Home / Horor / 40 Hari Setelah Kematian Bapak / Bab 7. Rahasia Kamar Bapak

Share

Bab 7. Rahasia Kamar Bapak

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2024-11-28 02:47:21

"To... Long...."

"Aarrkh!! Tidaaak! Bapak ...."

Murni berteriak histeris melihat semua itu terjadi tepat di depan matanya. Lasmi yang sebelumnya sudah pergi, segera berlari cepat untuk kembali ke kamar Murni. Di sana, ia melihat Murni yang menendang-nendang dengan masih berteriak. Namun dengan kedua mata yang tertutup rapat.

"Murni! Murni! Bangun, Murni!" Lasmi menggoyangkan tubuh Murni agar terbangun dari mimpi buruknya.

Segera setelah mata Murni terbuka, ia mendekap tubuh sang ibu dengan sangat erat. "Ibu, Murni takut, Bu."

"Jangan takut, Ibu ada di sini," ucap Lasmi menenangkan.

"Bapak, Bu. Bapak —"

Lasmi menghela napas panjang, meletakkan tangan lembutnya di bahu Murni. "Mungkin kamu hanya lelah, Nak. Sejak Bapakmu pergi, bebanmu bertambah berat. Pikiranmu pasti dipenuhi banyak hal yang membuatmu berhalusinasi."

Murni menelan ludah, merasakan kegetiran di ujung tenggorokannya. "Bu, aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, tapi aku benar-benar melihat Bapak… dalam wujud —pocong."

"Murni, cukup!"

Murni menatap ibunya dalam-dalam, matanya memohon pengertian. "Tapi, Bu, ini bukan sekadar ilusi. Aku merasakan hawa dinginnya, mendengar suaranya, dia... Benar-benar meminta tolong."

Lasmi hanya diam, seakan mencari jawaban di antara kerutan di dahinya. Dalam keheningan itu, Murni merasakan dinding yang seakan semakin mendekat, menekan dirinya dengan rasa frustasi yang menggumpal. Ia tahu, ibunya tak akan mudah percaya.

"Sudahlah, Murni. Jangan biarkan pikiran aneh ini membuatmu takut. Semua sudah berlalu, Bapakmu sudah tenang di alam sana," Lasmi berujar dengan suara pelan namun tegas, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Dengan rasa kecewa, Murni mengangguk. "Baik, Bu," gumamnya, meski dalam hati, ia merasa yakin bahwa yang ia alami lebih dari sekadar mimpi belaka.

Setelah percakapan itu, Murni meminta agar Lasmi menemaninya tidur. Bukan, bukan karena rasa takutnya. Tapi dia ingin meyakinkan dirinya sendiri. Ketika sang ibu sudah terlelap dalam buainya, Murni dengan langkah perlahan meninggalkan kamar. Dengan kaki yang berjinjit, ia berjalan ke dalam kamar bapaknya. Ruangan yang beberapa waktu ini ia hindari sejak pemakaman.

Ia membuka pintu dengan sangat hati-hati, berusaha agar tak menimbulkan suara sedikit pun. Dalam hening, ia membiarkan udara dingin menyergap tubuhnya. Suasana di dalam kamar terasa sunyi, seakan menyimpan sebuah rahasia besar yang tak pernah diketahui oleh siapa pun.

Pandangan Murni menyapu seluruh ruangan. Meja kayu yang biasa digunakan oleh sang ayah untuk bekerja. Kursi goyang yang masih tetap berada di tempatnya, serta tumpukan buku-buku berdebu di rak, dan lemari kayu tua yang tertutup rapat. Namun, ada satu benda yang menarik perhatiannya.

Di sudut rak, ada sebuah buku yang berdiri terpisah dari tumpukan buku lainnya. Sebuah buku tua dengan sampul hitam legam, tergeletak di sana. Murni memicingkan kedua matanya saat melihat buku itu yang tampak usang, berdebu, dan menimbulkan aura aneh yang membuat Murni bergidik ngeri.

"Buku apa ini?" gumamnya.

Dengan tangan bergetar, Murni meraih buku itu dan membuka halaman pertama.

"Raharjo"

Iya, memang itulah yang tertulis di halaman pertama buku tersebut. Tak cukup sampai di situ, Murni kembali membalik halaman kedua.

Murni membalik halaman berikutnya dengan jantung yang berdegup kencang. Tulisan tangan beraksara Jawa memenuhi halaman itu, namun terasa asing dan menyeramkan. Tulisan tersebut tidak hanya sekadar aksara, tapi seolah memiliki daya tarik yang dengan sengaja meminta Murni untuk menyentuhnya.

Ia mendekatkan buku itu ke cahaya lampu, berusaha membaca dengan lebih jelas. Di antara tulisan itu, ia menemukan kata-kata yang membuat bulu kuduknya berdiri:

"Sawijining sukmo kang digadai, bakal tabet marang jagad astral, nganti kuwajiban lunas utawa panggawe dipungkasi."

Murni mencoba memahami artinya dengan pengetahuan bahasa Jawa seadanya:

"Sebuah jiwa yang digadaikan, akan terikat di dunia astral, sampai tanggung jawab terpenuhi atau tugas diselesaikan."

Mata Murni membelalak. Tangannya gemetar hebat hingga hampir menjatuhkan buku itu. “Gadai sukmo?” gumamnya tak percaya. Pikiran-pikiran aneh mulai menyerbu benaknya.

Ia membalik halaman-halaman berikutnya, menemukan lebih banyak mantra dan tulisan yang menjelaskan proses penggadaian jiwa. Salah satu halaman menampilkan diagram tangan manusia dengan simbol-simbol aneh di sekitar telapak tangan, sementara halaman lainnya menjelaskan ritual penggadaian jiwa dengan detail mengerikan.

Di tengah rasa takutnya, Murni terus membaca, hingga tiba pada satu halaman yang membuat napasnya tertahan:

"Panglumpukan sukma bakal kabukti ing wewayangane kang nggolek pitulungan."

"Jiwa yang terikat akan terlihat dalam wujud yang meminta pertolongan."

Kata-kata itu menghantam Murni seperti badai. Ia segera teringat pada sosok bapaknya yang muncul sebagai pocong, memohon bantuan. Tidak mungkin ini kebetulan.

Dengan tangan gemetar, Murni menutup buku itu dan memeluknya erat. Hatinya diliputi ketakutan yang tak tertahankan, namun di saat yang sama, ia merasakan dorongan kuat untuk mencari tahu lebih jauh.

“Bapak… apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak?” bisiknya dengan suara bergetar.

Di dalam kamar Murni, Lasmi terbangun mendadak, merasa ada sesuatu yang ganjil. Ia mengulurkan tangan ke sisi tempat tidur, mencari keberadaan Murni, tapi yang ia temukan hanyalah dinginnya kain seprai.

"Murni?" panggilnya pelan, namun tidak ada jawaban.

Lasmi segera duduk dan melirik jam dinding. Hampir pukul dua pagi. Pikirannya mulai dipenuhi kekhawatiran. Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Langkahnya berhenti sejenak saat matanya tertuju ke arah pintu kamarnya yang sedikit terbuka.

"Apa kamu di dalam sana, Nduk? Ibu sudah bilang, jangan masuk," gumamnya sendiri. "Apa yang kamu cari, Nduk?..." bisik Lasmi dalam hati.

Ketika ia mendorong pintu dengan perlahan, pemandangan di dalam kamar membuatnya tercekat. Murni duduk di lantai dengan buku tua yang terlihat tak asing di matanya. Cahaya lampu redup membuat suasana kamar terasa semakin mencekam.

"Murni!" seru Lasmi.

Murni terlonjak, lalu menoleh dengan mata penuh rasa bersalah dan rasa takut. "Ibu... aku..."

Dengan cepat, Lasmi masuk ke dalam kamar. Sedang dapat terlihat jika tatapannya tertuju pada buku yang ada di tangan Murni. Rasa tidak nyaman menyelimutinya. Iya, Lasmi mengenali buku itu—buku milik suaminya yang selama ini ia anggap hilang.

"Kenapa kamu ada di sini, Murni? Apa yang kamu lakukan dengan buku itu?" Lasmi bertanya dengan suara bergetar, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba saja datang.

"Ibu, aku menemukan ini. Buku ini... sepertinya berisi rahasia tentang Bapak," jawab Murni yang masih terus memeluk buku itu erat-erat.

"Bawa sini!" sentak Lasmi.

Lasmi meraih buku itu dengan paksa, membukanya, dan membaca sekilas halaman yang telah dilihat Murni. Wajahnya memucat, tangannya gemetar hebat saat menyadari isi dari tulisan-tulisan itu.

"Ibu ...." Murni mencoba untuk berdiri saat melihat tubuh sang ibu sedikit gontai.

"Murni ...." lirihnya.

"Buku ini tidak seharusnya kamu baca!" bentaknya, lalu buru-buru menutup buku tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (50)
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
jiwa siapa yg sudah di gadaikan dgn oleh Raharjo n Lasmi
goodnovel comment avatar
Dessy Poetry
hah penggadaian Sukma apakah itu suatu pesugihan ya ......
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
fiks ada yg disembunyikan Bu lasmi.. gasalah lagi coba aja pelajari buku itu, keknya bakal ada petunjuk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status