Matahari masih terlampau pagi hari ini, tetapi Aland sudah disuguhi pemandangan mengejutkan saat melewati gedung belakang kampus. Ia terbiasa melalui jalan ini sejak tahu ada jalan menuju kampus melalui gedung belakang kampus.
Begitu melihat seorang mahasiswa dipukuli oleh beberapa orang yang membungkus kepala mereka dengan kain hitam, dan topeng hitam di wajah mereka. Aland segera bersembunyi di balik salah satu tiang besar gedung yang tak terpakai itu. Ada tiga orang. Entah laki-laki atau perempuan, Aland bahkan tidak tahu persis siapa mereka. Aland berniat menyelamatkan nyawa mahasiswa yang tengah dipukuli itu sebelum dia tewas di sini. Ia berpikir sebentar, mencari cara agar seseorang tidak mengetahui keberadaanya di sana.
Dengan hati-hati, agar keberadaannya tak diketahui, Aland merobek selembar kertas dari dalam tas. Lalu mendownload suara sirine dari internet. Suara ini biasa digunakan para senior saat sedang melakukan operasi di berbagai sudut kampus saat mereka menemukan kejanggalan. Aland menekan gambar sirine pada layar ponselnya, sirine pun berbunyi, bunyi yang dihasilkan seperti terdengar dari kejauhan, tatkala sobekan kertas tadi diletakkannya melingkar di sisi speaker ponsel.
Orang-orang bertopeng hitam itu terkejut mendengar suara sirine, salah satu dari mereka mengatakan bahwa Senior Petugas Operasi berada di sekitar, hingga akhirnya mereka berlari meninggalkan pemuda yang habis mereka pukuli.
Setelah memastikan semuanya aman, Aland baru bisa bernapas lega. Ia segera berlari ke arah pemuda itu untuk menolongnya. Dia tampak kesakitan sembari memegang perutnya yang mendapat tendangan dari orang-orang bertopeng tadi.
“Apa yang terjadi? Kenapa mereka memukulimu?” tanya Aland. Ia terus melihat ke sekeliling, memastikan bahwa mereka tak kembali lagi.
“Mereka menyerangku,” jawab pemuda itu dengan meringis.
“Siapa mereka?”
“Ak-aku tidak tahu.”
Aland mengernyit ketika menemukan hal janggal yang terlihat di samping pemuda itu tergeletak. Sebuah kuncir rambut berwarna hitam dengan motif bunga berwarna putih. Apakah ini milik salah satu dari orang-orang bertopeng itu? Aland meraihnya dan menyimpan benda itu di dalam saku.
“Baiklah, mari kubantu berdiri, aku akan mengantarmu ke ruang kesehatan.”
****
Sementara di sisi lain, ruang club dansa ballroom sedang dipenuhi oleh mahasiswa dan mahasiswi yang tergabung dalam club tersebut. Ada sekitar dua puluh orang yang ada di dalamnya, mereka semua duduk di lantai, seorang pelatih dansa memberi arahan kepada para peserta didiknya.
“Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kampus ini akan mengadakan acara penting tahunan yang tidak akan pernah kita lewatkan. Acara ini diadakan setiap satu tahun sekali, dan tahun ini akan diselenggarakan pada bulan depan mendatang. Setiap tahun, club dansa selalu ikut andil dalam memeriahkan acara ini, club kita akan memberi persembahan terbaik pada tahun ini. Jadi, persiapkan diri kalian. Karena acara ini sangat berpengaruh pada promosi, agar club dansa memiliki banyak peminat lagi, sehingga mahasiswa yang belum bergabung dengan club manapun akan bergabung dengan kita.”
“Baik, besok saya akan mulai membagikan kelompok. Cukup untuk pertemuan kita hari ini, dan jangan lupa tetap jaga kesehatan.”
“Baik, Bu,” ucap serempak para anggota club dansa.
Usai pelatih meninggalkan ruangan, semuanya bubar untuk membereskan barang-barang mereka dan meninggalkan ruangan, kecuali Jane, saat ingin memasukkan ponsel ke dalam tas, gadis yang sering dijuluki ‘Pendek’ oleh dancer lain karena postur tubuhnya itu berhenti karena melihat notifikasi pesan di ponselnya.
“Jane, aku duluan, ya.” Seseorang menepuk pundak Jane. Gadis itu sempat terdiam sesaat, saat menatap ponselnya. Namun, ia segera sadar kemudian saat mengetahui seseorang yang baru saja berpamitan padanya.
“Ken, tunggu!” ucapnya pada laki-laki gemulai yang sering dijuluki kemayu oleh orang-orang. Ken berbalik dan mengangkat kedua alisnya seraya beranya, “ada apa?”
Jane menatap ponselnya sekali lagi, lalu kembali menatap Ken. “Lihat ponselmu sekarang.”
Heran karena Jane tak langsung mengatakan kebenarannya, tak urung Ken mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Melihat sebuah notifikasi tertera di layar, Ken menekan notifikasi tersebut. Sejurus kemudian, laki-laki itu dibuat melotot saat menatap layar di ponselnya.
“Ya Tuhan!” pekik Ken.
Jane terburu-buru merapikan barang-barangnya, “ayo cepat!” ajaknya, yang disusul oleh Ken.
*****
Dua orang yang telah bertarung kini saling membungkukkan badan satu sama lain, setelah salah satu dari mereka berhasil mengalahkan lawannya. Laki-laki yang telah dikalahkan itu memberi selamat pada perempuan yang telah menang darinya. Setelah itu, semua orang membubarkan diri, karena waktu latihan telah selesai.
“Kate!” gadis yang memiliki potongan rambut pendek mirip laki-laki itu menoleh, lalu melambai pada seseorang yang memanggilnya tadi. Dia lalu berlari menuju tepi lapangan basket indoor, karena hari ini club karate-nya meminjam tempat ini untuk digunakan latihan.
Begitu duduk, Kate langsung meneguk botol air yang sudah disediakan di sana. Ia lalu menoleh pada laki-laki yang memakai pakaian yang sama dengannya, yang membedakan hanya warna sabuk mereka. Ia adalah seseorang yang memanggilnya tadi.
“Kate, Aku sangat bangga karena kemajuanmu cukup pesat akhir-akhir ini.”
“Terima kasih, Coach,” Kate justru malu saat rekan-rekannya kini menggodanya karena kemampuannya dipuji oleh pelatih mereka. Memelototi mereka, Kate mengarahkan telunjuknya di depan mulut agar teman-temannya berhenti menggodanya.
“Dalam kompetisi musim yang akan datang, aku akan mendaftarkan namamu sebagai perwakilan cabang putri, apa kau setuju?”
Kate yang tengah minum hampir tersedak karena terkejut. Bagaimana tidak? Mengikuti kompetisi karate mewakili kampus adalah impiannya sejak lama. Selama ini ia telah berlatih dengan keras untuk mendapatkan kesempatan berharga ini. Tentu saja, hal ini tidak mungkin ia lewatkan.
Kate memandang teman-teman se-karatenya, Ia sangat senang karena mereka semua mendukungnya tanpa keberatan, rasa percaya diri untuk mengikuti kompetisi pun kini sudah lengkap, tak ada alasan baginya untuk menolak karena teman-temannya pun setuju.
“Baik, Coach. Saya bersedia.”
Sang pelatih tersenyum lega. Sebelum pamit pergi kepada murid-muridnya, Kate diminta untuk berlatih lebih keras lagi untuk mempersiapkan dirinya.
“Kate, ponselmu berbunyi.” Kate berbalik saat salah satu rekannya menyerahkan ponselnya kepadanya, ia berterima kasih kemudian. Layar ponsel menyala, sebuah notifikasi tertera di layar, Saat membukanya, Kate menutup mulutnya karena terkejut dengan apa yang telah dilihatnya.
*****
Di bangku taman kampus, di bawah pohon-pohon rindang, tempat paling tenang dan juga paling nyaman, tetapi juga tempat paling jarang dikunjungi oleh banyak mahasiswa. Biasanya, hanya ada satu atau dua mahasiswa yang berkunjung ke tempat ini, tentunya bagi mereka-mereka yang menyukai ketenangan. Untuk sekadar melepas kepenatan terhadap serangkaian tugas dan kegiatan kampus yang tak ada habisnya.
Hari ini benar-benar sepi, di sana hanya ada seorang mahasiswa yang sedang serius berkutat dengan laptop di atas meja. Beberapa kali dia membenarkan kacamatanya, tak butuh waktu lama, pekerjaannya akhirnya selesai. Ia bernapas lega kemudian.
Menutup laptop, laki-laki berkacamata itu lalu meneguk minuman yang belum disentuhnya sama sekali, semenjak ia membelinya dari kantin. Kedua kakinya ia naikkan di atas kursi panjang yang didudukinya, lalu menyandarkan punggung pada pohon, laki-laki itu lalu memejamkan mata. Sesuatu hal yang paling menenangkan baginya.
Namun, ketenangan itu tak berselang lama, sebuah suara mengejutkannya, membuatnya kembali terjaga.
“Rome!” Laki-laki berkacamata itu refleks membuka mata karena terkejut, wajah menyebalkan seorang laki-laki langsung menjadi pemandangan pertamanya. Tak peduli, laki-laki berkacamata itu kembali memejamkan mata.
“Sombong sekali! Kau bersikap acuh kepada temanmu,” cibir laki-laki itu.
“Diam! Aku mengantuk.”
“Romeo, kau laki-laki yang sangat sombong, itulah mengapa banyak gadis-gadis yang takut kepadamu.” Laki-laki itu mengeluarkan suara seperti perempuan yang sontak membuat Romeo bangun dan merasa jijik padanya.
Romeo kembali menurunkan kakinya, dan duduk dengan tegak. “Ada apa?”
“Lihat ponselmu.”
Menurut, Romeo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, lalu meletakkannya di atas meja, dan dia hanya melihatnya.
Melihat kelakuan Romeo, laki-laki yang akrab dipanggil Joo itu mengusap wajah dengan kasar, ia lalu bergerak menampar udara seolah-olah menampar wajah Romeo karena kesal.
“Apa? Kau menyuruhku melihatnya, maka sudah kulakukan.” Romeo membela dirinya. Namun, tak urung membuat laki-laki itu mengecek ponselnya. Kerutan di dahinya mulai terlihat kala membuka notifikasi pesan yang ia dapatkan. Tanpa basa-basi, Romeo langsung memasukkan ponsel ke dalam saku dan membawa laptop-nya—buru-buru beranjak pergi.
“Kau ini, tunggu aku!” seru Joo, karena Romeo malah meninggalkannya.
Merasa melupakan sesuatu, Romeo berbalik lagi. Ia menatap tas di punggung Joo.
“Kenapa berhenti?” tanya Joo.
Bukannya menjawab, Romeo justru memaksa Joo berbalik dan membuka resleting tasnya. Lalu tanpa rasa berdosa, ia memasukkan laptopnya ke dalan tas milik Joo. “Di dalam tasmu pasti tidak ada apa-apa, aku titip laptop-ku dulu, ya. Jaga baik-baik.”
Jika bukan teman, Joo pasti akan memaki Romeo di depan wajahnya sekarang juga. Temannya yang satu itu memang suka sekali merepotkannya.
*****
Pintu atap gedung fakultas film terbuka lebar setelah berhasil didobrak. Jane, Ken, Kate, Romeo, dan Joo keluar dari sana. Raut wajah panik mereka berubah menjadi terkejut saat melihat seorang mahasiswa yang tidak mereka kenal, berusaha mencekik teman mereka.
Jane menutup mulutnya tak percaya saat berlari menuju kedua orang itu. “Aland!” teriaknya panik. Di susul oleh Kate, juga yang lain.
“Apa yang kau lakukan pada temanku?!” teriak Joo. Ia dan Ken berusaha memisahkan mahasiswa tersebut dari Aland. Tenaganya begitu kuat sampai-sampai Joo dan Ken kesulitan menanganinya. Kate datang menolong, gadis itu mengunci gerakan mahasiswa tersebut dengan membekuk kaki kanannya. Alhasil, mahasiswa yang tak dikenal itu langsung terduduk.
“Diam!” bentak Ken. Menyadari bahwa orang-orang datang untuk menolong mahasiswa yang dicekiknya, mahasiswa tersebut langsung diam.
Sementara Jane mencoba menenangkan Aland yang kini duduk dengan napas yang terengah-engah, gadis itu menyodorkan air minum karena wajahnya terlihat pucat, tetapi Aland tidak merespons sama sekali.
Romeo mendekat pada Aland dan duduk di sampingnya, tangannya menyentuh bahu Aland. Melihat wajahnya yang pucat, tubuhnya gemetar dan tatapannya yang kosong. Romeo merasa ada sesuatu yang terjadi.
“Aland, kau tidak apa-apa?” tanya Romeo.
Seperti baru terbangun dari mimpi, Aland baru sadar ada Romeo dan Jane di sampingnya, dia melihat teman-temannya dan baru menyadari mereka telah menyelamatkannya dari insiden yang hampir membuatnya meregang nyawa.
Aland menatap Romeo yang menatapnya dengan raut wajah tak bisa diartikan. “Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah menolongku,” ucap Aland dengan melihat semua teman-temannya. Mereka semua mengangguk.
“Lepaskan aku!” mahasiswa yang menyerang Aland itu meronta. Namun, Ken dan Joo memeganginya dengan kuat, sehingga dia tidak bisa bergerak.
“Tidak akan! Karena kau mencoba membunuh teman kami, kau tidak akan kami lepaskan dengan mudah!” teriak Kate di depan mahasiswa itu.
“Kami akan melaporkan tidakkanmu kepada wakil dewan supaya kau ditangani oleh direktur kemahasiswaan,” ucap Ken dengan gaya gemulai yang diangguki oleh Joo.
Romeo dan Jane mengajak Aland untuk berdiri. Tatapan Aland tertuju pada mahasiswa yang menyerangnya tadi. Ia masih terkejut atas insiden yang terjadi padanya, sehingga membuatnya menjadi lebih diam dari biasanya. Melihat Aland berdiri, rupanya menyulut emosi mahasiswa yang menyerangnya. Ia meronta dengan keras hingga hampir terlepas dari pegangan Joo, tetapi Kate berhasil menguncinya kembali dengan mendorongnya.
“Bisa diam tidak? Jika kau tidak bisa diam, maka aku akan menghabisimu sekarang juga,” ancam Kate.
“Teman-teman, aku dan Jane akan membawa Aland ke ruang kesehatan. Sementara kalian bawa dia ke wakil dewan,” titah Romeo. Semua orang mengangguk menyetujuinya. Meski kadang menyebalkan, Romeo menjadi orang yang disegani di antara mereka.
****
Jane kembali menyodorkan botol air minumnya kepada Aland. Namun, kali ini laki-laki yang tengah duduk di atas brankar kesehatan itu menerimanya dengan pandangan kosong dan meneguknya. Setelah selesai, ia mengembalikannya lagi kepada Jane.“Sebenarnya apa yang terjadi?” Aland dan Jane kompak mendongak pada Romeo yang berdiri dengan bersidekap dada. Meski wajah laki-laki itu tampak datar, tetapi Romeo pasti menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya.Aland menurunkan pandangan, kedua tangannya kini menumpu pada lutut, ia mengingat kembali kejadian-kejadian yang ia alami pagi ini hingga seseorang mencoba membunuhnya.“Kau mengirimkan pesan di grup bahwa ada mahasiswa yang mencoba bunuh diri, tetapi ketika kami sampai di atap, justru kami melihatmu yang hampir terbunuh. Bagaimana bisa?” Romeo mengatakan apa yang mengganjal di pikirannya. Ia bukan tipikal orang yang berbasa-basi.Jane menepuk bahu Aland, menenangkannya. &ldq
Hari sudah berganti gelap. Lampu-lampu di dalam kelas dipadamkan, berganti lampu-lampu koridor yang dinyalakan. Ditutupnya loker tempat ia menyimpan barang-barangnya. Aland mengecek ponselnya kembali, ada beberapa pesan yang tak terbaca. Mengetahui belum ada balasan apa pun baik dari pihak Romeo maupun Joo, ia menghela napas kemudian. Ke mana perginya semua teman-temannya? Mengapa mereka semua tiba-tiba menghilang tanpa kabar?Berbalik badan, Aland menyandarkan punggungnya pada loker. Menatap langit-langit dengan pikiran yang kacau, lalu beralih menekan layar ponselnya sebanyak dua kali. Terlihatlah gambar dua anak-anak dengan perbedaan tinggi yang cukup signifikan. Seorang anak laki-laki tersenyum lebar yang menunjukkan gigi ompongnya, dan anak perempuan yang lebih tinggi darinya menunjukkan wajah datarnya pada kamera. Tanpa sadar, Aland tersenyum, ia ingat foto ini diambil bertahun-tahun yang lalu.Sebuah suara menyadarkan Aland dari dunianya. Samar-samar ia mendenga
Dua minggu yang lalu ... (Foto perempuan dengan almamater kampus) Keterangan: Telah hilang ... Mikhaela Luisa Sophrosyne, Mahasiswi dari jurusan ekonomi. Hingga kini masih belum diketahui keberadaannya. Aland berdiri mematung di depan papan pengumuman lobi utama kampus. Kedua matanya menyapu kata demi kata yang tertera di bawah foto perempuan yang amat dirindukannya. Foto yang diambil untuk kartu tanda mahasiswa itu masih memperlihatkan senyum ceria perempuan itu. Hari ini adalah hari pertama Aland di kampus yang baru. Kepindahannya ke sini tak lain memiliki sebuah tujuan. Yakni untuk membongkar semua fakta yang mencoba ditutupi oleh pihak kampus. Mengingat itu, tanpa sadar membuat tangannya mengepal di sisi jarit celana. Tanpa basa-basi, laki-laki yang merupakan mahasiswa baru itu mem
Aland memberikan tatapan waspada ketika Joo duduk di sofa yang sama dengannya, sementara Kate hanya berdiri di dekatnya dengan bersedekap dada. Sejujurnya, ini agak mengerikan karena tiba-tiba Aland terbangun di tempat yang tidak diketahuinya, usai penyerangan tiba-tiba yang dilakukan oleh mereka padanya.Kate dan Joo hanya memberikan tatapan yang sulit diartikan oleh Aland. Tidak ada yang memulai pembicaraan sampai Ken yang entah datang dari mana terkejut karena tak ada seorang pun di meja makan, mengetahui Aland yang telah bangun dan Kate serta Joo berada di sana—laki-laki itu langsung menegur Aland.“Rupanya kau sudah bangun?” Pertanyaan Ken hanya dianggurkan oleh Aland. Pandangan Aland turun pada tas hitam di tangan Ken. Ekspresi Aland berubah seketika ketika mengetahui itu adalah tasnya.“Apa yang kau lakukan pada tasku?” Aland merebut tas miliknya dari tangan Ken, tetapi yang membuat Aland merasa aneh adalah ketika Ken memberi
Tumpukan-tumpukan kayu itu sekilas hanya terlihat semacam tumpukan kayu dalam jumlah banyak, ditambah papan tripleks yang dibiarkan bersandar di tengah-tengahnya, tetapi siapa sangka, jika papan tripleks yang digunakan sebagai pintu itu digeser, kau akan menemukan ruangan kecil yang sengaja disulap menjadi ruang kerja. Terdapat satu set komputer dan beberapa jenis perangkat keras yang tertata rapi di atas meja. Satu buah kursi tunggal, serta sofa panjang berwarna biru yang ditambal dengan kain di beberapa bagiannya. Ruangan kecil yang cukup nyaman dan bersih dibanding keadaan di luarnya. Aland, Joo, Kate, Ken, dengan Jane sempat panik saat mengetahui ada orang lain selain mereka di sini.“Benar, aku memang adik dari Kak Mikhaela yang dikabarkan hilang itu,” jawab Aland ketika laki-laki yang keluar dari tumpukan-tumpukan bangku itu bertanya kepadanya. Aland sudah berpikir macam-macam bahwa rahasianya dalam membentuk kelompok rahasia untuk mencari kakaknya aka
Senja telah membumi. Lampu-lampu telah dinyalakan di koridor juga beberapa sudut penting kampus. pada hari di mana kejadian Aland dicekik oleh korban teror Geng Topeng Hitam di atap gedung fakultas film, Romeo mengajak Jane diam-diam menyelinap ke dalam ke ruang club biologi usai kelas berakhir. Ponsel Tor yang Romeo temukan di belakang pintu ruang kesehatan tempat Aland berbaring kini berada di tangannya. Bermodalkan kemampuan dan peralatan seadanya, Romeo berhasil melacak password dan membuka pintu ruangan. Ruangan ini lebih kecil dari laboratorium biologi, tentu saja. Terdapat sebuah meja berbentuk persegi panjang yang di kelilingi banyak kursi tunggal di ruangan ini, karena ruangan ini hanya dikhususkan untuk para mahasiswa dari jurusan mana pun yang memiliki ketertarikan belajar biologi.Romeo dan Jane berhenti di depan sebuah lemari kaca yang terdapat gelas-gelas berisikan cairan kimia berwarna ungu di dalamnya. Jane masih tak mengerti maksud Romeo mengajaknya ke
“Romeo di-skors.” Satu hal yang terlintas di kepala Aland ketika Jane mengatakan hal itu kepada ia dan yang lain, saat mereka berkumpul tanpa Romeo—Aland langsung menuju asrama laki-laki, meminta petugas penjaga untuk mengantarnya ke kamar Romeo, tetapi lelaki berkacamata itu tidak ditemukan di kamarnya. Aland justru menemukan Romeo di balkon atap asrama—duduk di sebuah bangku reot dan diam termenung. Merasa mengenali punggungnya, Aland melompati dinding pembatas setinggi paha orang dewasa, menghampiri laki-laki yang tengah menyendiri itu. “Mengapa tidak bilang padaku, kalau kau mendapat skorsing?” Pandangan Romeo yang semula tertuju pada pemandangan pemukiman di bawah sana, kini mengikuti arah langkah kaki Aland yang berhenti pada dinding pembatas. Wajah yang ditimpa sinar mentari itu ikut menikmati keindahan pemandangan di depannya. “Tidak ada hubungannya denganmu,” balas Romeo singkat. Suasana hatinya sedang tidak baik kala mengingat bagaim
“F—Fluke?”Dahi Fluke mengernyit kala mendengar suara seseorang yang sepertinya dia kenal. Lampu ponsel yang menyorot wajahnya mati seketika tanpa diduga. Gadis itu kemudian mengecek ponselnya yang tak kunjung menyala. Sialnya, kini baterai ponselnya habis.Sebelah alis Fluke terangkat ketika dengan jelas ia dapat melihat wajah seorang gadis dengan rambut yang tergerai lurus di hadapannya, meski dalam kegelapan. Salah satu sudut bibir Flukr terangkat kemudian, rupanya dia adalah gadis yang bersama dengan saingannya di ruang biologi beberapa hari lalu.“Mengapa aku selalu menemukanmu dalam kegelapan?”Pertanyaan Fluke mengundang Jane yang semula mengecek ponselnya, kini mendongak menatapnya. Hal pertama yang Jane temukan adalah wajah Fluke yang tengah tersenyum miring dengan tatapan yang tersorot padanya.Jane berusaha bersikap tidak gentar meski status Fluke adalah keponakan rektor. Terkadang, ia merasa gerah saat oran