Restu “Ma,” panggil Arlan sambil memeluk wanita yang sudah membesarkannya. Keduanya berpelukan semakin erat, melepas rindu setelah Arlan pergi hampir dua bulan lamanya dari rumah itu. Nadia masih menggandeng tangan Kenan yang mengangkat kepala, menatap Arlan dan calon neneknya mengharu biru. Mereka duduk bersama, Arlan dan Nadia juga diperkenalkan dengan calon suami Lisa. “Mama senang, Arlan mau mengerti dan memaafkan Mama.” “Arlan … minta maaf, Ma. Ini semua—“ “Mama paham, Lan,” selanya. “Kita makan siang, yuk. Mama masak sup buntut sapi kesukaan kamu. Nadia, bisa bantu Mama siapkan?” “Iya, Ma, bisa.” Nadia beranjak, walau ada pembantu, tetapi wanita itu ingin Nadia ikut serta menyiapkan, bukan tanpa alasan, ia mau dekat dengan calon menantunya yang sudah ia kenal sejak kecil—semenjak keluarga besar tau jika Nadia anak Arkana. “Ma, apa Mama nggak masalah kalau nanti pernikahana kami dilakukan di rumah orang tua Nadia?” ujarnya sambil menata piring. “Iya, sayang, kenapa harus d
"Dasar lonte! Muka anak baik-baik, kelakuannya ternyata... Risa... Risa, bikin malu warga di sini! Pergi aja lo dari lingkungan ini!" teriak warga yang terkejut saat mengetahui jika perempuan bernama Risa, anak tunggal dari keluarga sederhana yang sebelumnya, mahasiswi semester tiga jurusan Akuntansi, mendadak membuat heboh lingkungan tempat tinggalnya di kawasan padat penduduk.Risa menundukan kepala begitu dalam, ia baru saja pulang dari apotek untuk membeli obat. Rasa mual yang melanda dirinya setiap pagi, membuat ia mau tak mau mengkonsumsi obat anti mual, jika tidak, ia tak bisa membantu ibunya menyiapkan dagangan kue basah yang dijajaki di kios dekat pasar milik orang lain."Jangan dengerin mereka, biarin aja. Mulutnya nggak bisa dijaga," sinis ibu. Risa berjalan masuk ke dalam rumah, meletakan bungkusan putih, ia mendudukan bokongnya pada kursi meja makan yang warna cat kayunya sudah memudar termakan usia."Bapak udah berangkat, Bu?" Risa celingukan, mencari keberadaan lelaki y
“Hoekk…” suara Risa muntah-muntah terdengar dari arah kamar mandi. Bapak berjalan cepat, baru saja ia hendak berangkat bekerja ke rumah keluarga kaya raya itu, tapi karena mendengar putrinya yang mual muntah, ia mendahului hal tersebut. “Ris… mual lagi?” tanyanya sambil berdiri di depan pintu kamar mandi. “Iya, Pak, nggak papa, kok. Bapak berangkat aja,” teriaknya dari dalam kamar mandi. “Obat mualnya ada nggak, ‘Nak?” lanjut bapak. “Ada…, Bapak berangkat aja takut telat, nanti, Pak!” teriak Risa lagi. Tapi bapak tetap diam, ia berdiri menunggu putrinya keluar dari kamar mandi. Tak lama, saat Risa berjalan keluar, bapak merangkul bahu putrinya. “Bapak beliin susu Ibu hamil, ya, Nak? Bapak denger itu asupan baik untuk janin.” Mereka berjalan ke arah meja makan. Risa menggelengkan kepala begitu pelan. “Jangan repot-repot, Pak, Risa ada vitamin dari bidan, udah cukup. Nggak usah beli susu.” Baru saja Risa menolak, ibu yang pulang dari toko menyetor kue, datang sambil membawa susu h
“Udah siap, Ris?” tanya ibu saat masuk ke dalam kamar putrinya. Risa mengangguk, ia memakai kaos dan celana panjang yang tak menekan perutnya, usia kandungannya sudah masuk minggu ke delapan namun masih terlihat rata. “Ayo, Bu,” ajak Risa sambil membantu membawa tas berisi kantong plastik. Sementara ibu membawa satu tas bahan super besar yang terisi delapan kotak kue basah. Mereka membawa dengan trolley yang bapak buat sendiri dari kayu dan roda kecil. Hal itu memudahkan ibu membawa ke pasar dengan berjalan kaki yang jaraknya tak kurang dari satu kilometer. Risa dan ibu berjalan santai, banyak pasang mata para tetangga yang mencibir saat mereka lewat, namun keduanya sudah tak peduli dan memilih cuek. Tiba di pasar, Risa segera membereskan meja kayu yang sudah diletakan bapak jam empat pagi, lagi-lagi meja kayu lipat itu bapak yang buat. Penjual es cendol belum datang, Risa sudah memberikan jarak untuk penjual cendol nanti tiba, tak repot saat merapikan dagangannya. “Bu, yang buat
Los dagangan kue Risa dan ibunya semakin hari semakin ramai, bahkan, keduanya sampai kewalahan saat mendadak menerima pesanan kue untuk acara konsumennya. Seperti malam itu, setelah pulang dari pasar pukul dua siang, Risa dan ibu beristirahat sejenak sekedar meluruskan kaki. Namun, tak lama kemudian segera merapikan bahan kue untuk dijual esok hari. “Bu, nggak ada pesanan lagi?” “Ada, Ris. Lumpia isi daging giling. Ini Ibu mau tumis dagingnya. Kamu bikin adonan kulitnya, ya, jangan lupa ditutupi plastik yang udah diolesi minyak biar nggak kering kalau udah jadi semua nantinya.” “Iya, Bu.” Risa beranjak. Ia segera mengambil tepung terigu dan baskom besar. Ruang TV sudah disulap menjadi ruang produksi, bapak yang mengatur supaya anak dan istrinya tak perlu mondar mandir ke dapur untuk membuat kue. Bahkan kompor juga dipindahkan satu ke ruang TV berukuran kecil itu. Risa duduk di kursi meja makan, perutnya sudah membesar, kini sudah memasuki lima bulan usia kehamilannya. Berat badanny
Perut Risa sudah semakin besar, bahkan kini sudah memasuki HPL atau hari perkiraan lahir. Ia tak tau jenis kelamin anaknya apa, tapi tanda-tanda ia akan melahirkan masih belum tampak. Hari itu, ia kembali mendapat lirikan dan cibiran dari tetangga, bapak yang selama ini diam akhirnya bersuara dan meminta para tetangga untuk sabar hingga Risa melahirkan, kemudian ia akan memboyong keluarganya pindah karena rumah satu-satunya juga laku dijual dengan harga murah, terpaksa hal itu dilakukan mengingat lingkungan yang tak sehat dengan perkataan yang terus menghina Risa. Ia sedang berjalan ke toserba yang baru diresmikan, milik Ratu. Risa masuk ke dalamnya, toserba dua tingkat itu menyediakan banyak ragam barang kebutuhan, bahkan hingga ke perlengkapan bayi dan anak. Risa menaiki tangga secara perlahan, di tangan kanannya ia memegang dompet. Ia punya ponsel, tapi tak pernah ia gunakan karena berisi teman-teman kuliahnya yang pasti mencari dirinya. Tiba di lantai dua, ia mendekat ke arah ra
Kelahiran bayi mungil itu disambut suka cita kedua orang tua Risa juga keluarga Koh Liem. Nama sederhana juga sematnya Risa dengan sangat indah, Nadia Faradiba, memiliki arti yang indah dan cantik. Risa belum pulih benar, ia masih harus berada di tempat praktek bidan. Agus berjalan ke meja administrasi, menanyakan berapa biaya melahirkan dan semuanya. Total enam juta rupiah, Agus diam, uangnya hanya ada tiga juga. Ia segera pergi dari sana karena akan berangkat kerja setelah sebelumnya pulang ke rumah untuk mandi dan mengganti pakaian. Setibanya di rumah sakit, ia melihat pria tersebut baru keluar kamar rawat istrinya. “Pagi, Mas,” sapa Agus. “Pagi. Pak Agus kok di sini, bukannya?” “Cucu saya sudah lahir dengan selamat. Hanya Risa yang lemah dan harus tinggal di sana sampai dua atau tiga hari lagi.” “Oh, cucunya laki-laki atau perempuan?” “Perempuan.” jawab Agus. Pria itu diam. Tak bisa berkata-kata apa pun lagi. “Mari, Mas, kita harus jemput Leon di rumah, ‘kan?” ajak Agus. Pri
Risa menggendong bayinya dengan begitu hati-hati saat melewati rumah tetangga di tempat tinggalnya yang baru. Sudah dua minggu ia dan kedua orang tuanya juga bayi Nadia tinggal di sana. Awalnya semua biasa saja namun, perahan muncul suara sumbang yang membuat hati Risa harus semakin memupuk kesabaran. "Risa, dari mana?" tanya tetangga bernama Iin, janda muda anak satu yang berprofesi sebagai pekerja di salon yang ada di pasar. "Dari posyandu, teh, imunisasi Nadia," jawab Risa. "Oh. Kirain cari Bapaknya Nadia, atau coba hubungi. Siapa tau lagi butuh uang, 'kan?" hina Iin. Risa diam, ia terus berjalan dan sesekali melirik ke bayi perempuan dalam gendongannya yang terlapis selimut bayi hadiah dari Weini juga. Risa berjalan hingga ke rumah sederhana yang dibeli bapak. Pria itu kini bekerja sebagai sekuriti di pabrik roti dekat pasar. Sedangkan ibu bekerja di rumah konveksi sebagai penjahit. Ibu memang pandai menjahit dan bikin kue, jika kue, konsumennya sedikit karena rata-rata orang