Beberapa jam yang lalu… "Kamu… mau bantu saya?"Arlin mengangguk pelan, "Apa yang harus saya lakuin?""Kamu cuma perlu bawa foto janin dan ponsel saya ke orangtua saya. Itu satu-satunya cara supaya mereka bisa tau tentang kehamilan dan… kebenaran di balik kematian saya."Arlin mengangguk pelan, matanya masih berkaca-kaca dan hatinya kian diliputi rasa bersalah dan juga prihatin terhadap wanita di hadapannya."Kamu yakin mau bantu saya?"Iya, saya bakal bantu mbak." ucap Arlin dengan mantap. Walaupun ada beberapa hal yang mengganjal di pikiran gadis itu terkait kebenaran di balik kematian wanita di depannya, tapi Arlin tak memedulikannya. 'Gue cuma harus fokus membantu wanita ini, pikirnya'."Sekarang dimana foto dan HP mbak itu?""Di rumah saya."Setelah itu Arlin segera pergi ke rumah itu dengan arwah wanita tadi yang menuntun jalan. Sesampai mereka di sana, Arlin mengerutkan keningnya melihat teras dan halaman rumah bernomor dua belas itu yang terlihat sangat kotor seperti sudah la
Sayup-sayup suara burung terdengar, gadis yang tengah berbaring di atas tempat tidur itu beberapa kali tampak mengernyit saat sinar matahari mulai menyilaukan matanya yang masih setengah terpejam. Arlin berguling ke sebelah kanan tempat tidur, berusaha meraba-raba jam kecil yang biasa diletakan di meja sebelah kanan tempat tidurnya masih dengan matanya yang terpejam. Kening gadis itu mengernyit saat telapak tangannya tidak menemukan apa yang ia cari. Perlahan Arlin membuka matanya, beberapa kali dia mengerjapkan matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya di ruangan itu. Kemudian mata gadis itu menyapu seluruh penjuru kamar yang jelas-jelas bukan kamar miliknya di apartemen.Mata gadis itu membulat beberapa saat, hampir saja Arlin berteriak histeris saat tiba-tiba ingatan semalam muncul di kepalanya. Oh astaga… gadis itu baru ingat kalau semalam dirinya menginap di rumah Jevan. Atau lebih tepatnya rumah kakak Jevan? Entahlah.Arlin lantas bangun dari posisi tidurnya dan segera beranj
Di sebuah ruangan berukuran kecil itu, tampak seorang perempuan sedang duduk di salah satu kubikel toilet sambil menghentak-hentakan kakinya. Wajah gadis itu sangat mungil dengan hidung bangir dan matanya yang bulat, semakin membuatnya terlihat manis. Sesekali gadis itu menggerakan bibir mungilnya sebagai tanda bahwa ia sedang merapalkan suatu kalimat. Sudah berulang kali juga gadis itu menghela napas dalam, terlihat begitu frustasi membaca kertas kecil digenggamannya seraya masih menggerakan bibir dan kakinya seirama."Teori agensi adalah teori yang.. duh apa ya, ah anjir lah dari tadi gak masuk masuk nih materi."Sambil membolak-balikkan secarik kertas di genggamannya, ia kembali memejamkan matanya sebagai harapan agar ia berhasil menghafal seluruh kalimat yang ada pada kertas tersebut.Namun, belum sempat gadis itu membaca lagi isi kertas tersebut, pintu kubikel to
"Besok pagi Lana nyampe Jakarta."Arlin terdiam sejenak, berusaha membuang jauh jauh perasaan aneh yang akhir - akhir ini kerap kali muncul. Cepat - cepat ia menampilkan raut wajah datar andalannya."Oh ya? Ya udah sans lah, gue kan bisa pake ojol.""Beneran gapapa? Sorry ya Lin.""Ih yauda si, lo mah kek sama siapa aja. Udah ah lanjut nonton lagi aja kita.""Sorry Lin tapi kayaknya gue balik sekarang deh.""Lah, kenapa lagi?""Gue mau bersihin apart gue deh, lo tau kan bentukan apart gue kalo lo belum mampir ke apart gue, hehe.""Tumbenan bersihin apart, kesambet apa lo? Biasanya juga yang disuruh bersihin gue.""Yakali Lin, gue gak setega itulah buat nyuru lo bersihin apa
Arlin kini sedang duduk di sebuah kafe sambil sesekali menyeruput hot caramel macchiato-nya. Sesekali ia akan mengedarkan pandangan ke seluruh kafe memperhatikan sekitarnya. Saat ini, kafe yang sering ia datangi bersama Jeffrey itu terlihat cukup ramai. Semua bangku terlihat sudah ada yg menempati. Entah ini sudah keberapa kalinya Arlin menghela nafas. Arlin sebenarnya tidak terlalu suka keramaian seperti ini saat mengerjakan tugas.Tapi apa boleh buat, hanya caramel macchiato di cafe ini yang dapat membuat arlin jatuh cinta dan semangat mengerjakan tugas kuliahnya yang semakin lama semakin menggunung. Biasanya kalau ada Jeffrey, laki-laki itu akan menemani Arlin mengerjakan tugas di kafe ini sambil sesekali melontarkan candaan yang membuat gadis itu kembali bersemangat mengerjakan tugas. Tapi sayangnya sekarang, Jeffrey pasti sedang menikmati waktu bersama pacarnya. Huft mengingat itu, Arlin rasanya in
"Adeknya hantu kali."Jeffrey terdiam sejenak, sebelum bertanya pada Lana pelan. "Lan, kamu gak ada ngomong macem macem sama Arlin kan?""Gak ada lah. Emang aku mau ngomong apa coba.""Kamu.. gak ada nyinggung-nyinggung soal Arlin yang indigo itu kan?"Lana mengangkat sebelah alisnya sejenak sebelum menjawab pertanyaan Jeffrey."Emang kenapa kalo aku bawa bawa soal itu depan Arlin? Emang bener kan? Kan kamu sendiri yang bilang sama aku."Jeffrey menutup matanya, berusaha mengendalikan diri dengan menghela nafas dalam. Lana yang melihat raut wajah cowoknya seperti itu mau tak mau harus buka suara membela diri lebih jauh lagi sebelum gadis itu terkena semprotan dari Jeffrey."Je, aku gak ada nyinggung-nyinggung itu kok. Aku tadi cuma nanya gimana ceritanya k
Setelah berpisah dengan mbak mbak tanpa pergelangan tangan di pertigaan koridor fakultas ekonomi. Arlin melangkahkan kakinya ke arah lobi sambil merutuk beberapa kali dalam hati. Duh kenapa jadi begini sih, kenapa juga Arlin harus susah - susah membuang waktu dan tenaganya yang berharga hanya untuk mengantarkan barang titipan Tetehnya Haikal. Sebenarnya Arlin dan Haikal kalau dibilang dekat juga tidak, ya walaupun mereka memang lumayan sering bersama saat awal ospek. Tapi setelah ospek selesai, Haikal dan Arlin masuk kelas yang berbeda, jadi mereka sudah tidak terlalu sering bertemu, hanya terkadang berpapasan sesekali di koridor sambil saling menyapa.Sekali lagi Arlin menghela nafas, ya sudahlah mungkin sekali kali ia memang harus berbuat kebaikan. Padahal perut Arlin dari tadi sudah meraung-raung meminta makanan. Namun sebenarnya bukan hanya itu yang membuat Arlin sebegitu malasnya pergi ke kantin fakultas teknik. Masalah terbesarnya adalah ment
"... Jevan gue boleh jadi pacar lo gak...?" Jevan yang berada di sebelahnya mendecakkan lidahnya sambil memandang Arlin horor. Seumur-umur baru kali ini cowok itu menerima pernyataan cinta dari orang yang baru dua kali ia temui. Meskipun sebenarnya, Jevan sudah tidak asing untuk menerima pernyataan cinta dari para kaum hawa seperti ini. Tetapi sebenarnya permasalahan di sini adalah perubahan tingkah laku gadis itu yang sangat jauh berbeda dari yang cowok itu ketahui membuat laki-laki itu berjengit memandangi gadis di sebelahnya. "Lo suka sama gue?" Arlin mengerjapkan matanya beberapa kali setelah mendengar pertanyaan Jevan, sebelum menjawab dengan tegas. "Nggak."