Beranda / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 145 : Ada Yang Diam-diam Mengintai

Share

Bab 145 : Ada Yang Diam-diam Mengintai

Penulis: Adil Perwira
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-08 11:00:00

Malam yang dingin semakin larut. Lereng Gunung Ratri yang penuh pepohonan meranti sudah terlewati di belakang Giandra. Kini dia sedang berada di sebuah kawasan lembah yang masih tertutup hutan.

Giandra coba-coba menghitung-hitung jarak perjalanan, menurut perkiraannya, dia nanti akan sampai di istana bertepatan dengan waktu terbit fajar. 

“Aku tidak boleh terlambat. Semoga saja Argani Bhadrika belum tiba di gerbang istana kerajaan. Jangan sampai bajingan itu mencelekai gusti prabu,” bantin Giandra dalam hati.

Dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain, Giandra terus melompat menggunakan ilmu peringatan tubuh. Temaram pucat cahaya bulan sudah cukup sebagai lentera yang menemaninya sepanjang jalan.

Kecepatan Giandra saat melesat di udara dapat melebih laju seekor kuda perang. Sepanjang jalan Giandra tak melihat apa pun di sekitar kecuali hanya kegelapan belantara liar. 

Bayangan silam kembali terlintas di pikiran Giandra. Di

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 145 : Ada Yang Diam-diam Mengintai

    Malam yang dingin semakin larut. Lereng Gunung Ratri yang penuh pepohonan meranti sudah terlewati di belakang Giandra. Kini dia sedang berada di sebuah kawasan lembah yang masih tertutup hutan.Giandra coba-coba menghitung-hitung jarak perjalanan, menurut perkiraannya, dia nanti akan sampai di istana bertepatan dengan waktu terbit fajar.“Aku tidak boleh terlambat. Semoga saja Argani Bhadrika belum tiba di gerbang istana kerajaan. Jangan sampai bajingan itu mencelekai gusti prabu,” bantin Giandra dalam hati.Dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain, Giandra terus melompat menggunakan ilmu peringatan tubuh. Temaram pucat cahaya bulan sudah cukup sebagai lentera yang menemaninya sepanjang jalan.Kecepatan Giandra saat melesat di udara dapat melebih laju seekor kuda perang. Sepanjang jalan Giandra tak melihat apa pun di sekitar kecuali hanya kegelapan belantara liar.Bayangan silam kembali terlintas di pikiran Giandra. Di

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 144 : Pesan Terakhir Tubagus Dharmasuri

    Setelah lumayan jauh meninggalkan puncak Gunung Ratri, para pendekar kini sedang dalam perjalanan hendak turun ke kaki gunung. Tubagus Dharmasuri terus dipapah oleh Senopati Wibisana dan juga Alindra. Kondisinya yang terlalu lemah tak memungkinkan bagi sang patih tua itu untuk berjalan sendiri.Malam masih panjang, bintang-bintang pun tampak cemerlang bertaburan di langit, udara di hutan yang dingin menemani setiap langkah kaki mereka. Awalnya para pendekar sempat menggunakan ilmu peringan tubuh sewaktu kabur dari Dewa Kalajengking, tapi kini mereka memutuskan berjalan kaki pelan-pelan, sebab fisik mereka sudah tak kuasa melawan letih, dan keadaan pun sekarang sudah lebih aman.Alindra lalu memberi usul. “Kelihatannya Dewa Kalajengking tidak akan mengejar sampai ke sini. Bagaimana kalau kita istirahat dulu sembari menunggu Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka tiba?”“Baiklah, aku setuju. Kita butuh tempat untuk merebahkan gusti patih dan menawar luka dalamnya,” ujar Senopati Wibisana.Dam

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 143 : Pertolongan Yang Tepat Waktu

    “Hah … hah … hah ….” Senopati Taraka akhirnya terengah-engah kelelahan. Jurus tadi telah berhasil memusnahkan binatang peliharaan Dewa Kalajengking. Dia butuh jeda dulu untuk menarik nafas saat ini, karena jantungnya berdegup kencang akibat memforsir tenaga dalam. Namun, Dewa Kalajengking yang berdiri sekitar tujuh tombak di hadapannya tak sudi memberi waktu walau sebentar. Alih-alih penyihir itu lanjut lagi membaca mantra. Tanah pun terbelah! Tiga ekor kalajengking raksasa keluar lagi dari dalam bumi bak singa yang baru dilepas dari kandang. Senopati Taraka kali ini benar-benar dalam keadaan rawan. Dia harus bertarung lagi walau fisiknya makin melemah. Melihat pemandangan itu, Senopati Taraka pun berpikir, “Bagaimana bisa binatang raksasa ini tidak habis dari tadi? Setiap kali penyihir itu berkomat-kamit merafal mantra, selalu saja ada kalajengking besar yang muncul. Kekuatan sihirnya memang aneh dan tidak masuk di akal!”Dewa Kalajengking rupanya tahu kalau Senopati Taraka takjub

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 142 : Mundur Bukan Berarti Kalah

    “Gusti Patih,” pekik Senopati Taraka. Teriakannya itu membuat yang lain pun jadi ikut kaget.Semua mata pendekar kini tertuju pada Tubagus Dharmasuri. Sungguh tak diduga kalau orang sekuat dia ternyata juga bisa kalah. Padahal Tubagus Dharmasuri adalah yang paling sakti di antara yang lain. Dengan susah payah, Senopati Taraka pun cepat-cepat bangkit. Dia tergopoh-gopoh menghampiri sang patih yang tampaknya mengalami luka dalam.Sewaktu tadi Dewa Kalajengking menembakkan sinar merah dari telapak tangannya, Tubagus Dharmasuri adalah yang berada di posisi paling depan di antara para pendekar, maka wajarlah kalau dirinya yang paling kuat terkena terpaan energi penyihir itu.Sambil berusaha mengontrol nafas, Tubagus Dharmasuri mengangkat tangan kirinya, Senopati Taraka langsung tahu kalau patih itu minta dibantu untuk berdiri.“Bertahanlah, Gusti!” ucap Senopati Taraka seraya menaruh lengan Tubagus Dharmasuri di tengkuknya, dia pun menolongnya untuk bangun.Tubuh orang tua itu ternyata lum

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 141 : Hancurnya Zirah Sisik Naga

    Napas Patrioda berdengus bak banteng yang baru masuk ke dalam arena. Dia tak hirau lagi dengan apa pun di sekitarnya, sebab perhatiannya saat ini cuma tertuju pada satu titik, yaitu Dewa Kalajengking yang sebentar lagi akan dia terkam! Tanpa berkedip, Patrioda menatap sosok besar yang berdiri setinggi dua tombak itu. Dia rasa kalau dirinya harus berlari dan melonjak ke udara bila ingin mencakar tubuh Dewa Kalajengking dengan kukunya.Patrioda pun berseru, “Akan kuselesaikan semuanya sekarang! Terimalah ini, Jurus Cakar Naga Mencabik Gunung! Hiyaaa!”Bak Macan tutul yang kelaparan, Patrioda bergerak secepat angin. Dengan lonjakan kaki yang kuat di tanah, tubuhnya pun lalu membubung tinggi untuk menjangkau badan Dewa Kalajengking.Musuhnya itu sama sekali tak berkelit, Dewa Kalajengking malah membentangkan tangannya lebar-lebar, seolah mempersilahkan Patrioda yang hendak menyerangnya. Dengan bengis, kedua cakar Patrioda yang serupa bara api pun serta merta langsung mencarik kulit Dewa

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 140 : Ajian Kulit Setan Kawah Merapi

    Alindra dan Damayanti akhirnya kembali pulih setelah tadi terkena pukulan ekor dari Dewa Kalajengking. Semua pejuang kerajaan pun berkumpul di belakang Patrioda. Mereka masih belum mengambil tindakan, selain hanya jadi penonton untuk sementara waktu.Senopati Wibisana yang sebelumnya jauh tertinggal di belakang kini juga turut bergabung dengan yang lain. Melihat kondisi Alindra sudah dapat berdiri setelah diobati oleh Mpu Bhiantar, dia pun merasa lega, tapi walau demikian, dia tak ingin kalau Alindra sampai kenapa-napa lagi.“Sebaiknya kau jangan ikut bertarung dulu, Alindra. Sebab tenagamu pasti banyak terkuras setelah menggunakan Jurus Delapan Mahkota Teratai Jingga. Simpan dulu sisa kekuatanmu untuk pemulihan seutuhnya.”Kata-kata itu membuat Alindra tersipu malu. Pipinya pun tiba-tiba menjadi merah. Baru kali ini dia temukan kalau ada lelaki yang sangat perhatian pada dirinya. “Benar apa yang dikatakan oleh gusti senopati itu,” ujar Mpu Bhiantar menasehati Alindra. “Kalau kau mem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status