Share

Pergi menjauh

Author: Rianievy
last update Last Updated: 2022-06-24 21:08:40

Kelahiran bayi mungil itu disambut suka cita kedua orang tua Risa juga keluarga Koh Liem. Nama sederhana juga sematnya Risa dengan sangat indah, Nadia Faradiba, memiliki arti yang indah dan cantik. Risa belum pulih benar, ia masih harus berada di tempat praktek bidan. Agus berjalan ke meja administrasi, menanyakan berapa biaya melahirkan dan semuanya. Total enam juta rupiah, Agus diam, uangnya hanya ada tiga juga. Ia segera pergi dari sana karena akan berangkat kerja setelah sebelumnya pulang ke rumah untuk mandi dan mengganti pakaian. 

Setibanya di rumah sakit, ia melihat pria tersebut baru keluar kamar rawat istrinya. “Pagi, Mas,” sapa Agus. 

“Pagi. Pak Agus kok di sini, bukannya?” 

“Cucu saya sudah lahir dengan selamat. Hanya Risa yang lemah dan harus tinggal di sana sampai dua atau tiga hari lagi.” 

“Oh, cucunya laki-laki atau perempuan?” 

“Perempuan.” jawab Agus. Pria itu diam. Tak bisa berkata-kata apa pun lagi. 

“Mari, Mas, kita harus jemput Leon di rumah, ‘kan?” ajak Agus. Pria itu mengangguk, ia berjalan ke arah lift. 

Saat di dalam lift, mulutnya gatal untuk bertanya. “Nama cucu Pak Agus siapa?” 

“Kata Risa, nama bayinya, Nadia Faradiba, Pak. Risa sendiri yang kasih nama.” 

“N-nadia?” Pria itu terbata. 

“Iya. Risa suka dengan nama itu,” lanjut Agus. 

‘Saya juga, Pak. Saya mau menamakan anak saya Nadia jika perempuan.’ ucapnya dalam hati. 

“Mas, Leon nanti dibawa ke sini aja, takut di rumah kesepian,” lanjut Agus lagi. 

“Iya. Saya juga berpikir seperti itu.” 

Tak ada pembicaraan lagi hingga Agus teringat tentang biaya persalinan putrinya. 

“Mas, mohon maaf. Ada hal lain yang mau saya bicarakan,” izinnya. Pria itu mengangguk, dan meminta melanjutkan obrolan setelah tiba di mobil. Tak butuh lama, setelah berada di dalam mobil, Agus segera melanjutkan kata-katanya. 

“Saya mau pinjam uang tiga juta rupiah, Mas, untuk biaya persalinan Risa. Uang saya kurang,” ucap Agus melas. 

“Lho, bukannya Pak Agus baru jual rumah?” 

“Iya, tapi sudah habis saya belikan rumah lagi di lokasi lain. Sekaligus saya mau pamit untuk berhenti bekerja bulan depan. Saya pinjam uang tiga juta sekarang dan nanti gaji saya bulan depan tidak usah di bayar, Mas. Nanti saya juga pamit sama Pak Bagas dan Ibu.” Agus bicara sambil mengemudi. Pria yang bersamanya memejamkan mata, uang tiga juta baginya begitu kecil, bahkan harga sepatu yang ia kenakan untuk menginjak jalanan saya di atas enam juta. 

“Yakin hanya tiga juta?” Nada bicara itu begitu dingin. 

“Yakin, Mas. Bulan depan gaji saya nggak perlu di bayar, nggak papa.” Agus melanjutkan ucapannya. Pria itu segera mentransfer uang dengan nominal yang diminta Agus kemudian meminta supirnya itu mengecek m-banking. Agus terus mengucapkan terima kasih, ia lega akhirnya bisa mendapatkan uang untuk membayar persalinan. 

***

“Pelan-pelan jalannya, Risa,” ucap asisten bidan yang membantu Risa belajar jalan dan duduk. Terasa ngilu, ia berjalan sangat pelan, melihat ke luar jendela, tampak bayinya sedang digendong ibunya yang menjemur dibawah sinar matahari pukul delapan pagi. Tak begitu terik. 

“Mau ke depan, yuk, pelan-pelan jalan,” ujar wanita itu lagi. Risa mengangguk, perlahan namun pasti ia tiba di luar kamar, menghirup udara segar lalu kedua matanya melihat ke putrinya yang mulut mungilnya terbuka seperti mencari nipel. 

“Kasih ASI lagi, Ris, takut haus baru di jemur, habis ini Ibu mandiin bayimu, ya,” ucap ibu. Risa perlahan duduk di kursi, dibantu asisten bidan yang mengajarkan cara menyusui bayi sementara ibunya menyiapkan perlengkapan memandikan bayinya. 

“Lama-lama ASInya keluar sendiri, kok, rutin disusui aja bayinya, ya. Risa, saya tinggal ke depan dulu, nanti ke sini lagi. Mau ada pasien lagi.” 

“Iya, terima kasih, ya, Mbak,” ucapnya diakhiri senyuman. Risa menatap wajah Nadia yang sedang meminum ASI, sedikit nyeri tapi terasa nikmat karena inilah kelebihan seorang ibu. 

“Bulu matamu lentik, Nak, mirip… dia,” bisik Risa. “Sehat selalu ya, sayang, Mama akan berjuang untuk bahagiakan kamu. Kita pasti bisa hadapi banyak ujian di depan. Selama ada Mama, nggak akan Mama biarin kamu menangis, apalagi sedih. Nadia harus terus sama Mama walau tanpa Papamu, ya, ‘Nak. Kita akan pergi menjauh, sampai waktunya tiba, kita akan kembali lagi.” Risa mengecup jemari mungil putrinya, ia bahagia walau terus terasa sesak jika mengingat awal mula hingga Nadia lahir. Ia tak boleh menangis, ia harus sekuat tebing yang tinggi, tak peduli banyak orang yang menginjaknya, ia akan tetap berdiri. 

“Risa… udah nyusuinnya? Biar Nadia mandi dulu,” ucap ibu. Nadia menangis kencang saat terpaksa harus menyudahi menyusu. Risa tertawa.

“Keras banget kamu nangisnya, Nak, mandi sama Uti, ya, Mama makan dulu,” ucapnya. Ibu terenyuh saat mendengar Risa menyebut dirinya ‘mama’ di saat usianya bahkan belum genap dua puluh tahun. 

Risa berjalan sangat pelan, ia tak mau bergantung pada siapapun, ia harus belajar sendiri hingga tiba di kursi dekat ranjang, kemudian duduk dengan perlahan. Tangannya meraih sayur bening bayam, ia yang terbiasa makan dengan sayur itu tampak senang saat mendapat makanan itu. 

“Risa,” suara Weini terdengar. 

“Wei!” pekik Risa. 

“Mana Nadia?” tanya Weini yang membawa parcel buah. 

“Mandi sama Ibu. Ngapain bawa ini, repotin, kan?” Risa meletakkan mangkok ke atas nakas. 

“Nggak. Aku mau traktir kamu, lah, aku dapat gaji pertama. Jadi aku beliin buah, untuk kamu supaya ASInya banyak.” 

“Terima kasih, ya. Sekarang kenapa ke sini, nggak kerja? Udah jam delapan lewat, Wei.” 

“Kerja, kebetulan jadwal mantau proyek di lapangan. Jam sepuluh nanti absen masuknya, deket juga. Eh, gimana …,  kamu beneran nggak mau kasih tau laki-laki itu kalau anaknya udah lahir?” 

“Nggak. Aku juga nggak mau kenal sama dia. Biar aja.” 

“Yaudah… yang penting kamu harus kuat dan tegar untuk Nadia, ya. Kamu jadi pindah rumah juga? Jauh amat, Ris ….” Weini cemberut. 

“Bapak dan Ibu udah ambil keputusan kita tinggal di sana. Nggak papa, lah, siapa tau memang rejeki kami juga di sana. Sana berangkat, nanti terlambat, kamu dipecat. Cari kerjaan susah sekarang, Wei.” Risa mengusap lengan temannya itu. 

“Iya. Jadi satu-satunya anak yang lulus jadi arsitek, malah bikin beban tau nggak sih, Ris. Kakakku semua mana mau jadi arsitek. Semua dagang. Kok Alex apalagi, apa-apa cuan, cuan, cuan, dannn … cuan.” 

“Tapi Koh Alex baik dan royal sama keluarga. Anak istrinya aja bahagia, kan?” 

“Iya, sih. Oh iya, dari keluarga kami, terima ya, Risa.” Weini menyerangkan amplop ke tangan Risa. 

“Ya ampun, Wei. Kenapa ngerepotin gini.” Risa tak enak hati. 

“Terima. Buat Nadia. Aku ke kantor, ya. Bye, Risa, nanti aku ke sini lagi kalau sempat.” Weini pergi, meninggalkan Risa yang tertegun memegang amplop itu. 

Tak lama ibu muncul, Nadia sudah wangi dan bersih. Tertidur setelah di bedong ibu. “Weini?” tanyanya. 

“Iya. Bu, ini dari keluarga mereka, Risa belum lihat jumlahnya, malu.” Ia memberikan amplop ke ibunya setelah menidurkan Nadia di atas tempat tidur. Ibu membuka amplop, setelah dihitung, jumlah uangnya dua juta rupiah. Ibu terkejut, pun Risa yang hanya bisa bersyukur. 

“Simpan untuk beli kebutuhan Nadia, ya. Uang persalinan kamu udah dibayar Bapak.” 

Risa menghela napas. Ia bertekad akan mengganti uang bapak dan ibunya setelah ia bekerja nanti, ia akan membalas semua kebaikan orang tuanya dengan memanjakan mereka.  

***

Risa boleh pulang, bidan mengizinkan karena kondisinya sudah fit. Ia berjalan pelan bersama ibu sambil menggendong Nadia yang sangat anteng. Bapak mendekat, menyambut istri, anak dan cucunya. 

“Kita langsung ke rumah yang baru di sana. Bapak udah kosongkan rumah kita di sini, semua diangkut ke sana. Adit yang bantuin Bapak dari dua hari lalu. Pemilik yang baru mau nempatin rumah lama kita.” Tak ada guratan sedih, Agus segera memboyong keluarganya ke mobil yang dipinjam dari temannya. 

Risa siap menyambut hari barunya bersama Nadia, pergi menjauh dari kesialan hidup akibat perbuatan bejat pria tersebut. Risa terkesiap, saat ibu membuka suara dengan menanyakan, apakah ia siap menceritakan siapa ayah dari Nadia. Kedua matanya menatap bayi dalam gendongannya, ia diam, tak bisa menjawab apa-apa. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hamil anak siapa?   Restu

    Restu “Ma,” panggil Arlan sambil memeluk wanita yang sudah membesarkannya. Keduanya berpelukan semakin erat, melepas rindu setelah Arlan pergi hampir dua bulan lamanya dari rumah itu. Nadia masih menggandeng tangan Kenan yang mengangkat kepala, menatap Arlan dan calon neneknya mengharu biru. Mereka duduk bersama, Arlan dan Nadia juga diperkenalkan dengan calon suami Lisa. “Mama senang, Arlan mau mengerti dan memaafkan Mama.” “Arlan … minta maaf, Ma. Ini semua—“ “Mama paham, Lan,” selanya. “Kita makan siang, yuk. Mama masak sup buntut sapi kesukaan kamu. Nadia, bisa bantu Mama siapkan?” “Iya, Ma, bisa.” Nadia beranjak, walau ada pembantu, tetapi wanita itu ingin Nadia ikut serta menyiapkan, bukan tanpa alasan, ia mau dekat dengan calon menantunya yang sudah ia kenal sejak kecil—semenjak keluarga besar tau jika Nadia anak Arkana. “Ma, apa Mama nggak masalah kalau nanti pernikahana kami dilakukan di rumah orang tua Nadia?” ujarnya sambil menata piring. “Iya, sayang, kenapa harus d

  • Hamil anak siapa?   Tersadar

    Arlan mondar mandir berjalan di ruang tengah rumah Nadia, bahkan hal itu membuat Kenan terus menatap calon papa sambungnya dengan heran. "Papa, kenapa dari tadi mondar mandir?" tanyanya sambil mewarnai buku gambar. "Nggak apa-apa, Nan. Udah selesai PRnya?" Arlan mendekat, duduk sembari mengusap kepala Kenan penuh kasih sayang. Arlan begitu menyayangi Kenan, benar-benar seperti darah dagingnya sendiri. Nadia berjalan dari arah tangga, ia sudah selesai membersihkan diri. Pekerjaan di butik membuatnya harus pulang jam 8 malam. "Nan, PRnya udah selesai?" Nadia duduk di sebelah Arlan."Sedikit lagi, Ma," jawab Kenan yang masih fokus mewarnai ikan paus. "Setelah selesai tidur, ya," pesan Nadia. "Oke." Kenan mengacungkan ibu jari. Nadia bersandar manja pada bahu kekar Arlan, lalu mengendus bahu tunangannya. "Wangi," bisik Nadia. Arlan menoleh, tersenyum. Ia tadi menjemput Nadia setelah dari kosan, naik ojek online sampai ke butik. Dari butik baru lah ia yang mengemudikan mobil Nadia. "

  • Hamil anak siapa?   Bertemu Lisa

    Arlan belum mendapatkan pekerjaan, semenjak meninggalkan semua yang sebelumnya dimiliki, ia kini tinggal di kosan sederhana sambil terus mengirim lamaran kerja. Ponselnya berbunyi, satu pesan singkat membuatnya mengalihkan pandangan dari laptop hasil dipinjamkan Nadia. Setelah pergi, Arlan bahkan membuka rekening baru untuk mulai menyimpan uangnya. Tetapi kenyataannya ia meminjam uang Nadia untuk mulai hidup barunya. Arlan berdecak, tak mau menggubris pesan singkat itu. Fokusnya kembali menatap laptop, kepintarannya tidak selalu mudah mencari pekerjaan, walau banyak orang menganggapnya begitu. Menjelang siang, Arlan menjemput Kenan, bocah itu tampak senang, bahkan melompat memeluk Arlan yang berjongkok. "Papa nggak kerja?" Pertanyaan polos terucap. Arlan mengusap kepala Kenan lembut. "Libur. Eh, Nan, kita pulang naik buwsay, yuk, seru pasti," ajaknya. "Sama Mama boleh?" Kening Kenan berkerut, seumur-umur, ia bahkan belum pernah naik motor dibonceng siapapun, apalagi busway. "Bo

  • Hamil anak siapa?   Satu rahasia lagi

    Acara lamaran dilaksanakan di salah satu restoran favorit Arkana. Nadia yang booking sejak seminggu lalu. Ia dan Kenan tampak rapi dengan busana formal, bahkan Kenan meminta memakai kemeja dengan dasi kupu-kupu. Menggemaskan. Keluarga Nadia sudah hadir, menunggu kedatangan Arlan beserta mama dan keluarga inti lainnya. Risa tersenyum saat melihat putrinya cantik juga dewasa. Tak salah memilih Arlan untuk dijadikan suami. "Nadia, jangan gugup," kata Risa. "Nggak, Bun ... Nadia cuma nggak nyangka kalau sekarang bisa ada diposisi ini dan udah ada Kenan," seloroh Nadia mencoba tampak tenang. "Arlan itu anak baik. Jadi dia pasti nggak akan bikin kamu kecewa." Arkana menyahut. Nadia mengangguk. Keluarga lainnya yang hadir hanya kakak tertua Arkana, karena kedua orang tuanya sudah tidak ada, jadilah sulung dari keluarga yang mewakilkan. Dua saudara kandung Arkana lainnya berhalangan hadir. Menit berganti jam, Nadia mulai gelisah karena Arlan tidak menjawab teleponnya juga membalas chat.

  • Hamil anak siapa?   Sport day

    Nadia sibuk di butik juga studio, ia sedang mengurus baju pengantin pernikahan sepupu dan klien lainnya. Kenan datang, ia pulang sekolah di jemput sopir."Mama, hari sabtu besok ada lomba olahraga di sekolah," ujar Kenan. "Mama bisa datang, 'kan?" sambungnya."Aduh ... Kenan, Mama ada acara pernikahan klien Mama, gimana, ya?"Nadia menoleh sejenak sebelum lanjut membantu memasang beberapa payet cantik digaun pengantin yang terpasang pada manekin.­"Yah ...," keluh Kenan sedih."Acaranya jam berapa?""Jam tujuh pagi, Ma." Kenan duduk di sofa, menatap mamanya bekerja. Tiga asisten Nadia melirik ke arahnya."Mbak Nadia, minta tolong Pak Arlan aja," bisiknya.Nah, Nadia tidak ingat jika sekarang ada Arlan yang pasti senang dimintai tolong apalagi urusannya untuk Kenan.***Hari sabtu tiba, Arlan sudah sampai di depan rumah Nadia. Kenan juga sudah rapi memakai seragam olahraga sekolah, topi, sepatu dan membawa tas berisi handuk kecil, baju ganti juga botol minum."Udah siap, Nan?" sapa Arl

  • Hamil anak siapa?   Cemburu

    Momen penuh air mata pun selesai, Nadia membantu memakaikan sepatu Kenan, mereka akan berbegas malam mingguan ke mal. Kemana lagi, hiburan instan jika bukan ngemal. Arkana keluar dari kamar mandi, ia baru saja membasuh wajahnya yang sembab karena menangis bahagia.“Ayo,” ajaknya sembari mengusap kepala Kenan yang mengangguk. Nadia menarik tangan Arlan, lalu ia peluk erat. Arlan menenggelamkan wajah di ceruk leher Nadia. “Aku senang,” lirihnya.“Aku juga. Semoga kamu bisa jadi Papa yang baik Kenan dan … jadi … um ….” Nadia malu sendiri. Arlan merenggangkan pelukan, menatap wajah cantik Nadia dengan semburat merah dipipi.“Suami kamu yang begitu besar mencintai kamu,” bisik Arlan tepat didepan wajah Nadia, ia kecup pangkal hidung Nadia begitu lama.“Mama, Ay—“ Kenan geram, ia masuk lalu memukul paha Arlan, lelaki itu mengaduh.“Kenan nggak mau punya adek bayi!” teriaknya kesal.“Hah?!” Arlan dan Nadia kompak terkejut.***Jadi, Kenan ternyata dengar cerita dari teman-temannya di sekolah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status