Share

Bab 6. Pikiran Kalut

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-21 12:05:34

Murni duduk di tepi tempat tidur, pandangannya kosong menatap ke arah jendela yang tersibak. Bayangan tentang pria tua di pemakaman, kata-katanya yang samar, dan sosok arwah Raharjo yang hadir dalam keheningan malam itu seolah terus menghantui pikirannya. Bulan di langit memancarkan cahaya yang sayu, sinarnya memudar di balik tirai yang bergerak pelan ditiup angin malam. Sunyi, begitu mencekam, hingga setiap detak jantung Murni terdengar dalam dada.

"Mungkinkah Bapak belum pergi…?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kesunyian.

Namun tiba-tiba, suara ketukan halus terdengar, datang dari balik dinding di samping tempat tidurnya. Suara itu mengetuk pelan, seolah mengetuk batinnya yang diliputi rasa takut. Murni menggigit bibirnya, berharap suara itu hanyalah ilusi. Ia menutup matanya rapat-rapat, menahan napas, tetapi ketukan itu semakin keras, membuatnya tak mampu mengabaikannya lagi.

Tok... tok... tok...

Hawa dingin merayap di tengkuknya, membuat bulu kuduknya meremang. Perlahan, ia membuka matanya, menatap ke arah dinding dengan perasaan tak karuan. Tubuhnya bergetar, takut bercampur penasaran. Ia tahu, sesuatu yang ganjil sedang terjadi, namun ketakutan menahannya untuk bergerak.

Tok... tok... tok...

Suara itu berpindah, kini berasal dari pintu kamarnya. Suara ketukan terdengar makin jelas, seolah ada yang mengetuk dari sisi lain. Jantung Murni berdegup kencang, tetapi tubuhnya seakan terpaku di tempat. Ia hanya bisa memandang ke arah pintu, dengan tubuh menggigil.

Lalu, tiba-tiba gagang pintu berputar perlahan, terdengar bunyi klik pelan yang memecah keheningan. Pintu itu terbuka, menampakkan ruang tamu yang gelap dan kosong, namun terasa dingin seperti mengundang kehadiran yang tak kasat mata.

Tidak ada siapa pun di sana. Hanya bayangan hitam pekat yang mengisi setiap sudut ruangan.

Dengan tangan gemetar, Murni bangkit dari tempat tidur, langkahnya tertahan saat ia mendekati pintu. Hawa dingin yang tak biasa menyelimuti tubuhnya, membuat setiap helaan napasnya terasa berat. Pandangannya menyapu ruangan yang kosong, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya halusinasi.

Namun, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu di sudut ruangan. Di ujung ruang tamu yang gelap, sebuah bayangan putih berdiri kaku, sosok yang begitu tinggi dengan kain kafan yang menjuntai ke lantai. Wajahnya pucat, matanya kosong, menatap lurus ke arahnya.

“Bapak...” Suara Murni hampir tercekik dalam tenggorokannya. Tubuhnya bergetar, darahnya seolah membeku. Pocong itu berdiri tak bergerak, hanya menatapnya dalam keheningan yang menyesakkan. Wajahnya pucat dengan lingkar mata gelap yang tampak dalam dan kosong, seolah mengintip ke dalam jiwa Murni.

"Ba-Bapak…?" panggilnya sekali lagi, setengah tak percaya pada apa yang ia lihat. Pocong itu tak menjawab, tetapi tatapannya terasa mengikat, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan namun tertahan di ujung lidah.

Tanpa sadar, Murni mundur selangkah, tubuhnya limbung. Namun sosok itu maju, melangkah perlahan, kaku, dan pasti. Setiap langkahnya terdengar begitu hampa, disertai suara gesekan kain kafan yang menciptakan gemerisik lirih namun menakutkan. Murni terdiam, matanya membesar saat pocong itu semakin mendekat, hingga jaraknya hanya beberapa langkah darinya.

Pocong itu membuka mulutnya, perlahan, seolah hendak mengucapkan sesuatu. Bibirnya kaku, namun dari celah mulutnya, terdengar sebuah suara serak yang nyaris tak terdengar. "To... long..." katanya perlahan, suara yang terputus-putus, seperti berasal dari dunia yang berbeda.

Murni mencengkeram dadanya, perasaannya bergolak, ketakutan dan kesedihan bercampur menjadi satu. Ia tahu, ini bukan sekadar teror biasa. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan hampa pocong itu, seolah-olah arwah ayahnya masih terjebak di antara kehidupan dan kematian, tak bisa melangkah maju.

“Bapak, apa yang bisa Murni lakukan?” lirihnya, nyaris terisak, meskipun ia tahu bahwa tak ada jawaban yang mungkin ia dapatkan. Namun sosok itu hanya menatapnya, matanya penuh dengan duka yang dalam, memancarkan pesan yang tak terucap.

Seketika, sosok itu menghilang, lenyap begitu saja di depan Murni, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi, seolah-olah segala kehadiran itu hanya ilusi.

Murni memandang ke sekeliling ruangan dengan mata yang masih terbuka lebar, berusaha mencari bayangan terakhir dari ayahnya. Namun, tak ada apa pun di sana. Hanya kehampaan yang merayap dalam kesunyian, meninggalkan rasa dingin di hatinya.

“Apa yang terjadi dengan Bapak?” gumamnya, setengah kepada dirinya sendiri. Pikirannya berkecamuk, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang membelenggu jiwanya, memaksa untuk terus menatap ke kegelapan.

Murni terdorong untuk menuju kamar ibunya, ingin membangunkannya, ingin menceritakan segala yang ia alami. Namun, rasa ragu menahan langkahnya. Pikirannya kembali teringat pria tua di pemakaman, yang memperingatkannya tentang arwah Raharjo yang tersesat di antara dua dunia.

Dengan langkah gontai, Murni kembali ke kamar, membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Namun, matanya tetap terbuka lebar, waspada, takut kejadian yang sama akan terulang. Setiap desiran angin yang masuk melalui celah jendela terdengar seperti bisikan halus yang menakutkan, membuatnya menggigil.

Srak... Srak... Srak...

Kali ini bukan lagi suara ketukan, melainkan suara guratan yang lebih mirip seperti kuku yang sedang menggaruk dari lantai di bawah tempat tidurnya. Murni menahan napas, memejamkan mata sejenak. Ketukan itu semakin keras, hingga tak mungkin lagi diabaikan.

Ia mengintip dari balik selimut, tubuhnya gemetar hebat. Dengan penuh keberanian, ia menurunkan kakinya ke lantai, membiarkan dingin merambat ke kulitnya. Perlahan-lahan, ia menundukkan kepala, mencoba mencari sumber ketukan di bawah tempat tidurnya.

Namun, tak ada apa-apa di sana. Hanya keheningan yang semakin pekat dan suara jantungnya yang berdetak tak karuan.

"Murni?" Suara ibunya terdengar dari kamar sebelah, membuat Murni tersentak kaget.

Dengan cepat, ia melangkah ke arah pintu kamar ibunya, membuka pintu dengan tangan yang gemetar. Di sana, Lasmi berdiri dengan wajah yang tampak cemas.

"Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur?" Lasmi bertanya, suaranya lembut, berusaha menenangkan Murni yang tampak ketakutan.

Murni hanya memandang ibunya, ingin mengatakan segalanya, tentang pocong yang terus mengikutinya, tentang sosok ayahnya yang seolah terjebak di antara dua dunia. Namun bibirnya terasa kaku, tertahan oleh rasa takut dan bingung. Ia tak ingin menambah beban ibunya yang jelas-jelas sudah begitu letih.

"Enggak ada apa-apa, Bu. Murni cuma enggak bisa tidur," jawabnya singkat, memaksakan senyum yang terlihat pucat.

Lasmi menariknya ke dalam pelukan, mengusap kepala Murni dengan lembut. "Kamu harus istirahat, Nak. Jangan biarkan pikiranmu bermain-main dengan hal-hal yang tak perlu," bisiknya lembut.

Murni menutup matanya, mencoba menenangkan diri di pelukan ibunya. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa apa yang ia alami bukanlah sekadar mimpi atau ilusi. Ada sesuatu yang nyata dan mengerikan, yang tengah mengintai keluarganya dalam kegelapan.

Setelah memastikan Murni kembali berbaring, Lasmi pun kembali ke kamarnya. Namun saat Murni hampir memejamkan mata, ketukan itu kembali terdengar, kali ini semakin keras dan penuh desakan.

Kriiieet...

Pintu kamarnya perlahan terbuka, menampakkan sosok pocong yang sama, dengan mata kosong yang menatapnya dalam kegelapan. Tubuh Murni membeku, rasa takut merayap hingga ke dalam tulang sumsum. Pocong itu mengulangi kata-kata yang sama dengan suara yang bergetar.

“To...long.. “

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (52)
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
pocong ga tau tempat ya datangnya ... untung murni ga pingsan ditempat
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
Jd hawatir lama lama kesehatan murni bisa menurun Krn kurang istirahat, digangguin Mulu sm bapaknya tp mungkin Krn murni anak kesayangan Raharjo makanya murni yg dimintai tolong dan yg bisa menolong
goodnovel comment avatar
Al-rayan Sandi Sya
banyak rahasia yg di simpan Lasmi kayaknya yah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 141. Mengawasi dan Menunggu

    Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 140. Rasuk

    Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status