Mulut Elaine menganga, matanya membulat. Dia benar-benar terkejut dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh teman kerjanya.
“Dari tadi dia juga lihatin terus ke sini. Lebih tepatnya lihatin lo terus,” ucap Celine. Dia mengangkat dagunya, menunjuk ke arah Darell yang sedang duduk tak jauh dari mereka.
Elaine membalikkan badannya perlahan, mencoba melihat ke arah yang ditunjuk Celine. Tapi saat itu Darell sedang tidak melihat ke arahnya. Laki-laki itu sedang mengobrol dengan salah satu karyawan.
“A-apaan? Di-dia nggak lihat ke sini, tuh!” sanggah Elaine dengan ucapan yang terbata-bata.
“Sekarang sih nggak, tapi dari tadi dia ngeliatin lo terus.” Celine memicingkan matanya. “Bener, kan? Lo pasti ada hubungan sama direktur ki
“Shei, dokumen sudah saya tandatangani semua.” Darell sedang melakukan panggilan dengan telepon kantornya. Dia memberi tahu pada sang sekretaris, kalau dokumen yang tadi pagi menumpuk di mejanya, sudah dipelajari dan dia tandatangani. “Oh, baik. Saya ke ruangan bapak,” balas Sheila, lalu panggilan itu dimatikan. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. “Masuk,” ucap Darell. Sheila datang dan berjalan menuju meja Darell. Perempuan itu mengambil dokumen yang baru saja ditandatangani Darell. Lalu dia membungkuk sebelum akhirnya berbalik badan. “Shei,” panggil Darell. Sheila langsung kembali menoleh dan membalikkan badannya, ketika atasannya itu memanggilnya. “Iya. Ada y
Elaine merentangkan kedua tangan ke atas, menggeliat, mencoba merelakskan otot tubuhnya yang terasa tegang. Kemudian dia melirik ke arah jam yang terpasang di dinding ruang kerjanya. Gadis itu menghela napas.“Ah, sudah jam setengah sembilan,” gumam Elaine. Di depannya masih ada Fathan yang sama-sama sedang lembur. Elaine mencoba mengintip pada kubikel rekan kerjanya itu. “Mas, udah selesai?” tanya Elaine.“Hah?” Fathan menyahut tapi tanpa melihat ke arah Elaine. Pandangannya masih fokus pada layar komputernya. “Sedikit lagi. Kamu sudah selesai?” tanya Fathan.“Sudah. Aku kirim file ke Mas Fathan, ya. Biar diperiksa dulu,” usul Elaine.“Iya, kirim aja,” timpal Fathan.Elaine kembali mendaratkan bokongnya yang tadi setengah terangkat dari kursi. Dia menarik napas dalam, kemudian langsung mengirimkan file pada e-mail Fathan. Melihat Fathan bekerja sangat keras, membuat Elaine jug
Klek.Darell menoleh ketika mendengar suara dari arah pintu kamarnya. Matanya perlahan membulat, saat melihat sosok perempuan keluar dari kamar tersebut. Berbalut dress berwarna biru, sepatu dan tas berwarna putih, juga rambut yang dikuncir kuda setengah dengan gaya pelintiran. Menambahkan kesan anggun pada perempuan itu.Mata Darell benar-benar tak berkedip, saat mendapati kekasihnya sedang berdiri dengan sedikit canggung. Darell beranjak, kemudian mendekat ke arahnya. Gadis itu terlihat sangat gugup. Mendudukkan kepalanya, sambil menyibak helaian rambutnya ke belakang telinga.“You’re so beautiful,” puji Darell. Maniknya itu tak lepas menatap Elaine. Dia sangat suka ketika melihat kekasihnya mengenakan dress selutut dan mengenakan riasan yang natural. Auranya benar-benar terpancar.
“Mba, itu pesanannya sudah ada.”Seseorang dengan suara bassnya menepuk pundak Elaine, sontak membuat gadis itu terperanjat, tersadar dari lamunannya. Dengan canggung dia tersenyum ke arah kasir yang tadi melayaninya.Elaine mengambil nampan yang berisi makanan cepat sajinya. Saat dia berbalik, dia terkejut dengan sosok yang ada di belakangnya. Ternyata laki-laki itu tadi yang menegur dan menepuk pundaknya.“Loh, Kale?”“Elaine? Oh, jadi yang tadi bengong aja elo,” timpal Kale yang ternyata sama-sama tak mengetahui keberadaan masing-masing.“Ah, i-iya. Sorry, ya. Kalau gitu gue ke sana dulu, ya.” Elaine menunjuk ke salah satu bangku yang kosong. Lalu dibalas dengan sebuah anggukan oleh Kale.“Ah.” Elaine mendesah saat dia sampai di tempat duduknya. Bisa-bisanya tadi dia melamun, sampai tidak sadar dengan sekelilingnya.Tadi saat Elaine hendak keluar dari gedung tempatnya beke
Elaine memoles bibirnya dengan lipstik warna nude. Kemudian merekatkan bibir atas dan bawahnya, agar terlihat merata. Dia merapikan pita yang menempel di kerah bajunya. Menatap ke arah cermin, memastikan kembali bahwa penampilannya sudah sempurna.“Itu kemeja yang beli beberapa bulan lalu, kan?” tanya Darell yang baru saja masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu baru saja mandi, rambutnya basah, dan hanya mengenakan handuk sebagai penutup bagian bawah tubuhnya.“Iya. Maaf, ya, baru sempet aku pakai,” timpal Elaine.Kemeja berwarna soft lavender yang sedang dikenakan oleh Elaine adalah pemberian dari Darell. Padahal mereka membeli kemeja ini sudah dari beberapa bulan yang lalu. Namun, Elaine baru mengenakannya hari ini.“Darell, aku udah masakin nasi goreng seafood. Aku berangkat duluan, ya. Soalnya bakal ada briefing.”Elaine beranjak dari kursi rias. Lalu mengecup pipi Darell sebelum akhirnya dia melesat, meninggalk
Darell seolah terpaku di tempat. Dia tidak berkutik sedikit pun, saat melihat sosok perempuan itu di depannya. Jantungnya kini berdegup kencang, lututnya pun melemas, sampai dia tak sanggup untuk berdiri dari tempatnya.“Boleh aku duduk?” tanya perempuan itu.“Hum?” Darell seketika tersentak. “Si-silakan,” katanya.Ah, sial! Kenapa Darell jadi gugup saat melihat sosok perempuan itu? Dia mencoba menarik napas dalam. Mengontrol emosinya yang mendadak tak karuhan.Perempuan itu mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Kemudian dia menatap ke arah Darell yang masih duduk di kursinya.“Kamu masih ingat aku, kan?” tanya perempuan itu memastikan.Darell hanya mengangguk sambil. Menarik sudut bibirnya. “Ada apa kamu ke sini? Dan... maksudnya apa kamu bilang pada sekretarisku, kalau kamu pacarku?” dengus Darell. Dia mencoba melakukan pertahanan pada dirinya.Jujur, saat melihat pere
Darell memutuskan untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Tadi dia sempat berkunjung ke perusahaan ayahnya. Tapi menurut sekretarisnya, ayahnya sedang tidak masuk kerja. Dia ingin meminta penjelasan ayahnya yang tiba-tiba mengajukan Chelsea sebagai brand ambassador produk miliknya.Sesampainya di rumah besar itu, Darell langsung melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Dia langsung membuka pintu rumah itu dengan tak sabar.“Mas, ada apa?” tanya Bi Tuti yang terkejut dengan kedatangan Darell.“Papa mana?” tanya Darell dengan nada kesal.“Tuan ada di belakang, Mas. Ada apa ya, Mas?” Bi Tuti kembali bertanya. Dia harus memastikan tujuan kedatangan Darell.Namun sayang, Darell tak menggubris pertanyaan Bi Tuti. Laki-laki itu langsung berjalan menuju belakang rumahnya. Dia tahu pasti ayahnya sedang bersantai di sana.“Papa, maksud Papa a—”Ucapan Darell terhenti, ketika melihat Pandu sed
Darell merasa gusar sekarang. Apa yang harus dia lakukan? Sepertinya moto hidup adalah pilihan tidak berlaku untuk Darell saat ini. Pasalnya dia tidak memiliki pilihan yang baik sama sekali. Semuanya sama saja, membuat Elaine terluka.Ponsel Darell bergetar, matanya melirik ke atas meja. Sebuah notifikasi pesan muncul dan ternyata itu dari ayahnya. Dengan berat hati Darell meraih benda pipih itu, lalu membuka pesan tersebut.Papa: Minggu depan jangan lupa datang ke acara pernikahan kakakmu. Jangan bawa cewekmu itu, tapi datang bersama Chelsea. Kamu tahu, kan, konsekuensi kalau kamu tidak menuruti perintah Papa?Rahang Darell mengetat ketika membaca pesan itu. Hatinya terasa panas ketika membaca pesan tersebut. Ingin dia mencaci maki sang ayah, tapi dia tahu resikonya seperti apa.“Darell?” panggil Elaine. Tanpa disadari Elaine sedang duduk tepat di sampingnya. “Are you ok?” tanya Elaine.&ld