Share

8 Tahun Mencintainya
8 Tahun Mencintainya
Author: syelvalerie

Daver Negarald

"Anak bandel diciptain untuk bikin satu kelas bahagia. Gak ada yang bandel, gak ada yang ketawa."

-Daver Negarald

***

"Daver, Rino, Evan, kemari!" Ibu Erna berdiri seraya melihat ketiga cowok itu secara bergantian.

Tidak ada yang maju. Mereka malah tertawa di kursi mereka. Masih saling bercanda satu sama lain. Padahal tatapan Ibu Erna sangat membunuh. Benar-benar tidak ada takutnya sama sekali.

"Bu, masa Ander gak dipanggil? Curang, ah. Ibu gak adil!" Rino menyahut tanpa dosa. Padahal dari tadi Ibu Erna sudah mengelus dada.

"Ander ngerjain tugas, sedangkan kalian enggak! Malah bercandaan aja dari tadi! Cepat maju!" Ibu Erna berdiri. Lalu mengambil penghapus papan tulis. "Maju, gak?!"

"Maju, sono." Evan menyenggol sikut Daver yang langsung dibalas dengan injakan kaki dari cowok itu.

"Sabar, jangan nyenggol-nyenggol!" Daver akhirnya berdiri dan maju duluan. Disusul dengan Evan dan Rino.

Sebenarnya Ander juga tergabung dalam kelompok persahabatan mereka. Namun, karena datang lebih awal, ia sempat menyalin tugas milik temannya.

Ibu Erna berkacak pinggang. Ia menatap tajam ketiga murid nakalnya. "Kalian ini! Udah tadi datengnya telat, gak ngerjain tugas lagi! Kalian niat sekolah nggak sih sebenernya?!"

Ketiganya menggeleng, menjawab pertanyaan sekaligus bentakan Ibu Erna. Lalu tertawa. Benar-benar membangkitkan emosi.

"Saya tuh udah pusiiiiiing masuk ke kelas kalian! Kalian tuh maunya apa?" Tanya Ibu Erna dengan nada yang tidak santai.

"Saya sebenernya mau main free fire di rumah seharian, Bu. Tapi karena status saya pelajar, saya terpaksa sekolah," balas Daver santai.

"Balas aja terus perkataan saya!"

Daver memasang ekspresi aneh ketika Ibu Erna mengatakan itu. "Lah? Tadi kan Ibu nanya. Ya, saya jawab, lah."

"Status lo kan jomblo. Apanya pelajar?" Evan menyeletuk.

Dengan gerakan cepat, Ibu Erna mengambil penghapus papan tulis dan melemparnya ke arah Evan. "Gak lagi bercanda, Evan!"

Ibu Erna menghela napas panjang. Ia mendengar apa yang Daver katakan tadi. Namun jiwanya sudah lelah menjawab.

Rino mengambil penghapus papan tulis yang tadi gurunya lempar. "Udah, Bu, jangan marah-marah terus. Nanti cepet tua."

"Balik."

"Hah? Ngomong apa? Gak denger." Daver meletakkan telapak tangannya di telinganya. Hal itu tentu membuat emosi Ibu Erna semakin meluap.

Daver langsung melongo ketika melihat mata Ibu Erna. Guru itu tidak menjawab pertanyaannya. "Eh, saya beneran gak denger, Bu. Suer," jari telunjuk dan jari tengahnya ia acungkan.

"DAVER, KUPING JANGAN DIJADIIN PAJANGAN DOANG MAKANYA!" Ibu Erna yang sudah naik pitam tak kuasa lagi menahan amarahnya.

Sungguh mengangetkan karena guru perempuan ini berteriak. Seluruh jantung satu kelas seakan melompat keluar. Saking kencangnya, ada dua murid yang spontan melempar correction tape mereka sampai temannya yang lain jadi tertimpuk.

Konyolnya, yang diteriaki malah cengengesan. Mereka kembali ke tempat duduk seperti semula.

Daver menggaruk kepalanya yang tak gatal. Rambutnya berantakan. Namun ia tidak peduli.

Tatapan Ibu Erna bagaikan elang yang ingin menerkam ikan. Tidak lepas dari Daver dan teman-temannya. "Sampai kamu besok masih nggak mengerjakan tugas, jangan harap ikut pelajaran saya!"

Di dalam hati, Daver bersorak kesenangan. Kalau seperti itu, ia akan memilih untuk tidak mengerjakan tugas untuk menghindari guru bawel ini.

***

Istirahat. Waktu yang paling ditunggu Daver dan tiga kawannya dari pagi. Bukan karena tidak suka belajar. Hanya saja Ibu Erna adalah guru yang paling mereka benci. Menurut mereka, Ibu Erna terlalu banyak menuntut. PR yang diberikannya melebihi batas wajar. Parahnya, Ibu Erna hanya memberikan paraf saat PR itu dikumpul.

"Dav, dapet surat." Ander menyerahkan selembar surat yang terlipat sambil meminum sebotol air mineral.

Daver mengambil surat itu dan meliriknya sekilas. Setelah itu langsung ia lempar ke meja kantin. Ia memandang ke arah lain.

"Hanna lagi, Dav?" Evan mengangkat satu alisnya.

"Kagak. Siapa tuh namanya gue lupa?" Daver berusaha mengingatnya kembali. "Oh, iya, Chery."

"Banyak banget sih cewek lo," sahut Rino.

Daver menatap Rino dengan tatapan kesal. Ia tidak terima dibilang banyak cewek. Karena pada dasarnya, Daver bisa dikatakan laki-laki yang setia.

"Gue cuma suka sama Fara." Daver memainkan botol bekas minuman soda. Ia memutar badan botol tersebut hingga terplintir, lalu menekannya hingga tutup botol itu melayang cepat ntah ke mana.

Rino, Evan, dan Ander melihat ke mana arah terbang tutup botolnya. Sialnya, benda tersebut terbang dan menyentak bokong seorang perempuan.

"WOIIII SAKIIIIT! SIAPA SIH YANG NGELEMPAR? GAK SOPAN BANGET!" Perempuan itu melihat tiga laki-laki yang tertawa dan satunya menutup wajah. Mereka adalah geng yang setia nongkrong di pojok kantin. Pentolan yang merangkap sebagai kasanova sekolah.

"HAHAHAHAHA WOY KENA PANTATNYA ANARA DONG!" Evan terbahak-bahak. Ia memukul lengan Daver kemudian.

Daver memunculkan wajahnya yang tadi sempat disembunyikan.Perasaan tidak enak mulai muncul. Ia berteriak, "Sorry! Gak sengaja!"

Rino dan Ander sama terbahaknya dengan Evan. Hanya saja Evan terlalu berlebihan. Ia berjongkok dan memukul meja berulang kali.

"Lo gak sopan banget sih, Dav?!" Perempuan yang Evan sebut namanya itu berteriak. Dia adalah Anara, salah satu sahabat Daver dan termasuk dalam geng mereka. Daver jadi pusat perhatian dibuatnya.

"Lo marah-marah tapi seneng, kan, Ra, diisengin Daver?" Rino menaik-turunkan alisnya. Sungguh terlihat menyebalkan.

Gadis yang bernama Anara itu berdengus sebal. Sialan Rino!

"Seneng apaan, sih?!" Anara mengambil tutup botol tersebut dan melemparnya ke arah Rino. Tepat sekali sasarannya. Tutup botol itu menyentak mata Rino. "Mampus!"

"Anara, maaf, ya!" Daver berteriak meminta maaf. Tadinya ingin melanjutkan aksi marah. Tapi Anara tidak bisa. Daver selalu gagal membuatnya marah.

"Jangan diulang," kata Anara.

Daver tersenyum. Dia senang dimaafkan. Memang seperti itu orangnya. Aneh, kan?

Daver tahu perbuatannya tadi diluar kata sopan. Makanya, walaupun laki-laki, Daver tidak gengsi meminta maaf. Tidak seperti Evan yang kalo salah bukannya meminta maaf, malah ngatain orang itu baper.

Omong-omong soal Evan, laki-laki itu masih tertawa. Sampai ia ditendang Ander. "Udaaaaah, woooooy. Receh banget lo."

Evan berdiri dengan susah payah. Lalu memukul pundak Daver. "Aduh, capek ketawa. Ngakak. Huh.. huh." Evan mengatur napasnya.

"Sumpah, ih, lebay. Males, ah! Lo malu-maluin. Sampe diliatin yang lain," komentar Ander.

Rino menarik kursinya. Mengurangi jarak dengan meja. "Eh, back to the topic, tadi lo bilang apa Dav? Lo masih suka sama Fara?"

Daver mengangguk pelan. "Iya, kenapa?"

"Fara suka sama lo atau nggak?" Evan bertanya setelah sukses mengembalikan napasnya.

Daver terkekeh. "Mungkin," terselip nada ragu di sana.

"Gue rasa dia cuma manfaatin duit lo," cetus Ander.

Mendengar itu, Daver langsung melihat Ander cepat. Rino yang melihatnya langsung meneloyor kepala Ander.  "Gak boleh ngomong kayak gitu."

"Pikirin yang udah berjuang buat hati lo dari lama, Dav," kata Evan. Seketika semua pandangan tertuju pada Evan. Tumben cowok itu bisa bijak.

Rino dan Ander menahan tawanya. Saat Rino hendak meledek Evan, Daver menyelak, "Emangnya siapa?"

"Ya, banyak lah, Dav! Lo ngapain nanya? Lo liat aja tuh, si Hanna, Chery, Megan, Ody, banyak kali. Bukan pertanyaan itu." Ander tertawa setelah mengucapkannya. Padahal tidak ada yang lucu.

"Ada, satu lagi yang curhat sama gue. Dia kayaknya udah suka sama lo dari lama banget, Dav." Evan memperkeras volume suaranya karena kantin semakin berisik.

"Siapa?" Daver mengerutkan dahinya. Ia tahu banyak perempuan yang suka dengannya. Tapi ntah karena faktor apa, ia penasaran dengan perempuan yang Evan bahas.

Ada satu yang terus singgah di pikiran Daver. Perempuan yang suka padanya pasti hanya antusias sementara. Oleh karena itu, ia jarang peduli dengan tumpukan surat yang ia terima setiap minggunya. Juga dengan perasaan-perasaan itu.

Mereka hanya suka karena paras Daver yang terbilang sangat tampan. Daver pikir, mereka tidak akan terus memiliki perasaan yang sama apabila mengetahui seluruh masalah dan kekurangan yang ia miliki.

"Anara," jawab Evan. "Anara Emiley. Gue dapet berita ini dari Elana. Kata dia jangan kasih tau Daver. Tapi, ya udah lah lo tau aja. Hehe, gue kok ember banget, ya?" Evan menggaruk kepalanya.

Anara? Daver sangat tidak menyangkanya. Anara terlalu hebat menyembunyikan itu. Dari gerak-geriknya saja, Anara terlihat cuek pada Daver.

Ander menyenggol lengan Evan dengan lengannya. "Lo bilang lama. Lama apaan?"

"Delapan tahun," jawab Evan untuk memperjelas.

Daver melotot kaget. Ia langsung mencari gadis yang menjadi bahan perbincangan mereka. Matanya menyapu seluruh kantin.

Daver melihat Anara. Dia sedang tertawa dengan Alvano, laki-laki yang satu ekskul dengan Daver.

Suka apaan? Itu masih bisa ketawa sama cowok lain, batin Daver.

Daver buru-buru menghapus pikirannya tentang Anara. Ia tersadar bahwa gadis itu tidak begitu penting baginya.

"Delapan tahun, Van?" tanya Daver lagi meyakinkan. Evan mengangguk.

Menurut Daver, Evan pasti berbohong. Sembilan tahun yang dibicarakan itu basa-basi. Atau tidak, itu hanya candaan. Lagipula, sejak kapan Evan bisa serius? Dapat dihitung dalam sebulan.

Daripada dianggap kegeeran, untuk kali ini, Daver menolak percaya dengan Evan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status