Risa menggendong bayinya dengan begitu hati-hati saat melewati rumah tetangga di tempat tinggalnya yang baru. Sudah dua minggu ia dan kedua orang tuanya juga bayi Nadia tinggal di sana. Awalnya semua biasa saja namun, perahan muncul suara sumbang yang membuat hati Risa harus semakin memupuk kesabaran.
"Risa, dari mana?" tanya tetangga bernama Iin, janda muda anak satu yang berprofesi sebagai pekerja di salon yang ada di pasar.
"Dari posyandu, teh, imunisasi Nadia," jawab Risa.
"Oh. Kirain cari Bapaknya Nadia, atau coba hubungi. Siapa tau lagi butuh uang, 'kan?" hina Iin. Risa diam, ia terus berjalan dan sesekali melirik ke bayi perempuan dalam gendongannya yang terlapis selimut bayi hadiah dari Weini juga.
Risa berjalan hingga ke rumah sederhana yang dibeli bapak. Pria itu kini bekerja sebagai sekuriti di pabrik roti dekat pasar. Sedangkan ibu bekerja di rumah konveksi sebagai penjahit. Ibu memang pandai menjahit dan bikin kue, jika kue, konsumennya sedikit karena rata-rata orang banyak yang bisa bikin, tapi jika menjahit belum tentu semua bisa.
Sedangkan Risa, ia mengurus Nadia, tidak bekerja. Langkah kakinya semakin dekat ke arah pintu rumah. Ia memasukan kunci ke lubang lalu memutar ke kiri. Rumah begitu sederhana itu beralaskan tanah, pagar di sekeliling rumah juga terbuat dari tanaman pohon tehtehan yang memiliki biji seperti jagung. Sengaha Agus--bapaknya Risa--membeli di kampung, ia tak ingin anak dan cucunya semakin terbeban dengan hiruk pikuknya kehidupan di kota.
Namun, ternyata di kampung justru mulut iseng tetangga menjadi makanan sehari-hari mereka. Harapan tak sesuai dengan kenyataan. Risa sendiri harus siap dengan komentar miring yang tak pernah ia lakukan.
"Nadia, Bunda ganti baju dulu, setelah ini baru mimik susu, ya," ucapnya pada sang putri yang begitu cantik dengan kulit putih. Risa membuka baju, sambil menatap Nadia yang mata mungilnya terus mengerjap. Selesai berganti pakaian dengan daster, ia merebahkan diri di sebelah putrinya dan mulai memberi ASI. Suasana hening dengan hawa sejuk, membuat Risa betah tinggal di sana walau harus menahan cibiran yang mulai muncul.
Nadia semangat menyusu pada Risa, jemari tangan wanita itu membelai lembut wajah mungil bayinya. Ia tersenyum, walau rasa getir di hati selalu saja muncul. "Dia nggak perlu tau kamu ada. Bukannya Bunda mau tutupi siapa Ayah kamu, Nadia, cuma Bunda nggak mau dia seenaknya nanti bawa kamu pergi dari Bunda atau ... coba untuk bersikap baik. Dia jahat, Bunda harus tutup mulut karena kalau sampai semua orang tau dia sudah perkosa Bunda. Kakek dan Nenek kamu akan jadi sasaran amarahnya. Dia setega itu, sayang. Jadi, kita hidup berdua saja ya. Nadia harus selalu sama Bunda." Risa mengecup jemari kecil Nadia. Ia begitu bertekad akan menjaga putrinya sampai kapan pun, tidak akan ada yang bisa menyakiti.
***
Lelaki itu menatap istrinya yang tertidur pulas, kehamilannya bisa diselamatkan dan ia akan menjaga baik-baik. Bahkan istrinya diperlakukan begitu istimewa, demi jabang bayi yang ada di dalam perutnya. Namun, diwaktu yang sama, pikiran lelaki itu dipenuhi bayang-bayang Risa yang sedang hamil berjalan ditengah hujan dengan kondisi miris--baginya. Juga ia mengingat perkataan Agus yang bilang jika Risa melahirkan putri cantik yang diberi nama Nadia.
Ia mendengkus, beranjak lalu berjalan ke meja kerjanya di sudut kamar. Kedua matanya tak lepas menatap ke arah istrinya yang terlelap. Tangannya menyalakan laptop, ia kembali memeriksa pekerjaannya demi mengalihkan pikiran. Beberapa kali ia memejamkan kata, teringat kejadian malam itu di mana ia memperkosa Risa dengan kesadaran di atas lima puluh persen walau ia mabuk dan ya ... terangsang akibat minumannya dicampur obat itu.
"Risa," lirihnya dengan amarah tertahan. Ia lalu bertekad akan melupakan Risa bahkan Nadia dan melanjutkan hidupnya dengan istri juga anak-anaknya kelak.
***
Tahun berganti, mulut usil tetangga terus menjadi-jadi, bahkan semakin parah. Beberapa kali Ibu dan Bapak ribut dengan tetangga, hingga mereka harus menahan air mata akibat Risa dan Nadia yang dihina.
"Udah, Bu, jangan ditanggapi," ucap Risa sambil menjemur baju di samping rumah.
"Enak aja. Mau sampai kapan kamu dibilang pelacur, Risa. Hamil tapi nggak tau siapa laki-lakinya. Enak aja!"
"Ya terus Risa harus apa, Bu?"
"Buktikan kalau kamu kenal sama laki-laki itu dan kasih tau Ibu juga Bapak, siapa Ayahnya Nadia!" Nada bicara ibu meninggi. Risa memilih diam. Nadia sudah berusia dua tahun. Ia terlihat semakin cantik dan lucu. Selesai menjemur pakaian, Risa berjalan ke arah kebun yang ia tanami sayuran. Bapak dan Nadia sedang duduk di kursi kecil sambil memegang terong ungu dan sayur sawi yang sudah siap panen.
"Nda, ini," ucap Nadia dengan suara khas anak usia dua tahun.
"Terima kasih, cantik." Risa berjongkok, menerima terong dan sawi dari tangan Nadia. Bapak melirik, tersenyum saat melihat putrinya setegar batu karang. Ia tak marah dihina terus menerus oleh tetangga.
"Risa, Nadia semakin besar, nanti kalau masuk sekolah gimana? Akte kelahirannya belum ada, 'kan?" tanya bapak sambil meletakan sawi yang sudah panen ke dalam keranjang anyaman.
"Nggak usah sekolah. Risa yang ajarin semuanya ke Nadia, Pak."
Bapak terkejut. "Nggak bisa gitu, Sa, nggak adil untuk Nadia."
Risa tersenyum kecut. "Dunia memang nggak adil, Pak, nyatanya ini yang Risa jalani, yang pasti ... Nadia akan baik-baik aja dengan Risa, Bundanya."
"Sa, cerita ke Ibu dan Bapak. Siapa Ayah Nadia?" Ibu mendadak muncul. Risa menggelengkan kepala. Ia lalu menggendong Nadia, membawa ke dalam rumah dengan alasan waktunya makan buah karena sudah jam sepuluh. Nadia biasa nyemil buah, walau hanya pepaya atau pisang, selain itu, Risa belum berikan karena harganya mahal. Nadia sendiri bekerja sebagai pemetik hasil panen kebun saudagar kaya raya pemiliki kebun di dekat rumahnya. Setiap hari ia membawa Nadia di dalam gendongannya di punggung. Nadia anteng, tak rewel sama sekali saat di ajak Risa bekerja. Upah harian yang diterima Risa empat puluh ribu, ia simpan sebagian untuk membeli kebutuhan Nadia seperti pakaian dan sesekali susu.
Risa bersiap ke kebun, kali ini jadwalnya memilah sayuran yang segar dan tidak, juga membersihkan supaya langsung dibawa ke kota. Nadia selesai makan buah pisang. Ia juga sudah memakai kaos kaki serta jaket, takut udara dingin menerpa tubuh mungilnya. "Pak, Bu, Risa berangkat ya," pamitnya.
"Iya, hati-hati, Sa. Bapak sama Ibu juga mau ke pasar, mau beli ayam sama telor."
"Iya. Bapak dan Ibu hati-hati, ya." Risa melambaikan tangan, ia berjalan sambil menggendong Nadia di belakang dengan kain yang sudah dua tahun ia pakai. Langkah kakinya melewati rumah tetangga, selalu diiringi hinaan yang bilang ' Ada lonte lewat, minggir!' atau 'Umpetin suami kalian, nanti dilirik Risa!' dan lain sebagainya. Risa menulikan telinga, ia terus berjalan sejauh dua kilo meter menyusuri jalan raya hingga tiba di area kebun. Tak lupa ia membawa perbekalan untuk Nadia, air putih di botol lucu bergambar hello kity yang ia beli di pasar dan makan siang Nadia, nasi dengan lauk ikan goreng hasil bapak memancing di sungai. Sesekali Ibu beli di pasar hanya satu kilo. Mereka harus mengatur uang karena bekerja di kampung tiak semudah di kota.
"Risa, sebelah sini!" Tangan seorang wanita melambai ke arahnya, ia berjalan cepat ke arah dituju, lalu menyapa para pekerja lainnya yang ramah kepadanya. Nadia ia turunkan dari gendongan, lalu menyuruh duduk di belakangnya. Gudang tempat sortir sayuran luas dan cukup bersih, jadi Nadia tidak terkena noda tanah seperti saat duduk di kebun.
"Nadia yang anteng, ya, Bunda kerja dulu," tukas Risa sambil mengusap kepala putrinya.
"Iya, Nda," jawab Nadia sambil duduk diam menatap Risa dan orang-orang sekitar. Risa mulai bekerja, ia memakai sarung tangan lebih dulu sebelum mengupas kulit kol bagian luar dua lapis hingga mendapatkan kualitas standar yang ditentukan. Sesekali Risa menoleh ke arah putrinya yang kini terlelap di atas alas kardung dilapisi kain gendongan, Risa tersenyum walau sebenarnya sedih. Salah satu pekerja membawa jaket miliknya, dilipat rapi menjadi bantal untuk alas kepala Nadia. Risa mengucapkan terima kasih berkali-kali atas kebaikan temannya yang rata-rata wanita di atas usia empat puluh tahun tapi masih semangat bekerja.
Risa pulang jam lima sore, Nadia sudah bangun tidur dan makan disuapi Risa sebentar sebelum kembali bekerja. Ia mengantri mendapatkan upah hari itu. Dua lembar uang dua puluh ribu ia terima di tangannya. "Untuk Nadia," ujar mandor sambil memberi uang lima ribu. "Beli jajan roti, ya," lanjutnya.
"Bilang apa, Nadia?" ujar Risa.
"Kasih, Wa. (Makasih Uwa)" Nadia tersenyum. Ia menggenggam uang yang kemudian diambil Risa. Mereka berjalan meninggalkan perkebunan, ia melewati warung, mampir untuk membeli roti.
"Permisi, Teh, rotinya dua, ya. Lima ribu, 'kan?" ujarnya sambil menyerahkan uang.
"Iya. Ambil aja, Neng!" sahut penjual dari dalam rumah. Risa mengambil dua roti lalu memberi tahu ke penjual yang berjalan menghampiri. Ia berjalan ke arah rumah, masih dengan menggendong Nadia. Mendadak, ia bertemu para tetangga kampungnya yang baru kembali dari acara nikahan tetangga desa sebrang.
"Risa! Beli apa! Sanggup beli roti!" teriak Iin. Risa diam saja, ia terus berjalan kaki menyusuri tepi jalan raya tanpa memedulikan ucapan itu. Tak merasa lelah ia melakukan setiap hari, baginya ini pilihan juga resiko hidupnya. Biarkan usilan para tetangga ia telan bulat-bulat tanpa perlu dipikirkan, yang penting jangan sampai menyenggol putrinya.
Nadia sedang duduk menikmati roti di dapur saat Risa memasak sayur terong yang ia goreng lalu membuat sambal. "Enak rotinya, Nad?" tanya Risa sambil membalik terong di dalam wajan. Nadia mengangguk. Ia mengarahkan roti ke Risa. "Buat Nadia aja, Bunda lagi masak buat Bunda makan. Makan yang banyak biar sehat, ya." Risa beralih menanak nasi dalam panci kecil. Ia mengaduk perlahan sambil memantau api pada tungku kayu bakar. Tangannya sudah terbiasa terkena api yang terbang dari sisa pembakaran kayu, bara kecil itu tak pernah absen menyentuh kulit tangannya. Jam menunjukan angka 6, kedua orang tuanya belum kembali dari pasar. Perasaan Risa mulai tak karuan, ia menunggu sambil menatap hidangan sederhana yang tersaji di atas meja. Nadia sendiri asik bermain pinsil dan kertas yang Risa berikan sebagai sarana kreatifitas Nadia. Dua jam berlalu, hingga pintu rumah diketuk. Risa beranjak cepat sambil menggendong Nadia. "Pak Kades," sapanya. "Risa. Bapak ke sini mau kasih kabar. Orang tua ka
Kembali Risa menjalankan aktivitasnya, dan membawa serta Nadia. Rumah sudah ia kunci rapat. Tangannya bersiap menggendong Nadia ke punggungnya, ia menggunakan kain sebagai penyanggahnya. "Nadia ikut Bunda kerja lagi ya, sayang," tuturnya sambil mulai berjalan. Mereka melewati rumah tetangga yang tak lagi nyinyir, tapi berganti dengan tatapan merendahkan. Salah apa Risa, sampai ia harus menelan pil pahit hidup dengan respon tetangga sekejam itu. Langkah Risa terhenti saat ia melihat seseorang dengan sepeda motor berhenti di hadapannya saat ia tiba di jalan raya. "Teh Risa," sapanya. Risa menatap, ia memicingkan kedua mata karena tak tau siapa yang menyapa hingga pria itu membuka kaca helm yang dikenakan. "Dokter Azil?!" Risa memekik. Azil tersenyum. "Mau ke mana?" "Ke kebun sayur. Dokter mau ke Puskesmas?" "Iya. Mari saya antar, Teh." "Nggak usah, saya biasa jalan kaki," tolak Risa sopan. "Nggak papa. Kasihan Nadia, baru sembuh juga, 'kan? Ayo, Teh." Azil memaksa. Risa sempat r
Menjadi dekat dengan seorang dokter tampan di kampung, membuat Risa kembali menelan bulat-bulat ocehan para tetangga. Ia belum mengiyakan tawaran Azil untuk tinggal di paviliun rumah dinasnya yang ada di kampung lain, terasa aneh juga tak pantas menerima tawaran itu. Risa sedang menjemur pakaian, saat Iin berjalan menghampirinya di samping rumah. "Kamu dekat sama dokter itu, Sa?" tanyanya dengan menunjukkan wajah tak suka. "Iya," jawab Risa sambil memeras baju lalu ia letakan pada tali tambang panjang yang dijadikan jemuran. "Hati-hati, kamu nanti dianggap gampangan," lanjut Iin. Risa melirik sekilas lalu kembali melakukan kegiatannya. Tetangga satu itu memang usil mulutnya, disangkanya Risa tidak tau bahwa Iin lah yang gampangan. Gimana nggak? Risa jelas melihat Iin membawa masuk beberapa lelaki ke rumahnya saat itu, lalu saat malam, mendengar suara yang tak sepantasnya ia dengar. Menjelang pagi, tepatnya saat matahari belum muncul, pria-pria itu keluar diam-diam dari dalam ruma
Hari pertama tinggal di paviliun, Risa dan Nadia tampak masih sungkan dengan Azil. Pria itu bahkan membantu membersihkan beberapa sudut ruangan. Risa sudah menolak, ia menginginkan dirinya saja yang membersihkannya, tapi Azil tak mau dan tetap membantu. “Kamu jangan sungkan begitu, Risa. Aku ikhlas bantu kamu dan Nadia,” tuturnya sambil terus menyapu lantai. “Yakin? Kamu nggak takut timbul fitnah dari tetangga atau bahkan … pasien kamu?” kata Risa sambil memasang taplak meja makan kecil yang juga dijadikan meja serbaguna lainnya. Paviliun itu hanya ada satu kamar dan satu kamar mandi dengan ruang tamu kecil di depan. Tidak ada dapur sehingga Azil meminta Risa untuk tidak canggung memasak di rumah utama. “Kamu mau cari kerja lagi, ‘kan?” Azil selesai menyapu lantai, lalu duduk di kursi dekat pintu. “Iya. Dari sini ke kebun sayur jaraknya jauh, nggak mungkin juga aku bawa-bawa Nadia jalan kaki.” “Terus, mau kerja di mana?” “Belum tau. Aku coba tanya ke teman di pasar.” “Jangan. K
Risa memiringkan tubuhnya lalu memeluk Nadia yang tidur tepat disampingnya. Ia menatap lekat wajah sang putri kemudian menyadari wajah gadis kecil itu semakin hari semakin mirip dengan laki-laki yang seharusnya, bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Risa ingat betul ancaman yang diucapkan lelaki itu, setelah dirinya ternodai lalu dibuang seperti sampai dipinggir jalan. Malam itu, setelah apa yang terjadi dengan dirinya–tepat pukul dua dini hari–lelaki itu mengantar pulang Risa yang memeluk dirinya sendiri dengan kepala tertunduk. “Jangan kamu bocorkan apa yang sudah saya lakukan ke kamu, Risa. Ingat. Kedua orang tua kamu bisa celaka.” Risa ingat kalimat itu, ia tak menjawab, hanya terus diam dengan pandangan ke arah kiri, menatap jalanan yang masih lengang. Saat tiba di rumah, jalannya tidak seperti biasa. Kedua orang tuanya hanya tau Risa pulang terlambat karena menumpang mengerjakan tugas kuliah lalu ketiduran di kosan temannya, tak tau jika putri satu-satunya baru saja teren
Lelaki itu berjalan mondar mandir di dalam kamar megah layaknya hotel bintang lima. Disisi lain, tepatnya di hadapan meja rias, duduk seorang wanita cantik sedang merapikan tatanan rambutnya. “Kamu kenapa mondar mandir gitu? Kayak orang bingung, Mas?” Suaminya terkejut, ia menatap sang istri lalu tersenyum tipis. “Nggak papa, aku cuma lagi berpikir tentang urusan perusahaan. Apa kamu tau siapa saja investor yang kompeten untuk aku ajak kerja sama?” “Kamu butuh investor untuk apa? Jadi bikin proyek perumahan untuk kalangan pasangan muda?” “Iya, jadi. Itu prospek banget, tapi aku butuh pemodal yang mumpuni. Maksudnya gini, aku butuh mereka yang sejalan. Selama ini aku cuma bisa kerja sama dengan orang-orangnya Papa, ‘kan? Aku mau buktikan aku bisa cari sendiri.” “Oke, aku coba bantu tanya ke Papaku ya. Kamu udah siap mau berangkat? Adeva masih tidur, kamu nggak mau ke kamarnya dulu?” Wanita itu beranjak, berjalan mendekat dengan wajah yang mencoba terlihat baik-baik saja. “Kenapa p
Nadia menggenggam erat jemari tangan bundanya, mereka kembali ke kota di mana semua kehancuran dimulai. Risa tersenyum–memaksa sebenarnya–menunjukkan jika kota tidaklah buruk. “Bun, kita mau ke mana?” tanyanya dengan sorot mata yang justru takut. “Kita ke rumah teman Bunda, ya. Dekat dari sini. Nadia masih kuat jalan kaki, ‘kan?” Gadis kecil itu menjawab dengan anggukan kepala. Sejak berpisah dengan Azil dan Bella di terminal bis karena Risa minta turun di sana, sejak saat itu ia berjalan kaki dengan Nadia, hampir sepuluh kilometer. Hal itu sengaja ia lakukan, karena sambil menyusuri jalanan, ia berpikir, bagaimana reaksi keluarga teman lamanya saat bertemu dengannya lagi. Mereka tiba di depan toko yang sangat Risa hapal, tapi mengapa plang namanya berubah, menjadi toko Berkah, bukan nama sebelumnya. Kaki Risa melangkah ke dalam, mengamati sekitar dan terasa begitu berbeda. “Permisi, apa Koh Liem … ada?” tanyanya pelan. Wanita muda yang ditanyai menatap begitu intens sebelum ia m
Risa tak ada pilihan, ia bekerja sebagai tenaga pencuci handuk dan setrika di salon milik Bu Tini. lokasinya berada di dekat toserba milik Ratu. Sial bagi Risa, mengapa ia seperti kembali berada di lingkungan lamanya. Niat awal ingin bertemu keluarga Koh Liem, justru ia terseret ke cerita lama dengan kota yang sama. “Nadia, tunggu, ya, Bunda ambil handuk-handuknya dulu. Kamu tunggu di sini,” ujar Risa sebelum masuk ke dalam salon dan spa untuk mengambil handuk kotor. Nadia mengangguk, bocah empat tahun itu berdiri di pintu belakang salon sambil terus tersenyum. Baju cantik warna merah muda yang ia kenakan, sudah mulai pudar warnanya. Sandal jepit warna kuning yang tampak sudah terlihat dekil juga ia kenakan sebagai alas kaki satu-satunya. Nadia menatap ke arah Risa yang sudah kembali ke arahnya dengan membawa satu keranjang besar berisi handuk kotor. Ia menahan pintu supaya bundanya bisa mudah berjalan. “Kita ke sana, Bun?” tunjuk Nadia ke arah tempat mencuci. “Iya, ayo!” ajak Risa