Li Feng adalah seorang pemuda desa yang diremehkan karena kemiskinannya. Ia merantau ke ibu kota untuk mencari pekerjaan dan akhirnya bekerja sebagai tukang cuci piring di Kedai Tianxiang. Namun, hidupnya berubah ketika ia secara tak terduga mengalahkan seorang penjahat terkenal dengan satu pukulan. Kemampuannya menarik perhatian Kaisar, dan ia pun direkrut ke akademi militer. Dari seorang prajurit rendahan, Li Feng perlahan naik pangkat berkat kepintaran dan keberaniannya. Namun, kekaisaran penuh dengan intrik dan pengkhianatan. Banyak pihak ingin menjatuhkannya, termasuk para pejabat dan jenderal yang merasa terancam oleh keberhasilannya. Saat Kaisar memerintahkannya mencari Pedang Naga Langit—senjata legendaris yang dapat memperkuat kerajaan—Li Feng tidak hanya harus menghadapi bahaya di luar, tetapi juga musuh dalam bayangan yang menginginkan kehancurannya. Perjalanan ini mempertemukannya dengan sahabat, musuh, dan cinta yang tak terduga. Namun, semakin dekat ia dengan pedang itu, semakin besar bahaya yang mengintainya. Apakah ia mampu mengendalikan kekuatan pedang itu, atau justru terperangkap dalam kutukannya?
View MoreMatahari baru saja beranjak dari peraduannya, menyinari atap-atap jerami yang basah oleh embun pagi. Desa Ping An masih terlelap dalam keheningan, kecuali satu tempat—balai desa, tempat para tetua berkumpul untuk membicarakan hal yang dianggap penting. Dan pagi ini, yang menjadi bahan pembicaraan mereka adalah seorang pemuda bernama Li Feng.
“Anak itu benar-benar keras kepala! Sudah tahu dirinya miskin, malah bermimpi tinggi!” seru salah satu tetua, wajahnya dipenuhi kerutan yang mencerminkan usianya yang telah senja. “Apa yang bisa diharapkan dari bocah seperti dia?” sahut yang lain, disambut anggukan dari para hadirin. “Ayahnya sudah mati di medan perang, ibunya sakit-sakitan, dan dia sendiri tidak punya keahlian apa pun selain menghabiskan nasi.” Di sudut ruangan, seorang pemuda berdiri dengan tangan mengepal. Wajahnya masih muda, tetapi sorot matanya tajam, penuh tekad yang belum goyah meski dihujani hinaan. Itulah Li Feng. “Aku tidak akan selamanya jadi orang miskin,” katanya, suaranya tenang namun bergetar. “Aku akan pergi ke ibu kota dan mengubah nasibku.” Tawa sinis memenuhi ruangan. “Ibu kota?” salah satu pria tua mendengus. “Apa kau berpikir hanya dengan pergi ke sana, kau bisa menjadi kaya? Kau tidak punya koneksi, tidak punya modal, bahkan tidak punya pendidikan. Kau hanya akan jadi budak, atau lebih buruk, mati di jalanan!” Li Feng menahan nafasnya. Ia tahu mereka tidak akan pernah percaya padanya. Baginya, desa ini seperti kurungan yang membatasi impian seseorang. Ia telah melihat banyak pemuda menghabiskan hidup mereka hanya dengan bertani, menerima nasib tanpa pernah mencoba mengubahnya. Tapi ia tidak mau seperti mereka. “Aku akan membuktikan kalau kalian salah,” katanya tegas, lalu berbalik pergi meninggalkan ruangan, diiringi tawa dan gumaman para tetua. Di luar, angin bertiup lembut, membawa suara gemerisik daun bambu yang tinggi menjulang di sekitar desa. Langkah kaki Li Feng terasa berat, bukan karena lelah, tetapi karena beban di hatinya. Saat ia hampir sampai di rumahnya yang sederhana, seseorang berdiri di depan pintu. Mie Lin seorang gadis desa yang tumbuh bersamanya. Mata gadis itu dipenuhi kekhawatiran. “Feng-ge… apa yang mereka katakan kali ini?” Li Feng tersenyum kecil, mencoba menenangkan gadis itu. “Hal yang sama seperti biasa. Tapi aku tidak peduli.” Mie Lin menggigit bibirnya. “Apa kau benar-benar akan pergi?” “Aku harus.” “Tapi… ibumu? Dia sedang sakit…” Li Feng terdiam. Inilah satu-satunya alasan yang membuatnya ragu. Ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, memang sedang sakit. Sejak ayahnya gugur di medan perang, mereka hidup dalam keterbatasan. Ia sudah berusaha bekerja keras, tetapi hasil panen kecil-kecilan dan pekerjaan serabutan tidak cukup untuk membiayai pengobatan ibunya. Mie Lin menggenggam lengan bajunya. “Aku tahu kau ingin mengubah nasib. Tapi kota itu berbahaya, Feng-ge. Aku hanya… tidak ingin kau berakhir buruk.” Li Feng menatap gadis itu dalam-dalam. Mie Lin selalu peduli padanya, lebih dari siapa pun di desa ini. Tapi ia tidak bisa tinggal diam selamanya. “Aku tidak akan gagal, Mie Lin.” Suaranya penuh keyakinan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Malam itu, Li Feng duduk di samping tempat tidur ibunya. Wajah perempuan itu pucat, tubuhnya tampak semakin kurus. Meski sakit, ia masih tersenyum lembut saat melihat putranya. “Kau tampak gelisah, Feng-er,” kata ibunya dengan suara lemah. “Apa yang terjadi?” Li Feng menggenggam tangan ibunya, mencoba menahan emosi. “Aku… aku ingin pergi ke ibu kota, Bu. Aku ingin mencari pekerjaan, mendapatkan uang, dan—” Ibunya menatapnya dalam diam, lalu tersenyum samar. “Kau ingin pergi, bukan?” Li Feng menundukkan kepala. Ia takut ibunya akan melarangnya. “Jika itu yang kau inginkan… pergilah.” Li Feng terkejut. “Tapi… bagaimana dengan Ibu?” Wanita itu terbatuk pelan, sebelum mengelus kepala putranya. “Ibu tidak akan selamanya ada di sisimu, Feng-er. Kau harus mengejar impianmu… dan jika itu berarti meninggalkan desa ini, maka lakukanlah.” Air mata hampir jatuh dari mata Li Feng, tetapi ia menahannya. Ia menggenggam tangan ibunya lebih erat. “Aku berjanji akan kembali. Aku akan membuat hidup kita lebih baik, Bu.” Ibunya tersenyum, tetapi di balik senyumnya tersimpan kesedihan yang tak terucapkan. Fajar menyingsing. Li Feng berdiri di depan rumahnya, membawa sebuah tas kain berisi beberapa pakaian lusuh dan sedikit bekal. Mie Lin datang dengan seikat roti kukus. “Bawa ini. Kau tidak tahu kapan kau bisa makan enak lagi.” Li Feng menerima roti itu dengan senyum kecil. “Terima kasih, Mie Lin.” Gadis itu menatapnya, seolah ingin mengingat setiap detail wajahnya sebelum ia pergi. “Berjanjilah… kau akan kembali.” “Aku pasti kembali.” Dengan langkah mantap, Li Feng berbalik dan berjalan menuju jalan setapak yang akan membawanya keluar dari desa. Dari kejauhan, beberapa orang desa melihatnya dengan tatapan sinis, menggelengkan kepala. “Bocah itu hanya akan pulang dengan kepala tertunduk,” gumam salah seorang tetua. Namun Li Feng tidak peduli. Angin pagi menerpa wajahnya saat ia melangkah lebih jauh, meninggalkan segala hinaan dan keraguan di belakangnya. Apa yang menunggunya di ibu kota, ia belum tahu. Tapi satu hal yang pasti… Ia tidak akan pernah kembali sebagai orang yang sama. Saat Li Feng berjalan di jalan setapak menuju ibu kota, bayangan seseorang mengintai dari balik pohon. Sepasang mata penuh niat jahat mengawasi setiap langkahnya. Sebuah suara rendah terdengar di udara. “Jadi… kau benar-benar pergi, bocah?” Sebuah senyum licik terbentuk di wajah pria itu. “Mari kita lihat… apakah kau bisa bertahan.”Di tepi danau yang jernih, di sebuah desa terpencil di pegunungan, seorang bocah lelaki berlari mengejar bola yang terlempar jauh. Ia terjatuh ke tanah, tetapi tawa riangnya bergema di udara yang sejuk. Wajahnya yang polos, masih penuh dengan semangat muda, menatap langit biru yang tak terbatas. Namun, di saat itulah matanya tertumbuk pada sesuatu yang tak biasa di tepi danau. Di sana, tertanam di lumpur yang basah, sebuah benda yang mengeluarkan kilau samar. Li Shen, nama bocah itu, berjongkok dengan penuh rasa penasaran. Ia membersihkan tanah dan lumpur yang menutupi benda tersebut, hingga akhirnya sebuah pedang karat yang usang terungkap. Pedang itu tampak seperti barang tua, penuh dengan karat dan bercak darah yang mengering di sepanjang bilahnya. Meski begitu, ada sesuatu yang aneh pada pedang itu—sebuah aura, yang sepertinya bersifat menantang, membuat Li Shen merasakan getaran halus di tangannya. “Apa ini?” Li Shen berbisik, terkejut dengan penem
Dua tahun telah berlalu sejak pengorbanan Li Feng. Dunia, yang sempat dipenuhi kegelapan dan kebingungan, kini kembali tenang. Tian Yi berdiri di depan gerbang besar Perguruan Naga Langit Baru, menatap langit yang cerah, yang semakin meluas di hadapannya. Sudah menjadi kebiasaan bagi para pendekar untuk datang dan mempelajari ilmu-ilmu kuno yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda dalam dirinya. Ia merasa bahwa meski dunia ini damai, bayangan masa lalu selalu mengikuti langkahnya. "Perjalanan ini belum berakhir, Tian Yi," suara Mei Yue terdengar pelan dari belakangnya. "Kau tahu itu, bukan?" Tian Yi mengangguk pelan, matanya menatap pedang yang tergantung di sisi tubuhnya. Pedang itu, yang dulu milik gurunya, Li Feng, kini ia pegang erat. Pedang Naga Langit, senjata yang memiliki kekuatan luar biasa, tapi juga kutukan yang tak pernah bisa dipisahkan. Kekuatan itu ada dalam genggamannya, tapi kini, ia lebih dari s
Langit yang semula berwarna merah darah kini mulai memudar. Waktu terasa melambat, seperti terperangkap dalam ruang yang tak bisa diukur. Li Feng berdiri di tengah pusaran kegelapan yang mengancam untuk merobek dunia ini. Seiring dengan hembusan angin yang membawa aroma kehancuran, ia menyadari bahwa ini adalah akhir dari segala sesuatu yang pernah ia kenal. Ia sudah jauh melangkah—tak ada jalan kembali. Dalam diam, ia memandang Mei Yue, yang kini berdiri di sisi lainnya, matanya dipenuhi dengan rasa takut dan kehilangan yang dalam. “Li Feng…” Mei Yue memanggil dengan suara tergetar, namun ada keteguhan yang tercermin di baliknya. “Apa kau benar-benar akan melakukan ini? Apa kau benar-benar akan meninggalkan kita semua?” Li Feng menatap Mei Yue, seakan ingin menyampaikan begitu banyak hal dalam satu tatapan. Tapi kata-kata terasa tak cukup. Ia hanya bisa tersenyum, senyuman yang penuh kepedihan. "Aku berjanji untuk mengakhiri ini. Dan itu berarti… aku h
Langit telah berubah warna. Merah darah mengoyak cakrawala, seolah-olah dunia sedang menangis. Asap dan abu beterbangan menari bersama reruntuhan. Jeritan manusia tak lagi terdengar, bukan karena tak ada yang berteriak, tapi karena dunia telah menjadi terlalu sunyi untuk mendengarkannya. Li Feng berdiri di tengah medan pertempuran, tubuhnya berlumur darah, tapi tak semuanya miliknya. Mei Yue di sampingnya, wajahnya tak lagi penuh amarah, tapi… ketakutan. Bukan karena Tian Xuan, bukan karena ribuan iblis yang berdiri di baliknya, tapi karena senyuman di wajah Li Feng yang ia tahu… bukan senyum kemenangan. “Jadi… akhirnya begini, ya?” suara Li Feng nyaris seperti bisikan angin. Mei Yue menggenggam lengan bajunya. “Kau tak harus melakukannya. Kita bisa cari cara lain. Tian Yi, dia masih di sana. Dia belum kalah!” “Bukan tentang kalah atau menang.” Li Feng menatap awan kelam yang bergulung di atas ibu kota. “Ini tentang apa yan
Langit Menyimpan Rahasia Udara malam menyisakan bau darah dan abu. Kota Xiangluan baru saja melewati malam yang sunyi namun mengguncangkan: serangan kelompok bayangan yang memporakporandakan gerbang timur dan menghilang tanpa jejak. Di atas tembok kota, seorang pemuda berselimut mantel hitam berdiri menatap bintang-bintang yang tertutup awan. Angin dingin menampar wajahnya, tapi matanya justru menyala oleh semangat yang sukar dijelaskan. Tian Yi menarik napas panjang. "Sudah sepuluh tahun... dan aku masih belum tahu siapa aku sebenarnya..." Tangannya menggenggam liontin batu giok yang tergantung di lehernya—batu yang dulu ditemukan di samping tubuhnya saat ia terbangun tanpa ingatan, di kaki gunung Qingshan. Sejak saat itu, ia belajar silat di perguruan Gunung Seribu Awan, menjelajahi negeri demi mencari potongan ingatan, dan kini berdiri di hadapan dunia yang dilanda perang dan misteri. Suara langkah ringan
Hari-hari setelah pertempuran di dimensi tanpa waktu itu, Tian Yi mendapati dirinya dalam perjalanan panjang menuju takdir yang tak pernah ia duga. Dalam keheningan malam, ketika angin berhembus dingin dan pemandangan di sekelilingnya tampak kabur, ia berlatih dengan tekun. Langit yang dipenuhi awan tebal seolah menjadi saksi bisu atas kesendirian yang ia rasakan dalam hatinya. Satu lengan yang hilang, menggantungkan beban berat dalam setiap gerakan. Dengan semangat yang tak pernah pudar, Tian Yi berusaha mengatasi kekurangannya. Setiap latihan yang dilakukannya adalah untuk mengisi kekosongan, untuk mengembalikan kehormatan yang telah hilang dalam dirinya. Begitu banyak hal yang masih membebani pikirannya—pedang naga langit, kegelapan yang terus mengintai, dan pertarungan tak berkesudahan dengan bayangan masa lalu. "Tian Yi, apakah kau merasa cukup?" suara Li Feng, yang kini hanya bergema dalam pikirannya, berbisik perlahan. "Hanya dengan satu tangan,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments