Violet menatap ke sekelilingnya. Perasaan takut memeluk erat dirinya tiap kakinya melangkah.
Dia tidak tahu dimana dirinya berada. Saat Violet membuka mata, tahu-tahu dirinya sudah berada di sebuah tempat yang terlihat aneh sekaligus menyeramkan.
Entah apa sebutan yang tepat untuk tempat ini. Sejauh mata memandang, hanya ada tanaman hitam setinggi pinggangnya, seolah-olah tumbuhan itu dapat mengikat tubuhnya kalau Violet tidak menginjakkan kaki dengan hati-hati. Belum lagi dengan warna aneh langit tempat ini, oranye kemerahan seperti sedang dibakar oleh bara api.
"Sebenarnya gue dimana, sih?" Gumam gadis itu, entah untuk ke berapa kalinya. Kedua tangan yang memeluk diri serta jantung yang terus berdegup, menandakan betapa ketakutannya gadis itu.
Matanya berkaca-kaca, "Mau pulang..." cicitnya.
"Pulang?"
Mata Violet membulat kaget,
Angin malam yang menyejukkan. Bukan hanya tubuhnya yang sejuk tetapi hati dan pikiran yang akhir-akhir ini kusut pun ikut merasakan angin malam yang begitu menenangkan. Gadis yang mengenakan pakaian pasien itu berdiri di dinding pembatas atap rumah sakit. Ingin menikmati indahnya malam karena tidak bisa tidur.Atap rumah sakit ini dibuat seperti taman. Sangat indah, membuat Violet sering menjadikan taman ini tempat bersantai dan menghilangkan bosan serta rasa kesepian yang menghampiri. Dan malam ini, hanya ada dirinya sendirian di taman atap rumah sakit.Ya, Violet kembali merasa kesepian karena kesibukan kedua orang tuanya. Ayahnya yang gila kerja, ditambah ibunya yang biasanya selalu berada di sisinya semenjak kejadian pengasuh itu pun terpaksa harus mengurus perusahaan peninggalan sang kakek yang sedang dalam keadaan kacau balau karena ada beberapa pegawai tak bertanggung jawab menggelapkan dana yang jumlahnya tidak sedikit.
"Kenapa kamu terus aja nyabut infus kamu Violet? Keadaan kamu belum baik-baik aja. Tolong jangan bikin Mama sama Papa khawatir disaat kami enggak ada!" Violet yang sedang bersender di punggung tempat tidur rumah sakitnya acuh tak acuh mendengarkan ibunya yang kini sedang berada di puncak emosinya. Yang gadis itu lakukan hanya menatap ke luar jendela, melamun. "Lihat Mama!" Bentak wanita itu sekali lagi membuat Violet terpaksa menatap matanya dengan malas. Gadis itu menghela nafasnya pelan, "Ma, kepala aku pusing. Udah dong ngomelnya." Ujarnya beralasan, padahal dia tidak merasakan sakit sama sekali. Dia hanya ingin beristirahat. Vina memijit pelipisnya tanda kalau dia lelah, "Tolong Mama kali ini aja, Violet. Mama tahu seharusnya sekarang Mama temenin kamu di sini. Tapi keadaan perusahaan sedang benar-benar enggak bisa ditinggal. Mama minta pengertian dari kamu."
Ruangan Violet begitu gelap. Gadis itu sulit melihat, hanya dapat melihat samar-samar karena cahaya bulan purnama yang masuk melalui celah-celah gorden jendela yang tidak tertutup rapat.Gadis itu yakin kalau dia tidak berada di kamar inapnya yang tadi siang dia tempati. Tapi brankar kasur ini yang membuatnya masih yakin kalau dia tetap berasa di rumah sakit. Tapi itu tetap tidak mengurangi rasa takutnya.Selain tidak dapat melihat dengan jelas, Violet juga tidak dapat bergerak. Saat bangun, tahu-tahu tangan dan kakinya sudah diikat kencang dengan tali. Suaranya bahkan sudah serak karena daritadi terus berteriak memanggil seseorang, tapi tetap tidak ada yang datang. Violet takut, sebenarnya dia ada di ruangan apa, sih?"Lo tahu ini ruangan apa?"Suara itu lagi. Kali ini Violet tidak akan menjawab suara aneh itu."Lo dibawa ke bagian kejiwaan. Mereka semua ngira kalau
Suara air yang jatuh dari langit beradu dengan tanah itu sangat berisik. Tapi El menyukai udara sejuk akibat hujan ini. Pria itu berdiri dengan segelas wine ditangan, menghadap jendela yang terbuka lebar. Baju bagian depannya sudah lembab akibat hujan yang memaksa masuk dari jendelanya. Tapi dia tidak peduli, dia hanya ingin menikmati ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan ini. Pria itu meminum wine nya. Ah, benar. Rasanya sudah lama sekali dia tidak sesantai ini. Dia selalu pusing memikirkan takdir macam apa yang terikat antara dirinya dan Violet. Tapi beberapa hari ini sungguh menenangkan tanpa rasa sakit yang menderanya seperti seminggu yang lalu. "Benar, Violet. Kamu tidak seharusnya banyak tingkah." Gumamnya pada angin yang membawa hujan. Tangan kekar itu mengangkat gelas wine ke atas, lalu dia menggerakkan tangan dan kakinya. Pria itu menari. Seperti menari dengan seseorang, tapi nyatanya dia hanya
"Bobi!"Bobi yang merasa terpanggil pun menoleh. Ternyata si aneh El yang memanggilnya. "Kenapa?""Kamu saja yang ajak dia keliling sekolah." Suruh El sambil menunjuk Lucy dengan dagunya.Lucy pun merengut masam. "Kan lo yang disuruh anterin gue keliling sekolah." Rengek gadis itu.Bobi malah tersenyum senang. Pria itu menaik-turunkan alisnya saat menatap Lucy, "Eneng Lucy sama akang Bobi aja. Si El itu anaknya aneh."El tampak tak peduli. Dia malah pergi ke kantin ingin membeli sesuatu untuk dijadikan cemilan. Kalau dia mengantar gadis itu berkeliling yang ada dia tidak dapat bersantai. Tapi langkahnya terhenti begitu saja karena Lucy menarik tangannya."Lo engga ingat, ya? Gue yang lo tabrak kemarin di rumah sakit." Gadis itu menunduk, memperhatikan sepatunya. "Sebagai permintaan maaf, kenapa ngga lo aja yang ajak gue keliling sekolah?"&
Hari-hari Violet lalui hanya dengan berdiam diri. Dia hanya mau berkomunikasi dengan psikiater nya. Kegiatan lainnya adalah dia makan teratur dan minum obat, lalu saat perawat sudah pergi dia muntahkan obat itu. Orangtuanya seperti yang sudah diberi tahu, tidak boleh menjenguknya. Selain itu kerjanya hanya melamunkan nasibnya. Violet kini sudah menganggap kesepian itu sebagai bagian dari dirinya. Tidak ada suara misterius yang menemaninya, membuat Violet merasa lebih tenang daripada sebelumnya. Dia masih tidak habis pikir mengapa El membantunya. Gadis itu yakin sekali kalau El tidak membantunya secara gratis. Rasa takut akan apa yang harus dia bayar menghantuinya sedikit. Suara kunci yang terbuka membuat Violet mengalihkan pandangannya dari dinding. Langkah kaki terdengar mendekat, membuatnya melirik siapa yang memasuki ruangannya. Walau dia tahu siapa itu. "Waktunya minum obat."
Mobil sedan berwarna hitam itu melaju dengan pelan. Membelah jalanan yang dipenuhi hujan. Alam seolah tidak begitu senang menyambut kepulangan Violet dari rumah sakit. Karena begitu dia menginjakkan kakinya di teras rumah sakit, hujan begitu lebat pun turun membasahi bumi.Suasana di mobil ini sedikit canggung. Tapi Violet tidak peduli dan sibuk berkelana dengan pikirannya. Benar kata El, tepat 10 hari setelah mereka ciuman, tidak ada suara aneh yang menganggu serta dia benar-benar dipulangkan ke rumahnya."Vio mau makan apa?" Tanya Erik berusaha memecahkan keheningan yang membuat mereka makin canggung.Tapi gadis itu enggan menjawab dan memilih melihat pemandangan dari kaca mobil. Jarinya memainkan embun yang ada di kaca jendela itu. Membuat pola abstrak di sana."Kenapa kalian nggak jenguk aku?" Tanya gadis itu akhirnya, masih membuat pola abstrak di kaca jendela.&nb
Tepat beberapa saat setelah bel istirahat pertama berbunyi, Violet langsung menarik lengan El dari tempat duduk mereka tanpa berkata sepatah kata pun dengan raut wajah dingin. Teman-teman sekelas mereka masih sibuk menggoda status baru mereka, bahkan saat Violet yang menarik tangan El pun teman-teman sekelasnya heboh bukan main."Kamu mau ajak saya kemana?" Tanya El santai, masih mengikuti Violet yang menarik tangannya dengan terburu-buru.Gadis itu hanya diam, tidak mau menjawab. Kepalanya sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri mencari tempat yang sepi. Lalu kembali berjalan ke arah gudang yang dulu menjadi tempat Andre bunuh diri.Violet mendorong El ke dinding dan mengurung pria itu dengan kedua telapak tangan yang dia tempelkan di dinding, tepat di samping tubuh El. El tertawa keras melihat tampang serius Violet, dan sepertinya ada marahnya juga?"Apa tujuan lo yang sebenarnya?!" Be