Mag-log in"Morning kiss. Utang yang harus kamu bayar lunas sebelum keluar dari apartemen saya." Meira mengira pertemuan itu hanya kesepakatan gila yang terjadi satu kali saja, cukup memberikan satu kecupan manis masalah terselesaikan. Namun, kenyataan seakan menampar realita. Meira justru dipertemukan kembali dengan pria itu yang kini berstatus sebagai dosen pengganti di kampus ia belajar. Akankah asmara penuh cinta di bawah meja kampus sampai pada titik paling membara? Atau justru berakhir duka untuk cinta yang penuh rahasia?
view moreSore hari, saat matahari mulai terbenam dan awan jingga mulai menguasai seluruhn langit, suasana rumah mendadak ramai. Apakah ada penjamuan khusus malam ini?
"Ada acara apa, Bik? Kok banyak bunga? Rumah juga, siapa yang bikin dekorasi kaya gini?" tanya Meira setelah menghabiskan waktu tidur sampai jam 5 sore. "Non Meira lupa? Hari ini, 'kan acara pertunangan Non Meira dan Mas Rangga," balas sang asisten rumah tangga. Pertunangan? Ia tidak memiliki kekasih, juga tidak ada pria yang terang-terangan ingin melamar dirinya. Tunggu dulu, Rangga? Bukankah itu .... "Bibi pamit ke belakang dulu, Non." Meira masih terdiam. Ia bak patung yang berdiri tegak dengan pandangan kosong ke depan melihat seisi rumahnya sudah dihiasi berbagai bunga indah. "Sayang, kenapa malah melamun di sini? Mandi sana, pakai baju yang kemarin Mama beli," ujar sang Ibu menghampiri. Meira menoleh. Tersadar karena ada yang tidak beres. Ia menatap wanita di depannya dengan kerutan di kening. "Ini maksudnya apa, Ma? Meira nggak ngerti." "Sayang ... kemarin, 'kan Mama udah bilang hari ini kita kedatangan tamu spesial. Sekarang kamu ganti baju, ya? Mama nggak mau Papa marah karena kamu menolak keinginannya," jelas wanita itu. Meira menatap tidak percaya pada sang Ibu. "Ma, sejak kapan Meira setuju sama pertunangan ini?" "Sayang .... " Perempuan itu menggelengkan kuat. "Nggak, Ma. Meira tetap nggak setuju. Meira nggak mau nikah karena perjodohan." Namun, saat perdebatan kecil berlangsung, tiba-tiba sang Ayah, Tama datang. Pria itu berdiri di antara istri dan anaknya dengan rahang tegas dan sorot mata tajam. "Ganti pakaian kamu. Sebentar lagi tamu datang," perintah Tama tidak bisa diganggu gugat. Meira pun menjawab, "Papa nggak bisa maksa Meira kaya gini. Meira nggak mau dijodohkan, Pa!" "Kenapa kamu sulit sekali diatur, Meira? Tinggal menurut saja apa susahnya?" tegas Tama kepada putrinya. Wanita setengah tua itu pun menegur, "Pa, sudah. Jangan bertengkar seperti ini." Meira membuang wajah ke arah lain. Ia menatap kedua orang tuanya secara bergantian, kemudian memutuskan pergi meninggalkan rumah. Tidak peduli dengan acara yang akan berlangsung tersebut. "Meira, kembali kamu!" teriak Tama sudah di puncak emosi. Sedangkan Meira terus berjalan, meski di belakang sana sudah mulai terdengar keributan. Langkahnya tetap tegas, pergi dengan mengendari mobil pribadi menuju tepat kerja sahabatnya. - Shell's Bakery "Kenapa lagi, Mei? Ganggu orang kerja aja," kata Shelly menyadari keberadaan Meira. Perempuan itu tengah fokus memanggang kue buatannya. Meira duduk dengan lesu, lalu menopang dagu dengan kedua tangannya di atas meja. Terdengar helaan napas berat di sana. "Aku kabur dari rumah, Shell." Shelly menatap sebentar, fokusnya kembali pada oven. "Memang kamu bisa kabur jauh? Paling sebentar lagi bodyguard Ayah kamu datang ke sini." Mendengar hal itu membuat Meira langsung menunduk lesu. Shelly benar, tidak ada yang bisa ia lakukan karena setiap pergerakannya selalu diawasi oleh orang suruhan Tama. Benar-benar menyebalkan. "Kalau gitu, bantu aku kabur ke luar negeri, Shell. Ke Korea, Jepang atau Cina? Ke mana aja asalkan jauh dari Indonesia," kata Meira dengan keyakinannya. "Jangan ngaco, Mei. Hidup di luar negeri nggak seenak yang kamu bayangkan." Meira lantas memasang wajah putus asa. "Terus gimana, Shell? Kalau aku nggak kabur jauh, hari ini harus tunangan sama anaknya teman Papa." "Tunangan?" Shelly membeo. "Bukannya kamu udah nolak?" "Kaget, 'kan? Aku juga sama. Bayangin, kamu ada di posisi aku, Shell. Nikah sama orang yang nggak kita cinta, jadi apa nanti rumah tangga aku setelah nikah?" kata Meira terdengar sangat dramatis. "Kenapa nggak dicoba dulu, Mei? Kan baru tunangan, belum sampai tahap pernikahan. Siapa tau calon suami kamu itu baik. Kalau nggak cocok kalian bisa batalkan acara pernikahannya," balas Shelly memberi saran. "Papa bukan orang sembarangan. Kamu tau itu," lirih Meira pusing sendiri. Tidak lama, terdengar suara pintu dibuka. Dua orang dengan perawakan tinggi memakai baju hitam datang membuat jantung Meira dan Shelly berdegup kencang. "Sial, aku harus buru-buru kabur." Meira berkata pelan. Ia mengambil kunci toko milik Shell's Bakery yang tergeletak di atas meja. "Demi hidup dan mati, Shell." Tepat saat kedua pria itu melangkah maju, Meira dengan sigap melempar kursi yang tadi sempat di dudukinya dan berlari kencang, kemudian mengunci pintu dari luar. Namun, bodohnya Meira lupa membawa kunci mobil. Singa buas yang menunggu di dalam kendaraan roda empat dengan para bodyguard tadi terlihat hendak menghadang. Ia jelas panik. Secepat kilat dirinya menyeberangi jelan dan memasuki mobil pria asing yang baru saja keluar dari minimarket. "Bantu, saya, Mas." Meira duduk di kursi penumpang dengan napas tidak beraturan. Jelas pria itu tidak mengerti maksud perempuan di sampingnya. Datang tanpa permisi dan meminta bantuan secara tiba-tiba. "Saya mohon, Mas." Kedua bola mata Meira terlihat sangat gusar. Beberapa kali perempuan itu menatap ke depan seperti orang ketakutan. "Jalan, Mas. Cepat!" katanya terdengar seperti berteriak. Damian yang tidak tahu apa-apa lantas kebingungan. Ia bahkan tidak mengenal perempuan yang tidak memiliki sopan santun tersebut. Namun, setelah melihat ada sosok pria yang sudah berdiri di depan mobilnya ia baru menyadari bahwa perempuan asing itu sedang terancam. "Mas, cepat! Putar balik!" perintah Meira menatap penuh dengan sorot mata panik setengah mati. Pria itu menurut, membawa Meira pergi dengan helaan napas lega dari perempuan di sampingnya. "Siapa yang barusan ngejar kamu?" tanyanya menoleh sebentar. "Orang gila," celetuknya. Meira sedikit mencondongkan tubuhnya ke samping. "Mas, saya boleh nggak ikut Mas pulang?" Pria dengan rahang tegas itu tersentak. Menatap perempuan aneh di sampingnya dengan mata setengah membulat. Bukankah dia sendiri yang gila? Pikirnya.Pukul 8 malam.Malam itu hujan turun dengan rintik kecil, menciptakan bayangan tajam di jalanan basah. Lampu-lampu taman menyala redup, sedangkan mobil Damian berhenti dipekarangan besar milik keluarga Meira.Keduanya kompak turun dari mobil. Damian menuntun Meira dan menjadikan tangannya sebagai payung, lalu jalan beriringan menuju pintu utama. Menekan bel rumah dengan sopan.Pintu itu kemudian terbuka, menampilkan Tama dengan tatapan dingin yang mampu membekukan udara. Pria itu memang sudah menunggu sang anak pulang sedari tadi. "Silakan masuk," katanya tanpa senyum.Damian melangkah masuk dengan kepala sedikit menunduk sebagai tanda hormat, hal itu diikuti Meira di belakang sana. Di depan sana, tepat di sofa ruang tamu berwarna putih ia melihat sang Ibu tengah duduk dengan wajah cemas, tetapi berusaha tenang. "Papa sudah tahu semuanya," kata Tama membuka percakapan. Meira memainkan jari-jemarinya di bawah sana, gelisah tiba-tiba menyerang. Ia tahu karena tidak mungkin Ayahnya di
Ruang CEO. Damian masuk ke dalam ruangan dengan muka datarnya. Di sana terlihat sang Ayah tengah berdiri tegak menghadap ke luar jendela besar dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. "Putuskan hubungan kamu dengan perempuan itu," tegas Tristan langsung membalikkan badannya. Keduanya saling beradu tatap. Ruang ber-AC rupanya tidak bisa menyejukkan suasana hati sang Ayah. Sorot mata tajam penuh peringatan itu jelas terpancar di sana. "Reputasi perusahaan itu penting. Seharusnya kamu tau itu, Damian. Kalau kamu terus keras kepala, Ayah nggak bisa menjamin kenaikan jabatanmu."Damian pun protes dengan cepat. "Yah!"Tristan memutus kontak mata dan berjalan ke arah meja kerja, lalu memegang sebuah map hitam yang di dalamnya sudah dihiasi foto Damian dan Meira, lengkap dari mereka di kampus hingga bermalam di apartemen. "Jelaskan. Bagaimana kamu bisa menyelesaikan ini semua?!" Pria itu melemparnya di atas meja.Ia lantas membisu. Menatap foto itu dengan emosi yang ha
Apartemen. Damian menenteng kantong makanan yang sempat dibelinya dari luar. Kakinya berjalan menuju meja makan, menata beberapa hidangan lezat yang mereka pesan secara bersamaan. Meira duduk di kursi meja makan lebih dulu, fokusnya menatap Damian yang terlihat sibuk di sana. Tatapan kosong itu cukup ketara. Meira tampak tidak bersemangat. Siapa saja yang melihat pasti berpikir yang sama. Seolah masalah berputar di atas kepalanya.Damian berjalan, berdiri di samping Meira. "Kenapa?"Lima detik berlalu, pertanyaan itu berakhir tanpa jawaban."Meira?" Ia kembali menyadarkan. Lagi, panggilannya terabaikan. Damian mendekatkan diri, mengusap puncak rambut Meira, kemudian menariknya ke dalam pelukan. Sayangnya, pelukan itu bahkan hanya satu pihak saja. Meira tetap tidak ada pergerakan. Damian yang tidak tahu harus menghibur dengan cara apalagi pun malah makin kebingungan."Makan dulu. Ayo?" ajak Damian usai melepas dekapan itu.Meira akhirnya menurut. Mereka makan siang dengan keheninga
Pukul 12 siang.Hari ini hanya ada dua mata kuliah. Meira seorang diri selama pembelajaran berlangsung. Shelly duduk di bangku paling pojok seakan memperlihatkan jarak di antara keduanya. Meira mencoba tersenyum, tetapi perempuan itu bahkan tidak menoleh.Usai kelas selesai, Meira mulai merapikan buku-bukunya. Rumor itu masih meninggalkan bekas hebat di dalam sana. Orang-orang terus membicarakan tanpa henti. Shelly berjalan lebih dulu. Ia menatap punggung Meira sebelum benar-benar meninggalkan kelas. Namun, egonya masih terlalu tinggi. Ia memilih tidak peduli meski terdengar jelas para mahasiswa mulai mencemooh sang sahabat. "Shelly," panggil Rangga mencegahnya di luar. "Meira masih di dalam?" Perempuan itu tidak langsung menjawab. Pandangannya terpaku pada Rangga. Shelly merasa sesak di dalam dada, sebab ia tidak bisa meyangkal fakta bahwa Rangga yang ia kagumi selama ini ternyata menyukai Meira, sahabatnya sendiri. Rangga kembali menyadarkan. "Shelly?""Dia masih di dalam," jawa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.