Risa tak ada pilihan, ia bekerja sebagai tenaga pencuci handuk dan setrika di salon milik Bu Tini. lokasinya berada di dekat toserba milik Ratu. Sial bagi Risa, mengapa ia seperti kembali berada di lingkungan lamanya. Niat awal ingin bertemu keluarga Koh Liem, justru ia terseret ke cerita lama dengan kota yang sama. “Nadia, tunggu, ya, Bunda ambil handuk-handuknya dulu. Kamu tunggu di sini,” ujar Risa sebelum masuk ke dalam salon dan spa untuk mengambil handuk kotor. Nadia mengangguk, bocah empat tahun itu berdiri di pintu belakang salon sambil terus tersenyum. Baju cantik warna merah muda yang ia kenakan, sudah mulai pudar warnanya. Sandal jepit warna kuning yang tampak sudah terlihat dekil juga ia kenakan sebagai alas kaki satu-satunya. Nadia menatap ke arah Risa yang sudah kembali ke arahnya dengan membawa satu keranjang besar berisi handuk kotor. Ia menahan pintu supaya bundanya bisa mudah berjalan. “Kita ke sana, Bun?” tunjuk Nadia ke arah tempat mencuci. “Iya, ayo!” ajak Risa
Mobil sedan mewah berjalan membelah pusat kota yang mulai ramai dengan kesibukan penduduknya. Di dalam mobil itu, duduk seorang anak lelaki berusia lima tahun dengan seragam sekolah TK. Ia merenung, di sebelahnya duduk wanita cantik yang ia panggil Mama sedang menyiapkan buah potong yang dibawa dari rumah. “Dev, makan apelnya,” ucap wanita itu. “Nanti, Ma, masih kenyang,” jawab Deva. “Yaudah, vitamin diminum, ya. Duduknya menghadap Mama, sayang.” Perintah wanita itu harus dituruti anaknya, mau tak mau Deva mengubah posisi duduknya yang tadinya bersandar pada pintu mobil, harus menatap mamanya. Deva membuka mulut, ia menelan vitamin yang diberikan melalui sendok plastik kecil. “Good. Kamu harus sehat terus dan nurut apa kata Mama ya, Nak.” Wanita itu tersenyum lalu mencium kening putranya. Sementara Deva tersenyum tipis sambil meneguk air putih dari botol. Diluar sana, Nadia berjalan bersama Risa menyusuri trotoar. Ia membawa tas kecil berisi kantong plastik dan wadah plastik kecil
Nadia demam tinggi, hal itu membuat Risa khawatir. Hal ini terjadi apabila putri semata wayangnya itu kelelahan."Nadia, minum obat dulu, 'nak," ujarnya. Nadia bergeming, kedua matanya terpejam. Kali ini tak seperti demam yang sudah-sudah, karena panasnya begitu tinggi. Risa bisa tau walau hanya dengan menyentuh kening sang putri. "Kita ke dokter, sayang, ayo." Risa mengambil dompet, lalu menggendong Nadia di punggungnya. "Peluk Bunda, ya, sayang."Risa memakai sandal jepit, lalu berjalan cepat melalui pintu samping salon dan spa. Jam menunjukan pukul delapan malam, ia menjadi objek orang-orang lalu lalang menatap ke arahnya, selain hari sudah malam juga awan mendung. Klinik yang dituju masih berjarak lima ratus meter lagi, tapi rintik hujan sudah mulai turun.Ya ampun, jangan hujan dulu. ucapnya dalam hati.Risa terus melangkah, tak peduli air dari langit sudah turun semakin deras. Beberapa kali ia membetulkan posisi Nadia digendongannya. Mendadak ia teringat Azil dan Bella, mereka l
“Permisi,” pamit Risa sambil menggandeng tangan Nadia, mereka berjalan kembali ke arah dapur. Tempat di mana mereka berada jika di rumah itu, menunggu selesai makan siang karena Risa akan membereskan makanan yang tersisa. Risa duduk di kursi kecil bersama Nadia di sebelahnya. Putri kecilnya itu tersenyum sumringah. “Bunda, kita tinggal di sini selamanya?” bisik Nadia. “Nggak, sayang. Bunda mau nabung supaya kita suatu hari bisa punya rumah sendiri, ya. Jangan numpang sama orang lain terus.” Risa mencolek hidung mancung Nadia. “Bun.” “Ya,” sahut Risa yang kini, dengan jemarinya merapikan helai rambut Nadia. “Tadi … tuan yang punya rumah ini, Bun?” Risa diam, ia tau siapa yang dimaksud Nadia. “Iya. Kita panggil dia Tuan Arkana, ya, atau Pak Arkana. Nadia suka panggil yang mana?” “Mmm … Tuan aja, Bunda.” Nadia menatap Risa dibarengi senyuman. Risa mengangguk. Di meja makan, Arkana makan dengan perasaan tak karuan. Sang istri tidak menyadari perubahan raut wajah suaminya k
Nadia memekik senang saat Risa membeli ikan mujair satu kilo sebagai makanan mereka nanti siang. Keduanya berjalan kaki menyusuri pasar bersih yang ada di dalam perumahan besar nan elit itu."Bunda, belanja apa lagi?" tanya Nadia sambil terus menggandeng Risa."Sudah, kok. Ayo pulang," ajaknya. Nadia mengangguk, mereka berjalan kaki, karena sudah terbiasa dan Risa tak enak hati untuk minta diantar sopir walau Bu Sumi sudah mengizinkan, rasanya ... canggung.Sambil berjalan ke arah rumah, Risa menatap sekitar hingga kedua matanya berhenti pada penjual gorengan. Ia menyeberang jalan sambil memberi kode tangan supaya kendaraan memelankan laju."Nadia mau ubi goreng?" Risa menyiapkan uang sepuluh ribu."Mau, Bun, sama tahu tepung, ya," lanjut bocah itu."Oke," jawab Risa lalu memesan ke penjual gorengan. Setelah membeli, mereka berjalan ke arah taman yang tak jauh dari rumah. Keduanya duduk setelah berjalan kaki sepuluh menit. Risa memberikan gorengan kesukaan Nadia. Terkadang, ia memberi
"Bunda, nggak makan? Ikannya enak, Bun," puji Nadia yang duduk di dingklik kecil sambil memangku piring berisi ikan goreng."Udah kenyang, untuk Nadia aja. Makan yang banyak, biar gemuk." Risa merapikan rambut Nadia dengan tangan kanannya lalu ia ikat dengan kuncir rambut warna pink. Risa menempelkan dagu pada kedua lutut yang ia lipat lalu dipeluk erat. Ia tersenyum, bahagia melihat anaknya makan dengan lahap walau dengan ikan goreng.Bukannya di rumah itu ia tidak diberi makan, ia hanya ingin memberi makan Nadia dengan uang yang ia punya. Terkadang, hatinya berat untuk menikmati makanan di rumah itu, seperti ... tidak tertelan.Perut Risa lapar, ia sendiri belum makan, ia ingin anaknya makan sampai kenyang baru ia makan. Bahkan memasak nasi juga setelah matang, ia pindah ke kotak makan miliknya."Bunda setrika baju, ya, Bu Sumi masih belanja. Nadia makan sendiri bisa, 'kan? Nanti cuci tangannya sama Bunda, ya, biar nggak bau amis.""Iya, Bun," jawab Nadia dengan mulut penuh.Arkana
"Apa Bapak ... kalau masih ada, sayang Nadia, Bunda?" Ia masih sesenggukkan, Risa membawa Nadia duduk di tempat menjemur pakaian, berada di sudut halaman belakang, tak terlihat orang-orang."Pasti, Nadia. Bapak Pasti sayang Nadia. Udah, ya ... jangan nangis lagi. Anak Bunda jelek kalau nangis. Hidungnya merah kayak jambu air," goda Risa."Iya. Nadia lupa, kata Bunda nggak boleh cengeng," lanjutnya. Nadia lalu menghapus sisa air mata dengan punggung tangan."Nadia ... mau dengar cerita tetang Bapak lagi, nggak?" Risa memberikan ide."Mau, Bun!" pekik Nadia sambil merebahkan kepala di atas paha Risa yang tertutup celana panjang warna hitam."Oke, Bunda mau cerita, ya ... Bapaknya Nadia itu orang hebat, kuat dan murah senyum. Hatinya lembut juga baik kepada semua orang. Nadia ingat, Bunda pernah bilang kalau Bapak kerjanya di mana?""Di laut. Di kapal besarrr ....""Iya. Coba Nadia bayangin, wajah Bapak, kayak gimana?" Risa mengelus kepala Nadia yang terpejam."Ganteng, Bunda. Pelaut heb
Risa sudah dua bulan bekerja di rumah keluarga Bagas, desas desus tentang Nadia mulai merebak diantara para pekerja di rumah megah itu. Pasalnya, wajah Nadia mirip dengan Arkana. Semenjak Risa bersitegang dengan lelaki itu, sama sekali Arkana tidak bersikap seperti saat ia mencoba dekat dengan Nadia. Ia bahkan begitu tak acuh.Risa yang tak peduli, perlahan ia bisa memikirkan harus melakukan apa supaya Arkana perlahan tersiksa dengan kehadirannya. Ia hanya ingin satu hal, Arkana harus merasakan bagaimana melihat putrinya begitu membanggakan ayahnya tapi, Arkana tidak akan bisa mendekat bahkan sekedar memeluk.Pintu gerbang terbuka, mobil Arkana datang dari kantor. Kehadiran lelaki itu disambut Deva yang berdiri di teras rumah. Risa dan Nadia sedang menyapu halaman, tepatnya, Nadia hanya duduk di pinggir taman.Kedua mata Nadia melihat Arkana tersenyum menyambut Deva yang segera memeluk pria itu. Nadia memalingkan wajah, menatap bundanya yang sedang memungut dedaunan kering untuk dimas