Share

A Long Way to Find A Love
A Long Way to Find A Love
Penulis: putkerr

BAB 1 | Awal Mula

“Inget ya, lebih baik nikmati debat sama Mama lo yang masih ada, daripada  nanti lo nyesel ngangenin dia”

~Rania

Sore menjelang malam di salah satu kota metropolitan. Langit mulai menunjukkan transisi menuju sisi gelap di arah barat. Kebetulan sekali petang ini siluet jingga datang lebih lama, menerangi jalan yang sedang disibukkan banyak kegiatan di atasnya.

Pantas saja, bertepatan dengan jam pulang kantor, jalan tak lagi terlihat warna abu-abu khasnya, tertutup kerumunan sepeda motor, mobil, dan angkutan umum yang suara klaksonnya bersahut-sahutan.

Di dalamnya terdapat orang-orang dengan wajah lelah, kusam, dan masih belum tersapu micellar water lengkap dengan upaya mengumpat yang sebagian masih ditahan hanya sampai niat di ujung lidah saja. Siapa yang suka macet saat pulang kerja?

Walau semua orang tahu bahwa setiap hari keadaannya seperti ini, tetap saja emosi mereka tak terkendali.’ Batin seorang wanita.

Ia berjalan di atas area pejalan kaki dengan menenteng tas tangan berwarna hitam dengan ukuran sedang lengkap dengan liontin daun berwarna emas di salah satu talinya. Ia menyatukan pegangannya di ujung pegangan yang juga mengapitkan tali panjang tas di sana dan mengarahkannya ke depan.

Wanita itu tak punya paras yang jauh berbeda dari orang-orang di dalam mobil sana. Lesu, kusut, kusam. Bedanya orang-orang itu ditambah dengan alis menyatu dan mulut menahan umpatan. Sementara dirinya berjalan dengan wajah tanpa ekspresi memandangi kendaraan-kendaraan yang berserakan di jalanan itu. 

Pandangannya beralih kembali ke depan, menatap tak tentu ke arah sana. Tanpa senyum, tanpa kesedihan, benar-benar tiada ekspresi sama sekali. Langkah kaki yang alasnya memakai sepatu hak tinggi itupun menapak dengan apa adanya kembali ke tanah. Tidak ada semangat sama sekali. 

Sampai di ujung perempatan jalan, dia masuk ke dalam café dengan desain kayu berwarna hijau dengan setengah kaca. Sampai di dalam, matanya langsung menuju ke satu arah yang selalu ia tuju ketika masuk tempat ini. Pojok kanan dekat jendela depan kasir.

Sudah ada 2 orang yang ia tahu sudah menunggunya. Dua sahabatnya di sana, seorang pria dan seorang wanita. Dirinya tahu betul, ekspresi dan kata apa yang akan keluar dari mulut mereka,

Rania Cantik!’ dan membuat seluruh orang dalam café itu menoleh padanya.

Dia Rania, wanita berusia 24 tahun yang bekerja sebagai leader tim marketing di salah satu perusahaan di kota ini. Semenjak lulus kuliah 2 tahun silam, dirinya sudah bekerja di 8 tempat yang berbeda. Rania punya wajah yang cukup cantik, dagu, hidung, dan ulang pipinya tercetak jelas dan tegas  di wajahnya. Bibirnya sedang, tidak tipis dan tidak tebal, dibalut lip cream yang sudah memudar di sore hari ini.

Teman-temannya itu adalah Randi dan Nilam. Mereka seumuran dan sudah berteman sejak masuk sekolah menengah pertama. Randi dikenal dengan sifat cool di luar sana, padahal setahu Rani---nama pendek Rania yang biasa mereka panggil---, Randi adalah orang yang lebih banyak bicara daripada yang diceritakan oleh gadis-gadis yang mendekatinya karena ingin mendekati Randi. Sementara Nilam, adalah seorang wanita yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Randi hanya saja di cabang yang berbeda walau ada di satu kota yang sama.

Awalnya mereka bekerja di tempat yang sama, tak lama setelah itu, Rania keluar hanya karena alasan sepele, yakni bosan bertemu mereka. Sementara Randi dan Nilam yang berjuang keras masuk sana hanya mengangguk mengiyakan keputusan sahabat mereka itu. Seperti biasanya..

Setelah Rania dipanggil dengan suara yang seolah sedang menyambut kedatangan seseorang yang baru pergi jauh, ia tidak langsung menuju kesana, ke tempat duduk mereka. Langkahnya langsung menuju ke arah kamar kecil di belakang kasir, Nilam dan Randi yang melihat itupun tak mengherankannya. Bahkan kasir pun tidak pernah bertanya kemana Rania pergi di belakang sana. Rania memang begitu.

Dia menuju kamar kecil melewati kasir tanpa mengatakan ataupun beramah tamah sekalipun, hanya menundukkan kepala, dan sudah. Sementara Randi dan Nilam sudah terbiasa akan Rania yang tidak menanggapi sapaan heboh mereka dan langsung melengos ke arah belakang. Karena biasanya memang seperti itu. Rania keluar ke meja mereka setelah sebelumnya menyapa kasir sekaligus pemilik café hanya dengan anggukan, tanpa senyuman sedikitpun. Penjaga kasir yang sudah sering melihat Rania sejak lama, hanya sekedar tahu gadis itu, tanpa mengenal, atau bahkan bicara padanya. 

Rania menuju kamar mandi untuk mengganti heels nya dengan sepatu sandal karet tipis berwarna hitam dengan tali abu-abu. Apalagi jika bukan tuntutan kerja. Lalu ia duduk di depan 2 sahabatnya yang pastinya sudah hafal dengan makanan pesanannya sehingga dia hanya duduk, melepas ikatan kerudungnya di belakang leher, menggulung kemeja yang bernoda coklat di bagian depannya. Sepertinya barusan dicucinya di kamar mandi karena terlihat basah walau nodanya tidak hilang.

Rania hanya langsung makan dalam diam sementara 2 temannya di depan sesekali melemparkan candaan padanya. Dan seperti biasa, dia tidak menaruh perhatian pada candaan mereka. Tapi mereka tetap saja bercanda untuk memeriahkan suasana seperti yang biasa mereka lakukan. Nilam dan Randi tahu betul bahwa Rania tidak akan mengeluarkan sepatah katapun sampai mereka pamit pulang nanti. Dipancing bicara saja hanya menanggapi seadanya, apalagi tidak. Mana dua-duanya sama-sama tidak ada ekspresinya. Wajahnya akan tetap datar seperti itu hingga akhir.

Terkadang dalam diri Nilam dan Randi, mereka masih menaruh harapan agar keseharian mereka kembali seperti 6 tahun silam. Saat itu, Rania lah yang menjadi pelempar kaleng di antara kesunyian mereka. Waktu dimana Randi jadi yang paling pendiam dan Nilam yang selalu sensi hingga mereka saling lempar sendok di kantin dan berakhir mengepel bersama setelah pulang sekolah. 

Jika Nilam mengingat masa itu, maka ia akan ingat saat dimana Rania berubah menjadi kulkas jadul 12 pintu di depannya sekarang. Dingin dan tidak berekspresi, Nilam akan menitihkan air matanya tanpa sengaja dan Rania yang melihatnya akan berkata,

Tidak usah mengingat apapun dan segera makan. Aku banyak yang harus dikerjakan.

Randi yang ada di samping mereka hanya menatap nanar dengan isyarat pada Nilam untuk segera berhenti dan memakan makanannya.

Sudah bertahun-tahun berlalu sejak kejadian saat itu, dan Rania masih saja seperti menjadi orang lain seperti sekarang. Dan Nilam serta Randi, tetap harus bertahan dengan situasi seperti ini. Entah sampai kapan.

***

Pagi hari di ruang kelas 12 IPA 7. Sekitar 6 tahun silam,

“Selamat pagi, untuk semua hal di dunia ini! Terutama teman-teman kelas yang aku sayangi, yang sudah menemani keseharianku selama 3 tahun terakhir. Yang rela ga pulang satu kelas karena kesalahan 1 rapor siswa, yang rela 1 kelas berjemur bersama padahal yang lupa piket halaman belakang kelas sebelah. Yang rela bukunya robek-robek demi kelancaran ujian. Uhh lop yu all “

Heboh seorang siswi yang baru memasuki kelas di suasana pagi yang paling tidak disukai dengan berbagai drama upacara sesaat lagi.

Ewhh, mood hari Senin diperparah dengan kealayan nih bocah satu.” Sahut teman laki-laki nya.

“Randi tercinta, selagi kita bersama, mari nikmati kebersamaan dan ke-alay-an ku ini, karena ditakutkan, kau suatu saat akan merindukannya.” 

Gadis itu menghirup dalam-dalam.

Emm… Bau parfum jus buah ala setan pojokan. Aku paham kau duduk di dekat alat kebersihan, Roy. Tapi mandi dengan parfum juga tidak sama sekali tidak disarankan.”

“Eh enak aja jus buah, ini nih baunya seger tau! Non-alkohol. Sekali semprot udah kaga perlu semprot lagi, udah wangi. Belinya tuh per gram, bisa atur komposisi juga. Kalo bawa kartu member di cabang resmi yang ada logonya, kumpulin stikernya! Udah dapet 2 stiker aja hadiahnya menarik, ada facemask, totebag, bahkan kalo stikernya full bisa dituker parfum atau botol parfum limited edition, loh!”

Gadis itu mengatupkan mulutnya yang terbuka agak lama saat mendengarkan Roy.

“Terkadang aku sedikit menyesal saat berdebat dengannya, endingnya seperti aku berbicara pada sales executive parfum saja.”

“Kalo tertarik bilang ya, All. Aku punya kode referal nih, lumayan kalian dapet bonus nanti walau cuma parfum saku kan.”

“KOK TEROS YA?.” Kesal gadis itu.

“Nih aku juga ada brosur nih, sama tester contoh masing-masing komposisinya.” Roy membagikan selebaran kepada siswa yang menggerombol di sekitar bangkunya.

Satu kelas riuh melihat semangat ---marketing--- Roy Saputra.

Gadis itu melengos ke tempat duduknya dengan berkomat-kamit 

Jangan di tanggepin nanti makin jadi! Gausah nanggepin sales nanti lo kepingin, lo kan gapunya uang, mari berlalu lah otak ku  yang mulai tertarik.

Tiba tiba ada yang menyahut  “Bulan ini paling laris yang mana,Roy?”

“RANDI SETIAWANN!” Kompak sekelas.

---

Aih, bisa-bisanya aku tertarik kali ini.”.Sahut gadis itu.

“Ini kali pertama kau tertarik pada marketing master Roy sebulan dua kali.” Sahut Randi.

“Dia  sungguh punya naluri sales yang luar biasa. Entah kenapa dia mengisi peminatan kedokteran SNMPTN kemarin. Hari ini mood ku sangat bahagia, entah kenapa, saking bahagianya, impulsif order pafum ke sales marketing master Roy. Aih.”

Ia menyemprotkan parfum tester yang baru ia dapat ke pergelangan tangan bawahnya lalu meghirupnya sambil berjalan ke tempat duduknya.

“Ehm, sebentar lagi satu kelas ini vibes nya akan terasa seperti warung, sangat menyekat bau jus buahnya.” Diia mengarahkan pandangannya ke depan, melihat sahabatnya terduduk menundukkan kepala sambil mengepal-ngepalkan tangan.

“Kenapa lagi nih, pagi-pagi udah aura dendam aja.” Tanya gadis itu sambil merangkul Nilam, sahabatnya,

As usual.

“Masalah sama mama lagi?”

Nilam hanya menggertak dan melampiaskan amarahnya pada meja lagi.

“Kenapa sih, lo buat ulah lagi?”

“Rani Aprilia, kok lo ada di pihak Mama, sih! Aku tu kemaren cuma telat pulang, karena dia liat aku turun dari boncengannya Jovan, dia marahin aku habis-habisan, sampe motong uang saku segala.”

“Telat jam berapa emang?”

“Setengah sebelas malem.”

What!! Darimana aja sih? Kan udah pakem dari mak lo kalo jam malem tuh jam 9 malem, Nil.”

“Yaelah anak fotografi jam segitu baru dateng kali, Ran. Percuma dong aku keluar. Mama gitu doang ga ngerti sih, emang dia dulu ga pernah muda ya. Dia gak pernah ngertiin aku, dia ga sayang aku, Ran. Dia Cuma sayang adek doang.”

“Hush, gaboleh ngomong gitu ke ibu sendiri.” Vivi melihat tas Nilam.”Noh! dia ga ngasih kamu uang jajan tapi bawain bekal kamu. Makanan kesukaan mu lagi. Capcay yang isinya cuma wortel, sosis, sama makaroni sop.”

“Dia nggak sayang aku, Ran. Aku sadar karena aku itu cuma bawa sial buat dia! Kalo dia dulu gak hamil aku duluan, dia bakal bahagia dan melewati masa muda nya, dan kalo aku punya ibu yang masa muda nya udah puas, dia pasti bakal ngertiin aku!”

Rania yang sudah hafal kalimat yang sering disebutkan Nilam saat marah hanya duduk dan merapikan meja serta lacinya.

“Kan udah dibilangin jangan bicara masalah cerita itu lagi, masih aja disebut. Masih untung juga masih punya mama, Nil.”

“Ah males ngomong sama elu ah! Pasti di pihak mama. Pergi deh, kalau gak bisa ngehibur diem deh.”

Rania berdiri menendang kaki kursi Nilam sehingga posisi gadis itu bergeser.

“RANI!!”

“Apa? Masih mau marah-marah? Noh guru BP! Kagak mau ke lapangan lo?”

Rania melangkah meninggalkan Nilam. Lalu kembali lagi ke belakang.

“Inget ya, lebih baik nikmati debat sama mama lo yang masih ada, daripada  nanti lo nyesel ngangenin dia.”

Ia melangkah lagi, lalu kembali lagi, kali ini menendang meja nya yang menyambung dengan meja Nilam sehingga ia tersandung saat akan melangkah.

“Rani, ah!”

“Inget nama panjang gue bukan Rani Aprilia, tapi Rania Aprilia!”

Ia pun pergi meninggalkan Nilam yang mengejarnya kemudian.

Eh apaan, sih! Pagi-pagi hari Senin, marah-marah pula!”

Dahulu Rania sangat suka berkomentar. Tapi sifatnya saat ini juga tidak berani Nilam komentari juga. Karena itu mereka hanya bertahan dengan terus diam.

Tbc.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Miss Yuka 85
lanjut kak.......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status