Share

3. Adeknya hantu kali

Arlin kini sedang duduk di sebuah kafe sambil sesekali menyeruput hot caramel macchiato-nya. Sesekali ia akan mengedarkan pandangan ke seluruh kafe memperhatikan sekitarnya. Saat ini, kafe yang sering ia datangi bersama Jeffrey itu terlihat cukup ramai. Semua bangku terlihat sudah ada yg menempati. 

Entah ini sudah keberapa kalinya Arlin menghela nafas. Arlin sebenarnya tidak terlalu suka keramaian seperti ini saat mengerjakan tugas.Tapi apa boleh buat, hanya caramel macchiato di cafe ini yang dapat membuat arlin jatuh cinta dan semangat mengerjakan tugas kuliahnya yang semakin lama semakin menggunung.

Biasanya kalau ada Jeffrey, laki-laki itu akan menemani Arlin mengerjakan tugas di kafe ini sambil sesekali melontarkan candaan yang membuat gadis itu kembali bersemangat mengerjakan tugas. Tapi sayangnya sekarang, Jeffrey pasti sedang menikmati waktu bersama pacarnya. Huft mengingat itu, Arlin rasanya ingin menangis saja, kasihan sekali dirinya ini.

Saat gadis itu kembali memfokuskan seluruh atensinya pada laptop di depannya, tiba-tiba ia dapat merasakan pundaknya ditepuk beberapa kali oleh seseorang.

"Hei Lin. Lagi ngapain?"

Wah, Arlin rasanya ingin menepuk tangan keras-keras sih. Bisa-bisanya orang yang barusan dia pikirkan tiba tiba muncul di depannya saat ini. Apa ini tanda tanda bahwa Jeffrey berjodoh denganny-, eh maksud Arlin, apa ini tanda tanda bahwa Jeffrey panjang umur?

"Loh Jeff? Lo ngapain disini?"

Jeffrey hanya tersenyum sambil sedikit mengusap rambut Arlin.

"Ya mau ngopi lah, mau nga- eh kamu udah selesai Lan?"

Sebelum Jeffrey dapat menyelesaikan kalimatnya, Arlin dapat melihat tiba-tiba sesosok perempuan berdiri di samping Jeffrey seraya menyelipkan tangannya ke lengan laki-laki itu. Perempuan di sebelah Jeffrey itu terlihat ramping dengan rambutnya yang diikat satu memperlihatkan leher jenjangnya. Sangat terlihat serasi dengan Jeffrey di sebelahnya, membuat Arlin memandang gadis itu iri.

"Udah nih." sahut perempuan tadi. Tanpa dijelaskan pun, sepertinya Arlin sudah bisa menebak siapa perempuan ini. Walaupun ini merupakan pertemuan pertama mereka, tapi Arlin beberapa kali pernah melihat foto perempuan itu di apartemen Jeffrey.

"Lan, kebetulan banget kita ketemu Arlin disini. Padahal rencananya besok baru mau aku kenalin kalian berdua. Tapi gak taunya ketemu disini." ucap Jeff sambil terkekeh. Arlin hanya tersenyum kikuk, bingung untuk situasi seperti ini.

"Eh jadi ini yang namanya Arlin? Hallo Arlin, aku Lana, pacarnya Jeje. Jeje sering banget ngomongin kamu loh."

Sejenak Arlin mematung sebelum akhirnya berhasil menguasai dirinya sendiri, ia pun berdiri dan menyambut salam dari Lana.

"Hai Lana, gue Arlin, hehe."

"Hahaha kamu lucu banget ternyata, udah gak usah pake salam kenal salam kenalan. Temen Jeje berarti temen aku juga, kita santai aja ya Lin."

Arlin hanya menanggapi dengan senyuman tipis dan kembali duduk di tempatnya sebelum Jeffrey tiba tiba bersuara.

"Nah gini kan bagus, udah Lan kamu duduk aja disini bareng Arlin, sekalian kalian ngakrabin diri. Biar aku yang pesenin, kamu mau apa?"

"Aku Vanilla latte aja."

"Oke. Lin, kamu ada mau nitip juga gak?" tanya Jeffrey.

"Gak, gak ada."

Lalu secepat kilat Jeffrey berjalan ke arah counter pemesanan meninggalkan dua perempuan itu. 

"Sorry ya kalo aku sama Jeje ganggu kamu. Kamu tadi lagi ngerjain tugas ya?" tanya Lana

Sejujurnya Arlin tidak tahu kenapa sejak tadi Lana mengenalkan diri hingga sekarang duduk berhadap-hadapan bersama pacar sahabatnya ini membuatnya merasa kesal. Rasanya, darahnya kian naik melonjak ke kepalanya setiap gadis di hadapannya ini memulai pembicaraan.

"Gak kok, gue gak lagi serius-serius banget."

Lana hanya tersenyum menanggapi, sebelum kembali melontarkan pertanyaan. "Kata Jeje, apart dia sama apart kamu gak terlalu jauh ya Lin? Apart kamu emang di daerah mana? Siapa tau aku bisa main kapan kapan."

'Jir, sape juga yang mau main sama lo.' 

Rasanya ingin sekali Arlin berkata seperti itu terang-terangan di depan perempuan yang berstatus sebagai pacar sahabatnya ini. Tapi tentu saja ia tidak akan mengibarkan bendera perang terhadap gadis di hadapannya. Ia masih cukup waras untuk memahami bahwa ia tidak punya hak untuk marah terhadap Lana, karena sejauh ini gadis itu memang tidak mempunyai salah apapun padanya.

"Gue di Taman Melati, emang gak terlalu jauh dari Logios tempatnya si Jeff, tapi gak bisa dibilang deket juga."

"Ohh lumayan sih itu. Kapan kapan boleh kan kalo aku main ke tempat kamu? Soalnya kamu keliatan deket banget sama Jeje. Aku jadi pengen deket juga sama kamu. Jeje tumben loh punya sahabat perempuan kayak gini, jadi aku penasaran kamu orang kayak gimana sampe bisa bikin Jeje yang udah punya pacar malah nempel terus gitu sama kamu. 

Setelah mendengarkan cerocos Lana, Arlin melongo sejenak sebelum kembali mengabsen seluruh penghuni kebun binatang di dalam hatinya. Entah dirinya yang terlalu mudah terpancing emosi atau gadis di hadapannya ini memang sedang mengibarkan bendera perang padanya. Arlin bukan orang bodoh yang tidak mengerti arti ucapan tersirat dari perempuan ini. Arlin sangat amat mengerti bahwa Lana kini sedang menyindir kedekatan antara dirinya dan Jeffrey. Rasanya ingin sekali Arlin salty dan memanas-manasi Lana untuk membalas semua perkataan itu. Tapi karena Arlin sangat menghargai persahabatannya dengan Jeffrey, gadis itu pun memutuskan untuk tidak mengibarkan bendera perang dan berpura-pura tidak mengerti dengan perkataan Lana. Untuk saat ini setidaknya, ia akan bersandiwara menjadi gadis lugu yang tidak pernah merasakan kekejaman dunia.

"Oh iya Lan, kalo mau main, main aja. Nanti kabar kabarin gue aja kalo mau ke tempat gue."

Tepat saat Arlin menyelesaikan kalimatnya, Jeffrey datang bersama sebuah nampan yang berisi satu cup vanilla latte, satu cup ice americano dan juga satu potong cheesecake. 

"Loh Je, aku kan gak suka keju." protes Lana tiba-tiba.

"Nggak sayang, ini bukan buat kamu. Cheesecake-nya buat Arlin, dia kalo belum makan cheesecake disini, tugas kuliahnya pasti gak bakal kelar." ucap Jeffrey sambil terkekeh melihat Arlin.

Arlin melongo memandangi cheesecake yang kini sudah terletak di depannya. Masih berusaha memproses seluruh kejadian barusan sebelum akhirnya mengucapkan terimakasih pada Jeffrey yang sekarang sudah duduk di samping Lana. Sedangkan Lana, ia sempat terdiam beberapa saat sebelum kembali memasang senyuman kembali di wajahnya.

"Kamu kayaknya tau banget soal Arlin ya Je."

Jeffrey hanya terkekeh menanggapi sebelum berkata, "Aku udah kenal Arlin dari awal nih bocah ospek. Wajar aja aku hafal kebiasaan dia."

"Bisa gitu ya. Padahal dulu kamu tanggal anniv kita aja bisa lupa hahaha."

---

Sudah sekitar 30 menit mereka bertiga mengobrol di kafe itu. Walaupun yang mendominasi obrolan kebanyakan hanya Lana dan Jeffrey. Arlin hanya tersenyum ataupun menanggapi sesekali. Laptop Arlin pun sudah ia tutup sedari tadi karena sepertinya sore ini ia tidak akan berhasil menyelesaikan tugas itu disini. Tidak dengan kedua sejoli di depannya yang sesekali berlaku mesra seakan dirinya hanyalah sebuah sedotan bekas pakai yang tidak perlu dihiraukan. Sebenarnya ingin sekali Arlin pergi dari situ dan berpura pura ada urusan mendadak. Tapi sebelum berhasil mencobanya, ia teringat dengan Jeffrey yang selalu hafal kebiasaannya yang jika tidak memiliki kegiatan kampus maka dirinya akan mengurung diri di kamar. Jeffrey pasti akan langsung tahu kalau ia berbohong. Jadi apa boleh buat, ia terpaksa harus berdiam diri disana menahan segala umpatan yang akan ia keluarkan nanti di apartemen.

"Je, kamu ada liat hp aku gak?" tanya Lana tiba-tiba seraya mengobrak-ngabrik isi tasnya.

"Gak ada, emang kamu tadi taruh dimana, Lan?"

"Ih kalo aku inget, gak bakal hilang kayak sekarang kali Je."

"Yaudah terus kamu maunya aku gimana sekarang." jawab Jeffrey seraya menghela nafas.

"Coba tolong cariin di mobil kamu dong Je, kayaknya ketinggalan di mobil deh tadi, atau keselip di jok. Tadi kayaknya aku jatuhin di jok pas benerin lipstik di mobil."

Jeffrey kembali menghela nafas sebelum menganggukkan kepalanya tanda bahwa ia menuruti pacarnya itu. Tak lama kemudian, punggung Jeffrey pun sudah tidak terlihat lagi dibalik pintu kaca cafe. 

Tentu saja itu membuat Arlin semakin malas berlama-lama dengan perempuan di depannya ini. Huft, setelah mengetahui bahwa Lana sepertinya sangat tidak menyukainya, ia semakin malas rasanya meladeni pacar sahabatnya ini. Apalagi saat ditinggal berdua seperti ini, Arlin rasanya ingin berubah jadi belalang sembah saja deh sekarang.

"Lin, cerita dong dulu awal kenal Jeje gimana." ucap Lana membuka topik baru dengan senyuman manisnya. Tak lupa, tangannya ia menyangga dagunya di atas meja seakan-akan sangat bersemangat untuk mendengarkan cerita Arlin.

Aduh, sepertinya setelah pulang dari sini, Arlin harus memeriksakan diri ke dokter, sepertinya ia memang mengidap darah tinggi setiap gadis di hadapannya ini berusaha memprovokasinya. Rasanya mendengarkan perempuan ini selalu memanggil Jeffrey dengan panggilan Jeje itu membuat Arlin semakin ingin membalikkan meja di hadapannya. Arlin tau sih dia tidak mempunyai hak dan alasan apapun untuk marah. Dan itu juga terserah Lana mau memanggil pacarnya dengan sebutan apa saja. Tapi ya namanya perasaan ini gak bisa dikendalikan hm, pikir Arlin dalam hati.

"Gak ada yang spesial sih. Gue kenal Jeff karena dulu dia kakak pembimbing kelompok ospek gue. Ya terus udah, gak ada terus - terus lagi."

"Emang iya? Tapi kok kalian keliatannya deket banget?"

"Kita deket mungkin karena kita sama-sama suka lagu-lagu slchld. Jadi karena selera musik kita sama, jadi nyambung aja. Jeff juga nganggep gue kayak adek perempuannya kok, jadi lo gak perlu… ya gitu."

Arlin sebenarnya tidak ingin melontarkan kalimat berbahaya yang akan memancing emosi Lana seperti itu di akhir perkataannya. Tapi tanpa sadar, sepertinya kesabaran gadis itu memang sudah habis untuk meladeni perempuan di depannya ini yang terus terusan menyerangnya, ya meskipun masih secara halus. 

Lana seketika tertawa mendengar perkataan Arlin. "Ohh nggak nggak hahaha, aku gak takut kok. Cuma aku penasaran aja kenapa Jeje bisa deket gitu sama kamu, pasti ada hal yang bikin kalian deket gitu kan makanya kalian bisa sedekat ini. Yah kamu tau kan akhir-akhir ini cewek ngelakuin apa aja biar bisa selalu deket sama cowok yang dia taksir, kayak ngasih badannya misalnya." ucap Lana santai sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

"Eh oh iya aku baru inget deh, kenapa kalian bisa deket banget. Ohh itu gara-gara kamu bisa ngeliat hantu gak sih? Si Jeje pernah cerita! Wahh bisa bisanya aku baru inget!"

Raut wajah Arlin yang sudah masam akibat sejak tadi berusaha mati-matian menahan emosi kini berubah menampilkan raut kagetnya. Apa tadi katanya? Jeff memberitahu Lana tentang kemampuan Arlin? 

Arlin yang sedari tadi menahan nafas, kini buru buru berusaha bernafas kembali secara normal. Gadis itu hanya tidak menyangka bahwa Jeffrey bisa-bisanya memberitahu orang lain terkait rahasianya itu yang padahal sejak dulu mati-matian Arlin dan Jeffrey tutupi di kampus. 

Bukan apa-apa, tetapi Arlin paling benci apabila ada orang asing yang mengetahui tentang kemampuannya ini. Gadis itu trauma. Ia tidak ingin kembali merasakan saat-saat itu, saat dimana ia harus dipermalukan di depan umum karena kemampuannya oleh teman-temannya. Bahkan Arlin rela pindah dan pergi jauh untuk memulai kehidupan barunya di kampusnya ini. Meski dengan resiko ia harus rela tinggal jauh dari mamanya. Bahkan, di kampus hanya Cherry dan Jeffrey yang mengetahui soal kemampuan gadis itu. Arlin hanya tidak ingin melewati masa-masa kelam itu lagi dimana ia harus menerima cacian dan hinaan karena dicap gila dan tukang cari perhatian oleh teman-teman sekolahnya. Bukan hanya itu, banyak juga kakak kelas dan guru-guru di sekolahnya yang memanfaatkan kemampuannya untuk kepentingan mereka dan diam-diam membicarakan Arlin di belakang gadis itu. 

"Eh kalo bisa liat hantu itu gimana sih? Berarti bisa ngeramal juga gak sih? Ih mau dong diramal. Kamu bisa ramalin aku juga gak Lin?" lanjut Lana.

Arlin menahan mati matian keinginan untuk membanting meja di depannya dan menyiramkan gelas berisi vanilla latte panas milik Lana ke wajah perempuan di hadapannya. Satu hal yang sangat tidak bisa arlin toleransi, ia sangat tidak suka apabila dianggap sebagai dukun, peramal atau apapun itu. Gadis itu muak. Sejak dulu, semua orang yang mengetahui kemampuannya ini baik padanya hanya agar bisa memanfaatkannya. Dulu, kakak-kakak kelas Arlin seringkali memaksanya untuk meramal mereka dan apabila ramalan gadis itu meleset sedikit saja, maka Arlin akan menjadi obyek rundungan mereka karena dianggap berbohong akan kemampuannya.

Padahal sebenarnya, Arlin bahkan tidak pernah mendeklarasikan bahwa ia adalah seseorang yang memiliki kemampuan khusus yang dapat melihat arwah, meramal ataupun menemukan keberadaan benda yang hilang. Semua itu bermula saat Arlin berada pada tahap penyesuaian dengan kemampuannya, dimana saat itu nenek Arlin baru saja meninggal dan menurunkan kemampuan khusus itu pada Arlin. Gadis itu yang baru saja menginjak bangku SMP tentu saja kaget bukan main dan kerap kali berteriak histeris setiap ada arwah yang muncul di hadapannya atau berusaha mengganggunya. Rumor pun menyebar ke seluruh penjuru sekolah, yang menyebabkan banyak kakak kelas dan teman-teman Arlin yang penasaran dengan gadis itu. Alhasil, tak sedikit warga sekolahnya yang meminta pertolongan gadis itu, entah memaksanya untuk meramal yang jelas-jelas tidak bisa Arlin lakukan, memaksanya untuk mencarikan kunci motor gurunya yang hilang dengan kemampuannya, dan juga mengusir hantu penunggu rumah temannya. Arlin terpaksa selalu menuruti keinginan mereka, karena gadis itu kira, mereka akan mau berteman dengannya bila ia melayani dan menuruti semua permintaan teman-temannya.

Awalnya semua orang bersikap baik pada gadis itu, namun sejak salah satu ramalan Arlin tentang percintaan yang diminta oleh kakak kelasnya meleset, semua orang mulai meragukannya. Sampai pada akhirnya, Arlin harus rela menjadi korban rundungan teman-teman dan kakak kelasnya. Mereka mengecap gadis itu sebagai tukang cari perhatian, pembohong dan orang gila. Padahal kalau gadis itu boleh jujur, sejak awal Arlin juga tidak ingin mempunyai kemampuan seperti itu dan membuat semua orang mengetahuinya. Memang apa yang bisa diharapkan dengan gadis SMP yang tiba-tiba berubah menjadi seorang indigo? 

"Lana sorry, tapi bisa gak kita ganti topik aja."

"Loh kenapa? Kamu gak mau ngeramal aku? Atau kamu gak bisa?"tanya Lana polos sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Atau kamu selama ini ternyata cuma pura pura indigo?"

Sudah cukup. Perempuan di hadapannya ini sudah melewati batas kesabarannya.

"Lan sorry, kayaknya gue mesti balik duluan deh. Adek gue tadi minta dijemput." BurU-buru Arlin membereskan semua barang barangnya yang berada di atas meja dan memasukan semuanya secepat mungkin ke dalam tas tanpa menjawab pertanyaan Lana sebelumnya.

"Kok gak jawab? Jadi bener lo selama ini cuma pura-pura biar bisa carper sama Jeffrey? Karena lo tau Jeffrey suka hal hal berbau kayak gitu?"

Kata-kata Lana tadi benar benar membuat Arlin ingin memasukan satu kilogram cabe rawit ke dalam mulut pacar sahabatnya itu.

"Lana, satu hal yang perlu lo tau. Mau gue beneran bisa ngeliat setan kek, atau gue emang cuma carper kek. Itu terserah gue. Tapi yang pasti, kalo gue emang mau carper sama cowok lo, sekarang lo pasti udah putus sama dia. Dan dari awal gue pasti gak bakal kasih tau soal kemampuan gue itu, karena hal itu cuma bakal bikin gue terlihat jadi cewek aneh. Satu lagi, gue sama sekali gak tertarik buat punya hubungan sama cowok lo. Jadi gue minta tolong, berhenti nganggep gue sebagai ancaman buat hubungan lo sama Jeff. Karena gue gak bakal ngerusak hubungan sahabat gue sendiri sama orang yang dia sayang."

Setelah mengatakan semua itu, Arlin segera bergegas keluar kafe tanpa menunggu Lana membalas perkataanya. Begitu Jeffrey berpapasan dengan Arlin di depan kafe setelah beberapa menit membongkar seisi mobilnya, berusaha mencari ponsel pacarnya yang belum juga ketemu, Arlin berhenti sejenak sebelum berkata bahwa ia harus pergi karena ada urusan mendadak. Jeff yang kebingungan itu beberapa kali memanggil nama sahabatnya itu namun tidak ditanggapi oleh Arlin. Setelah itu, ia kembali masuk ke dalam kafe untuk menemui Lana.

"Arlin katanya ada urusan mendadak. Tadi pas dia pamit, dia ada bilang apa-apa gak sama kamu?" tanya Jeff seraya mendudukkan bokongnya di kursi samping Lana.

"Oh iya tadi Arlin bilang mau jemput adeknya."

"Hah? Adek? Arlin gak punya adek."

"Adeknya hantu kali."

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status