada apa dengannya? Biasanya tak peduli pria atau wanita, jika membuatnya marah, maka tamat lah riwayatnya.
"Kau akan berjalan sendiri, atau kau ingin berjalan menggunakan kakiku?" Akhirnya, hanya itu kata yang bisa Albert ucapkan untuk menunjukkan kemarahannya.
Willson dan Clara mengerti maksudnya. Apa Albert akan benar-benar menggendong Olivia? Dia terkenal dengan sifat yang terlalu sensitifnya. Tidak suka di sentuh dan menyentuh wanita sembarangan.
"Aku punya kaki, untuk apa aku meminjam kakimu? Memangnya kaki bisa di bongkar pasang?" Olivia menjawab dengan sangat lugu, sambil terus menyuap dan mengunyah sarapannya.
Habis lah sudah kesabaran Albert. Dia berjalan mendekati meja. Menggeser kursi tempat Olivia duduk ke belakang. Lalus sedikit menunduk ke arah wajah Olivia, membuat gadis itu sangat terkejut. Dengan sekali angkat, berada lah kini tubuh Olivia di dalam gendongan Albert. Dengan reflek Olivia mengalungkan kedua tangannya ke leher Albert. Albert berjalan meninggalkan ruang makan, menuju ke mobil. Willson dan Clara hanya bisa menatap kepergian mereka dengan ekspresi yang tidak biasa.
"Aku takut, dia akan mencelakai Putri kita." Lirih Willson tak berdaya.
"Sayang, kau tenang saja. Aku yakin, Tuan Albert akan menjaganya dengan sangat baik. Aku bisa melihat dari sorot matanya. Cara dia memandang Olivia, ada seusatu yang ia simpan dalam hatinya." Clara mencoba menenangkan perasaan Willson.
"Mungkin kau benar, sayang. Jika tidak, mana mungkin seorang Tuan Muda sepertinya mau menikahi sembarang gadis. Terlebih lagi dengan penyakitnya yang sudah menjadi rahasia umum itu." Willson menyetujui perkataan isterinya.
"Sepertinya, alergi Tuan Muda itu tidak berlaku pada Olivia." Ucap Clara pelan. Lalu kedua suami isteri itu melanjutkan sarapan pagi yang tertunda.
*****
Olivia bisa merasakan deru napas yang keluar dari hidung dan mulut Albert. Sangat wangi. Membuat Olivia hanyut dalam imajinasinya. Namun, kemudian ia tersadar dan mulai batuk-batuk. Saat Albert mengangkatnya tadi, ia belum sepenuhnya menelan makanannya. Albert memasukkan Olivia ke dalam mobil, segera memberinya sebotol air mineral. Setelah minum, Olivia mengelus dadanya tanda lega.
"Mike, jalan!" Perintahnya dengan tegas.
Mike yang sudah duduk di kursi kemudi sejak tadi, langsung menginjak pedal gas. Mike diam-diam memperhatikan tingkah Albert yang tak seperti biasanya.
"Apa-apaan tadi itu? Kenapa kau menggendongku di depan Ayah dan Ibu?" Protes Olivia tak terima dengan perlakuan Albert yang terkesan tidak sopan.
"Aku sudah memperingatimu, tapi kau sendiri yang meminta aku melakukannya." Jawab Albert tanpa menoleh pada Olivia.
"Kau selalu melakukan sesuatu sesuka hatimu." Olivia mendengus kesal.
"Apa kau tidak suka?" Albert mendekatkan wajahnya ke depan wajah Olivia. Jantung Olivia berdegup kencang. Dengan sekuat tenaga ia mendorong dada Albert sehingga badan pria itu menjauh darinya.
"Ckck... Kenapa kau terlihat sangat gugup? Tidak lama lagi, kau akan menjadi isteriku yang sah. Belajar lah untuk terbiasa."
"Dasar, pria mesum." Umpat Olivia.
Albert merasa kupingnya panas mendengar kata-kata itu. Dia ingin memberi Olivia sedikit pelajaran.
"Kau ingin tau seberapa mesumnya aku?" Tepat setelah Albert selesai mengucapkan kalimat itu, bibirnya telah menyentuh bibir Olivia. Ia melumatnya dengan kasar. Ia menahan tangan tangan Olivia sekuat tenaga. Kekuatan Olivia, mana bisa di bandingkan dengannya.
Setelah Albert merasa Olivia sudah lemah karena susah untuk bernapas, baru ia melepaskan ciumannya. Dengan cepat Olivia menggeser duduknya lebih ke tepi, dan membuka kaca pintu mobil itu. Ia memegang dadanya yang naik turun karena harus mengatur napas.
"Pria sialan. Berani sekali mencuri ciuman dari bibirku. Aku akan membalasmu Nanti." Olivia mengumpatnya di dalam hati sambil terus menghirup oksigen sebanyak mungkin.
"Jangan berani menentangku! Atau kau akan mendapat hukuman yang sama. Camkan itu." Ucapnya acuk tak acuh dengan kondisi Olivia saat ini.
Lagi-lagi Mike melihat keadaan tadi merasa sedikit aneh. 'Tuan Muda sepertinya tidak alergi pada Nona Ini.' Bathin Mike.
“King! Aku yakin dia bisa membawamu ke jalan yang seharusnya kau tempuh,” jawab Zahra dengan keyakinan penuh.“Jangan konyol, Moms. Dia tidak sebanding denganku! Aku ini kakaknya, meski kami tidak sedarah. Aku tidak akan pernah tertarik dengan bocah ingusan seperti dia,” bantah Dayana dengan sangat tegas di depan Zahra dan wajahnya tampak sangat kesal.Dia segera pergi dari hadapan Zahra dan tidak ingin lagi membahas masalah yang sensitif itu. Bagaimanapun juga, Dayana menyadari bahwa dia sudah salah jalan. Namun, dia juga tidak meminta dirinya menjadi seperti itu. Semuanya terjadi dan mengalir apa adanya tanpa diminta dan dipaksa. Jadi, apa yang harus dia lakukan selain pasrah dan menerima semua keadaan itu dengan hati luas?Dayana memang gadis yang berasal dari keluarga terpandang dan bisa dikatakan semua yang dia lakukan pasti akan menjadi konsumsi publik. Akan tetapi, dia juga tidak bisa berpura-pura demi membuat orang lain senang dan puas. Dia ingin tetap menjadi dirinya sendiri,
Zahra tidak bisa berkata-kata saat baru saja mendengar pengakuan dari putrinya itu. Dadanya terasa penuh dan sangat sesak sehingga tidak bisa bernapas dengan baik. Dia tidak menduga bahwa Dayana akan mengakui hal besar dan sangat mengejutkan itu padanya dan Gerald.Saat ini Zahra bisa melihat perubahan warna pada wajah Gerald. Pria itu jelas sedang marah besar pada Dayana dan dia masih diam saja berusaha menahannya. Hal itu tentu saja mengingat bahwa Dayana adalah putri mereka satu-satunya.“Sayang ... tolong ralat lagi kata-katamu itu. Katakan padaku kalau kau hanya bercanda dan semua itu mungkin hanya sebuah prank atau kejutan untuk kami. Kau ingin membuat daddy marah seperti saat Mami marah ketika kalian bersekongkol membuatku cemburu dan marah besar saat itu kan?” tanya Zahra dengan menguatkan hati dan mencoba tetap tenang.“Tidak. Kali ini aku sangat serius dan aku memiliki pacar wanita. Dia adalah Jeslyn yang sering datang ke sini dan aku sering menginap di apartemennya,” jawab
Zahra kembali ke kediamannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Dia baru saja mengunjungi pemakaman keluarganya dan kemudian mendapati fakta bahwa King menaruh hati pada Dayana. Dia tidak akan mempermasalahkan hal itu jika memang sudah begitu takdirnya.“Ada apa, Sayang? Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” tanya Gerald yang menatap istrinya dengan pandangan heran.“Bukan apa-apa, Sayang. Aku hanya merasa lucu saat seorang pria menyukai gadis, tapi mereka selalu bertengkar tiap kali bertemu,” jawab Zahra kepada Gerald.“Siapa yang kau maksud? Apakah itu kisah kita dulu?” tanya Gerald dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang Dayana.“Tidak. Aku mengatakan tentang King. Eh ... tapi, ternyata kisah kita juga hampir sama seperti itu. Dulu aku dan kau juga selalu saja berdebat dan bertengkar tiap kali bertemu.”“Kau benar, Sayang. Kau tahu? Semua itu membuatku senang dan hidupku menjadi lebih berwarna.”“Jadi, kau suka bertengkar denganku?”“Hem ... sepertinya aku lebih suka berteng
“Apa benar kau tidak masalah sendirian, Nak?” tanya Zahra pada King dengan suara yang sangat lembut.“Aku tidak sendiri, Moms. Masih ada mamiku juga di sini,” jawab King saat melihat Auriel turun dari tangga.“Kakak. Kapan kau datang?” tanya Auriel yang langsung menyapa Zahra dengan sangat ramah.“Belum lama. Aku bahkan sudah mengunjungi Zacky, Mami, dan Daddy bersama King.” Zahra menjawab sopan dan kemudian keduanya bercium pipi kanan dan pipi kiri.Zahra memang sudah menerima kehadiran Auriel dan King sejak lama. Mereka sudah sangat baik satu sama yang lainnya. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk saling berselisih lagi. Lagi pula, semuanya sudah cukup jelas dan tidak ada hal besar yang harus diperdebatkan lagi.“Silakan duduk, Kak. Aku akan membuatkanmu minum,” ucap Auriel dengan sangat ramah.“Tidak perlu, Sayang. Aku tidak tamu di sini dan jangan memperlakukanku seperti tamu,” tolak Zahra dengan senyum lebar.“Tapi, tidak ada salahnya seorang adik menjamu kakaknya yang datang
“Dad, aku dan Mami datang.”“Zack! Apa kau bahagia di sana bersama Bianca? Apa kau bertemu dengan Mami dan Daddy juga? Kalian pasti bahagia sudah berkumpul di sana bukan? Kenapa kalian semua meninggalkan aku sendiri di sini? Kalian tidak ingin mengajakku? Apakah aku masih begitu menyebalkan bagi kalian?”“Moms ...,” lirih King dengan nada pilu saat mendengar Zahra bertanya beruntun seperti itu di depan makam saudara kembarnya – Zacky.“Tuan Muda Zacky yang terhormat. Apa kau liat dengan siapa aku datang hari ini? Kau pasti senang melihatnya bukan? Lihatlah, dia begitu mirip denganmu saat kau masih muda. Aku bahkan merasa seperti usiaku baru dua puluh tahun saat berada di sampingnya,” ungkap Zahra yang sengaja menghibur diri dengan berkelakar seperti itu.King hanya bisa tersenyum tipis saat mendengar candaan Zahra pada Zacky yang kini hanya bisa mereka temui dalam bentuk batu nisan yang indah dan elegan itu. Meskipun begitu, Zahra tampak sangat bahagia dan seperti dia memang sedang be
Auriel sangat bahagia saat melihat putranya sudah kembali tersenyum dan tertawa seperti itu. Sudah sejak lama dia tidak melihat tawa King yang begitu lepas, bahkan dulu dia nyaris tak pernah tersenyum sama sekali. Hal itu membuat hati Auriel merasa sedih dan juga merasa bersalah karena tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dalam hati putranya itu.“Aku berpikir, Mami akan memberikan syarat yang luar biasa dan membuatku sedikit takut,” ucap King kepada Auriel yang masih menatap putranya yang dulu kecil itu tertawa bahagia.“Aku mana mungkin memberikan syarat yang membuatmu menderita, Nak. Kau adalah sumber kebahagiaanku dan kau adalah segalanya dalam hidupku. Karena kau ada, makanya aku masih ada dan berdiri di depanmu saat ini, Sayang.” Auriel mengungkapkan isi hatinya kepada King dengan sungguh-sungguh.“Oh, Moms. Jangan bicara seperti itu lagi dan membuat aku sedih.”“No, Sayang. Kau tidak boleh lagi bersedih setelah banyaknya kesedihan yang sudah kita lalui bersama dengan hebat.