Share

Berantem

"Hebatnya, dia bisa buat gue benci dan jatuh cinta di saat yang bersamaan."

-Anara Emiley

***

Anara melamun dari tadi karena Daver terlalu lama membuatnya menunggu. Ia memainkan dedaunan yang jatuh dari pohon. Merobeknya hingga kepingan terkecil.

Anara memandang jam tangannya berulang kali. Sudah sepuluh menit ia menunggu. Mungkin terdengar sebentar, tetapi itu lama bagi Anara.

"Ra!"

Anara menoleh. Akhirnya yang ditunggu datang juga.

"Lama banget." Anara bete. Wajahnya sudah kusut dari tadi.

"Tadi ada tambahan kelas. Sorry, ya." Daver merapikan rambutnya yang berkeringat.

Anara bertanya langsung, "Kenapa?"

Daver menatap Anara sebentar. Lalu terdiam. Anara yang menyadari itu jadi salah tingkah. Anara memang sensitif jika ditatap oleh Daver.

"Soal yang kemarin.."

Oh, Anara benci dengan pembahasan itu.

Daver melanjutkan ucapannya setelah memberi jeda. "Ya, gue cuma mau bilang aja. Jangan sedih. Walaupun muka lo selalu seneng di sekolah, jutek juga, sih. Tapi lo keliatan bahagia di sekolah. Padahal gue tau apa yang lo rasain."

Anara tertegun saat menyadari bahwa Daver benar-benar mengatakan itu. Cowok yang selengehan ntah bagaimana bisa jadi seserius ini.

Hal yang tidak Anara sangka selanjutnya adalah, Daver memegang pundaknya. "Lo gak sendirian, Ra."

Anara menyipitkan matanya bingung. "Maksudnya?"

Wajah Daver serius. Tidak ada raut canda di sana. "Gue juga ngerasain yang sama kayak lo. Bahkan gue lebih parah."

"Bokap nyokap cerai. Gue tinggal di apartemen sendiri. Mereka gak mau nerima gue di tempat tinggal mereka masing-masing. Mereka biayain semua biaya hidup gue pas, bahkan lebih,

"Tapi uang gak ada artinya dibanding kasih sayang orangtua. Orangtua gue bahkan ngebenci gue. Bokap ngajuin gugatan cerai karena dia tau kalo gue adalah anak haram. Sedangkan nyokap, dia jadi benci gue karena gue, mereka cerai."

Daver tidak menunjukkan kesedihannya. Namun, Anara dapat merasakan seberapa berat yang sudah dilalui sahabatnya ini.

Anara merasa tidak enak karena mengetahui itu semua. "I'm sorry to hear that."

Daver tersenyum. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "No, it's okay. Gue emang mau ceritain ini semua. Biar lo tau, ada yang lebih menyedihkan dari segala yang udah lo alamin."

"Gue sahabat lo, Ra. Gue gak mau liat lo murung. Sekarang, setelah tau keadaan lo, gue jadi makin peka kalo raut wajah lo gak seperti biasanya," ucap Daver melanjuti perkataannya.

Jika benar Daver peka, ia akan menyadari mata Anara yang berbinar sekarang. "Iya, sahabat." Anara tersenyum.

Kalo peka, pasti lo tau perasaan gue, batin Anara.

"Can I?" tanya Daver.

Belum juga menjawab, Anara semakin dibuat kaget saat Daver menarik dirinya ke dalam pelukannya dengan lembut. Ia mengelus puncak kepala Anara.

"We have a broken home. Itu tandanya kita beruntung. Kita dapet sesuatu yang berbeda dari yang seharusnya."

Daver punya alasan melakukan ini. Baginya, ini adalah hal berat yang harus dilalui. Bahkan hati orang yang kuat pun akan runtuh juga bila melihat kedua orangtua mereka tidak harmonis.

Anara adalah sahabatnya. Ia seorang perempuan, yang notabene-nya memiliki hati yang lebih lembut. Jika Daver aja sangat sakit hati melihat keluarganya, bagaimana Anara?

Meskipun Daver tidak memiliki perasaan kepada Anara, ia tidak masalah apabila mendampingi Anara untuk melalui ini semua.

Anara meneteskan air matanya. Pertama, dikarenakan ucapan Daver yang menyentuh hatinya secara langsung. Dan yang kedua, ini adalah pertama kali Daver memeluknya.

Menyadari tidak ada respons dari Anara, Daver melepas dekapannya. Matanya fokus menatap manik Anara.

"Kok, nangis?" Daver mengerutkan dahinya bingung. Ia memandang Anara khawatir. "Kan, gue bilang, jangan sedih."

Anara menggeleng. Ia menghapus air mata yang mengalir di pipinya. "Lo gak seharusnya ngelakuin ini."

Daver bingung.

"You hurt me." Anara menatap Daver. Namun, ia semakin sakit hati. Ia cepat-cepat menunduk. Kemudian, air mata Anara terus turun. Mendadak tidak bisa ia tahan.

"Ra, kenapa?" Daver meninggikan nada bicaranya. Ia tidak tahu mengapa Anara tiba-tiba menangis.

Anara hanya kesal dengan Daver. Ia tahu, tujuan Daver memang baik. Tapi menurut Anara, tanpa disadari, Daver menyakitinya lebih dalam lagi.

Anara mencintai Daver. Sedangkan Daver tidak. Tapi kenapa laki-laki itu seperti mencoba untuk terus di sisinya?

Anara tidak perlu Daver untuk mendampinginya di tengah masalah-masalah yang ada. Walaupun senang, Anara menyesal karena menerima pelukan Daver.

Karena Anara sadar. Ia semakin berharap, sedangkan Daver melakukannya tanpa perasaan.

Hal mengejutkan membuat Anara menganga. Alvano datang tiba-tiba dan langsung menghadiahkan Daver sebuah tinjuan.

"BANGSAT! LO BIKIN ANARA NANGIS LAGI!" Alvano tidak henti-hentinya menghajar Daver. Cowok itu tidak diberi kesempatan untuk bernapas.

Karena tidak terima, Daver menarik keras tangan Alvano yang hampir meninjunya lagi. Ia bangun, lalu mendorong Alvano hingga tersungkur ke tanah. Ia memutarbalikan keadaan. Kini, tangannya terus meninju rahang Alvano.

"LO GAK TAU APA-APA, TOLOL!" balas Daver penuh dengan emosi.

Anara berlari dan menarik tangan Daver sekuat tenaga. Meskipun seharusnya Anara sadar bahwa kekuatannya tidak ada artinya bagi Daver. "Alvano, Daver, berhenti! Kalian apa-apaan, sih, kayak orang gila tau, gak?!"

Anara tidak berhenti untuk terus berteriak dan berusaha memberhentikan mereka. Namun, nihil. Anara tidak didengar.

Daver masih di hawa panas. Ia menepis tangan Anara dan langsung menarik kerah Alvano. Namun, pada saat itu, Alvano menendang perut Daver.

"ALVANO!" teriak Anara sangat keras. Hingga mengundang pandangan dari beberapa murid yang kebetulan melewati halaman belakang sekolah.

"LO BIKIN ANARA NANGIS, SIALAN! BISA GAK HIDUP LO DIPAKAI BUAT BAHAGIAIN ORANG?!"

Kekuatannya kembali terkumpul saat mendengar itu. Daver masih bisa menahan rasa sakitnya. Ia kembali berdiri setelah terjatuh tadi. Ia menarik bahu Alvano dan menendang perut cowok itu dengan lututnya berkali-kali.

"LO SIAPANYA ANARA, BAJINGAN? HAK LO APA?!" Daver teriak di depan wajah Alvano.

Setelah puas, Alvano didorongnya hingga terduduk di tanah. Darah mengucur dari sudut bibir Daver. Namun, Alvano terlihat sangat lemah.

"DAVER, LO GILA?!" Anara menangis. Ia mendekati Alvano, lalu berjongkok di hadapannya.

"DATENG-DATENG NYARI RIBUT! LO CUMA ANJING YANG GAK TAU APA-APA!" seru Daver. Kerah seragamnya sudah terangkat. Wajahnya kacau lebam. Pelipisnya berdarah. Ujung bibirnya juga.

Seketika mereka bertiga menjadi pusat perhatian. Rino, Evan, Ander, dan Fara datang begitu mendengar berita bahwa ada perkelahian di sini. Sayangnya, mereka telat. Keduanya sudah babak belur.

Rino berlari mendekati Daver lalu menarik cowok itu agar tidak berkesempatan untuk menghajar Alvano lagi. "Udah, Dav. Udah!"

Seakan tidak mendengar Rino, Daver hendak maju. "DAVER UDAH! Gak denger gue bilang apa?!" bentak Rino. "Cukup! Apa lo belom puas?"

Biar tidak tahu ada apa, yang terpenting Rino harus menahannya sekarang.

"Ada apa, sih, Ra?" tanya Fara menghampiri Anara. Tapi tidak ditanggapi oleh cewek itu. Anara malah terus menangis melihat Alvano yang terlihat tidak kuasa menahan sakitnya.

Ander mendekati Alvano. Ia membantu cowok itu untuk berdiri. Mereka berjalan menuju UKS.

Tentu hal itu tidak disenangi Daver. "Lo sahabat siapa?!" bentaknya.

"Jangan egois dulu," singkat Ander. Ia membawa Alvano pergi dari sana. Daripada Alvano terus berada di sana, bisa-bisa makin hancur di tangan Daver.

"Ada apa, Ra?" Fara kembali bertanya dengan nada memaksa. Kemudian, Anara berdiri menghadapnya.

"EMANG BANGSAT ITU ORANG! DATENG-DATENG NYARI RIBUT! OTAK LO DI MANA, ANJING?!" Baru saja mau menjawab Fara, Anara menjadi bungkam karena ucapan Daver. Cowok itu meneriaki Alvano yang sedang dibopong Ander.

"Lo tau gak, lo jadi pusat perhatian sekarang?! Gak bisa diem dulu?" tanya Rino dengan nada sewot. "Gue tau lo emosi. Tapi lo harus bisa kendaliin itu, Dav!"

"Ra, jawab, ish!" paksa Fara lagi. Anara jadi makin stress dibuatnya.

Anara menghela napas yang dari tadi tertahan. "Gue lagi ngobrol berdua sama Daver. Tiba-tiba Alvano dateng, terus ngehajar Daver. Gue gak ngerti kenapa dia kayak gitu, Far," kata Anara menjelaskan.

"Kata dia, lo nangis. Kenapa lo nangis? Daver apain lo?" Fara menatap Anara khawatir. Ntah, Anara tidak tahu, Fara lebih khawatir dengannya atau dengan Daver.

Daver langsung melihat Anara. Ia juga tidak tahu alasan Anara tiba-tiba menangis. Tapi cewek itu tidak menjawab apa-apa.

"Lagian lo aneh-aneh aja, sih, Dav! Udah tau Alvano suka sama Anara. Lo gak seharusnya deket-deket sama Anara," mata Fara menatap Daver dengan sinis dan kesal.

Anara tahu apa maksud Fara mengatakan itu. Fara hanya cemburu. Namun, menjadikan Alvano sebagai alasannya.

"Diem lo," sentak Daver membuat Fara kaget. Anara pun sama kagetnya. Daver tidak pernah begini sebelumnya.

"Jadi dia kesel, gue deket sama Anara?" Daver mengangkat alisnya. Ia menyadari suatu fakta baru. "Alvano suka sama lo ternyata, Ra?"

Anara menggeleng. "Gak tau. Enggak, kayaknya. Gak mungkin lagian."

"Emang cowok playboy kayak dia bisa jagain lo?" Daver tertawa meremehkan. "Gak mungkin. Lo gak boleh deket sama dia."

"Kenapa?" sela Fara bertanya.

"Karena gue gak mau sahabat gue jatuh di tangan cowok yang salah," ucap Daver santai. Kalau tidak dosa, Anara ingin merauk wajah Daver sekarang juga dan menendang cowok itu ke lautan Afrika.

Evan maju. Ia mengangkat alisnya heran. "Kenapa, dah, lo seposesif itu sama sahabat?"

Seketika Daver diam. Tatapannya terlihat kosong. Jujur, Daver sendiri tidak tahu apa alasannya.

"Emang lo mau sahabat lo pacaran sama playboy?" balas Daver pada akhirnya. Ia lega bisa mendapatkan jawaban.

"Enggak, sih. Tapi Alvano gak seburuk itu kali," jawab Evan. Memang benar. Alvano pernah playboy, tapi berita itu terkenal dua tahun lalu. Kalau sekarang, katanya Alvano sudah tobat.

"Suka, ya, lo sama Anara?" Rino keluar jahilnya. Kemudian ia tertawa. Evan yang orangnya receh jadi ketawa. Padahal tidak lucu.

"Apa, sih? Udah dibilang, Anara, kan, sahabat gue," ucap Daver. Tidak tahu, ya, dari tadi Anara sudah sangat kesal dengan kalimat itu?

Anara mau nangis rasanya. Daver terus mengulang kata itu. Padahal itu lah permasalahannya. "Karena kita cuma sahabat, makanya gue gak mau lo lindungin! Gue bisa lindungin diri gue sendiri!"

Fara melihat Anara. Ia mengerti maksud sahabatnya itu. "Terus maunya apa, Ra? Lo mengharapkan lebih?"

Anara diam begitu mendapat pertanyaan seperti itu. Seketika ia baru sadar bahwa ucapannya terlalu frontal dan di luar pengertiannya sendiri.

Daver membentuk 'o' mulutnya diam-diam. Tapi itu sempat dilihat Anara. Sungguh, Anara mengutuk dirinya yang tidak bisa menahan emosi.

"Terus lo maunya apa? Emang salah, ya, kalo kita sahabatan?" nada Daver lembut. Namun, Anara tidak senang mendengarnya.

Tempo napas Anara berubah menjadi cepat. Ia menahan tangisnya. "Berisik banget, sih, lo dari tadi? Terus kalo gue sahabat lo, emang kenapa? Dan kalo gue sahabat lo, lo bisa ngatur gue seenaknya? Emang lo berhak nentuin gue boleh deket sama siapa?" kemarahan Anara berlanjut.

"Gue cuma mau lo tau, Ra. Alvano doesn't deserve you! Gue tau lo suka sama Al—"

"Enggak!" Anara menggepal tangannya kesal. "Jangan sok tau jadi orang! Lo gak peka atau tolol, sih?"

"Lo kenapa, sih, Ra? Jadi marah-marah gini ke Daver. Lo maunya apa?" Fara menyahut dengan wajah yang sangat menyebalkan bagi Anara.

"Apa, sih? Kenapa lo jadi ikutan?" balas Anara tak kalah menyebalkan.

"Gue ngerti maksud Anara, kok," ucap Evan. Ia tahu bahwa Daver terlalu bersikap jauh pada Anara. Padahal Daver tidak menyukai Anara.

"Fara, lo geblek, ya. Anara itu suka sa—"

Anara menyela Rino dengan cepat. "Diem lo, geblek!"

Rino hampir membocorkan rahasianya. Bahkan Anara tidak sempat berpikir dari mana Rino mengetahuinya.

Anara masih kesal. Tapi Daver malah memandangnya lucu. Laki-laki itu tertawa. "Hahahaha, apa, sih, Ra? Marah-marah terus. Mending lo obatin luka gue."

"Enggak." tolak Anara mentah-mentah. Jauh dari lubuk hatinya, Anara sangat khawatir dan sangat mau mengobati lebam cowok itu.

"Lo gak mau tanggung jawab nih?" Daver menunjuk lebam di pipinya. Juga darah yang mengucur perlahan dari pelipis dan ujung bibirnya.

"Kalo Anara gak mau, biar gue aja, Dav." Fara mendekat. Namun, tangan Daver mengisyaratkan agar ia diam di tempat.

Fara memandangnya sinis. Kenapa Daver jadi begini?

Dan Daver pun tidak menyadari akan perubahan kecilnya.

Anara melihat Fara, lalu kembali melihat Daver yang mendekat kepadanya. "Ayo ke UKS."

"Kok, maksa?" tanya Anara. Evan dan Rino cekikikan di ujung sana. Mereka berbicara gengsi banget lo dengan tanpa suara. Anara membalas dengan melotot.

"Eh, lupa. Di UKS, kan, ada Alvano." Daver menepuk jidatnya. "Ya udah, di apartemen gue aja deh."

Hati Fara semakin panas. Sedangkan dua mahkluk yang selalu menempel —Rino dan Evan, bersorak menjahili keduanya.

"UHUUUUY!"

"Gak usah nolak, Ra. Tanggung jawab tuh si Daver ampe bonyok gitu demi lo."

Kalau dipikir, memang benar. Anara harus mengobati Daver karena Anara lah alasan keduanya berkelahi.

"CIAAAA!" cicit Evan lagi.

"Apa, sih." Daver tertawa singkat. "Gue duluan sama Anara."

Tanpa seijin Anara, Daver menarik tangannya. Bagaimana Anara mau menolak jika hatinya memaksa? Akhirnya, Anara ikut ke mana Daver membawanya pergi. Lagian, Anara tidak mau egois. Ini juga salahnya.

"Cie, panas," ledek Evan membuat Fara menendang tulang keringnya. Perempuan itu langsung meninggalkan mereka. "AUCH!"

"Ih, manja banget aw-nya lo!" Rino meneloyor kepala Evan.

"Biar manja," balas Evan. Mendadak bulu kuduk Rino bangun karena mendengarnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status