 เข้าสู่ระบบ
เข้าสู่ระบบKisah cinta seorang gadis liar dan pria matang. Aluna Briana Erlangga tak pernah menyangka pertemuannya dengan Kenzo Pradipta, seorang pria dewasa yang usianya hampir menyamai ayahnya, akan menyeret mereka pada sebuah kisah cinta tersembunyi. Luka lama dan kurangnya perhatian dari Andreas, ayah Aluna, membuat gadis itu begitu mudah jatuh hati. Terlebih lagi, Kenzo selalu memperlakukannya dengan penuh kelembutan. Akankah mereka bisa bersatu jika suatu saat ayahnya Aluna mengetahui hubungan tersebut?
ดูเพิ่มเติมKerusuhan yang cukup sengit pecah di sebuah club malam. Musik berdentum keras, lampu warna-warni berputar cepat, namun semua perhatian teralihkan pada sosok gadis muda yang berdiri di tengah kerumunan dengan wajah merah padam.
Aluna Briana Erlangga, gadis liar yang sudah terkenal di lingkaran malam itu, kembali membuat ulah. Malam ini ia memang datang dalam keadaan hati tak baik, lalu ditambah dengan alkohol yang membakar darahnya. Seseorang tak sengaja menyenggolnya, dan itu sudah cukup memantik api. “Oh wow … Aluna. Si wanita m*rahan yang sering menggoda pacar orang,” seru seseorang yang kerap dipanggil Jennaira, berdiri di tengah-tengah antara Aluna dan seseorang yang baru saja menyenggolnya. “Minggir! Aku tak ada urusan denganmu" teriak Aluna, matanya menyala. Namun alih-alih menyingkir, Jenna malah menambah suasana semakin kacau dengan mendorong Aluna yang tubuhnya tampak sempoyongan. “Sudah kubilang minggir!” sentak Aluna seraya bangkit. “Kau akan menyesal karena sudah ikut campur.” Jenna tersenyum sinis, ia meminta wanita yang baru saja bertengkar dengan Aluna untuk pergi. Jenna memang ahlinya menyulut emosi orang lain, terutama Aluna. Ia tak suka karena kekasihnya sering kali ketahuan memperhatikan Aluna secara diam-diam. "Pantas saja ibumu mati. Dia pasti malu lihat anak macam kamu. Hidup cuma tahu bikin rusuh." Darah Aluna mendidih seketika. Ia sudah terbiasa disebut liar, kasar, bahkan tak tahu aturan. Tapi menyebut ibunya? Itu garis merah yang tak bisa ditoleransi. Ia menunjuk wanita itu dengan tangan gemetar menahan amarah. "Jangan pernah bawa ibuku dalam urusan ini!" Wanita itu malah tertawa keras, suaranya menusuk telinga. "Kenapa? Apa dia seorang p*lacur sampai kamu nggak berani aku sebut di depan orang-orang?" "Kurang ajar!" desis Aluna. Tanpa pikir panjang, ia meraih botol minuman di meja, lalu melemparkannya tepat ke kepala wanita itu. Suara pecahan kaca bercampur teriakan kaget membahana di dalam club. Jenna terhuyung lalu ambruk tak sadarkan diri, darah menetes dari pelipisnya. Pengunjung lain menjerit, beberapa mundur ketakutan, sebagian mengeluarkan ponsel untuk merekam. Dua orang satpam segera menghampiri, menahan Aluna yang sudah hendak mengambil botol kedua. "Lepaskan aku! Orang itu harus sujud di kaki ibuku! Aku akan b*nuh dia malam ini juga!" teriak Aluna, tubuhnya memberontak. Namun satpam-satpam itu sudah terbiasa menghadapi keributan. Mereka menyeret Aluna keluar dengan kasar. Hingga di ambang pintu, salah satu mendorongnya begitu keras sampai nyaris ia terjerembab di lantai trotoar. Untungnya, seseorang datang tepat waktu. Sebuah tangan kokoh menangkap tubuh Aluna sebelum ia benar-benar jatuh. Seorang pria tinggi dengan wajah tampan dan aura dingin menatap dua satpam itu dengan sorot penuh tekanan. Dialah Kenzo Pradipta, pria matang yang datang malam itu hanya untuk mencari ketenangan, namun malah terseret dalam masalah besar. "Kenapa harus kasar begitu?" tanya Kenzo, nadanya tegas, tajam, seolah memaksa mereka menjawab. Satpam itu agak panik, menelan ludah sebelum berkata, "Tuan, gadis ini membuat kerusuhan. Salah satu tamu kami harus dilarikan ke rumah sakit setelah kepalanya dihantam botol. Kami nggak bisa ambil risiko membiarkannya terus di dalam." "Dia perempuan. Bukan alasan untuk memperlakukannya sampai nyaris jatuh. Tugas kalian menjaga keamanan, bukannya malah seperti ini." Tatapan Kenzo begitu dingin hingga membuat dua pria besar itu menunduk. Mereka hanya bisa terdiam, tak berani membalas. Tanpa banyak kata lagi, Kenzo meraih tubuh Aluna yang masih setengah mabuk, lalu mengangkatnya ke dalam mobil mewah miliknya. Malam itu, niat Kenzo menikmati waktu tenang di club buyar begitu saja. Tapi anehnya, ia tak menyesal. Di dalam mobil, Aluna tampak tak berhenti cekikikan. Sesekali ia mengusap dada bidang Kenzo dengan jemarinya, membuat pria itu menghela nafas berat. "Aku sadar loh, Om," ucap Aluna dengan suara serak tapi menggoda. "Kok Om nggak kegoda, sih?" Kenzo tetap menatap lurus ke jalan. "Kendalikan dirimu, Nona. Kau akan menyesal kalau sesuatu dalam diriku bangkit karena kelakuanmu." Suaranya rendah, dalam, membuat bulu kuduk Aluna meremang, namun ia malah semakin tersenyum. Alih-alih berhenti, gadis itu justru melingkarkan tangannya pada lengan Kenzo. "Begini saja, Om. Aku lebih nyaman." Ia bersandar, menempelkan kepala di bahu Kenzo. Kenzo menahan diri sekuat tenaga. Ia tahu Aluna sedang mabuk, dan ia juga tahu betapa rapuhnya batas yang sedang ia jaga. Tak lama, gadis itu tertidur pulas, meninggalkan Kenzo dengan pikiran yang terus bergejolak. Sesampainya di rumah megah Kenzo, beberapa pekerja rumah langsung terperangah. Jarang sekali mereka melihat sang majikan membawa seorang perempuan, apalagi gadis muda seperti ini. Beberapa saling berbisik, namun segera diam ketika tatapan dingin Kenzo menyapu mereka. "Siapkan air hangat, bawa ke kamar tamu lantai atas," perintah Kenzo pada kepala asisten, seorang wanita paruh baya yang sudah siap berdiri di ambang pintu. “Baik, Tuan!” balasnya disertai senyuman seperti biasa. Kenzo lalu membaringkan Aluna di ranjang kamar tamu. Rambutnya berantakan, pakaiannya sudah tak karuan, membuat Kenzo sesaat menelan ludah. Ia hendak bangkit, tapi tiba-tiba Aluna membuka mata setengah sadar, lalu melingkarkan tangannya di leher Kenzo. "Om nggak mau temani aku?" bisiknya manja. Kenzo terdiam, menatap mata sayu itu. Jarak mereka nyaris membuat hidung bersentuhan. Ia bisa saja kehilangan kendali saat itu juga, namun sebelum ia menjawab, pintu terbuka. Kepala asisten masuk dengan membawa baskom berisi air hangat. "M—maaf, Tuan!" ucap wanita itu sambil buru-buru menunduk. Kenzo langsung berdiri. "Tak apa. Tolong buat dia nyaman. Aku harus ganti pakaian." Sang kepala asisten mengangguk cepat, lalu mulai merawat Aluna yang akhirnya terlelap lagi. Sementara itu, Kenzo melangkah ke kamarnya sendiri, dengan dada terasa sesak. Ia sadar, sesuatu baru saja berubah dalam hidupnya. Malam berlalu begitu cepat, Aluna terbangun ketika merasakan tenggorokannya begitu kering. Perlahan ia membuka mata, dan mendapati dirinya berada di kamar yang asing. "Semalam ... siapa yang menolongku?" gumamnya. Ia bangkit dengan malas, mengucek mata, lalu duduk sambil menatap sekeliling. Kamarnya luas, dinding putih bersih, ranjang besar dengan sprei abu-abu yang wangi. Lampu temaram di sudut ruangan membuat suasana terasa mewah sekaligus menenangkan. Aluna perlahan turun dari ranjang. Pakaiannya masih rapi, walaupun rambutnya kusut acak-acakan. Ia lalu berjalan ke arah pintu, sedikit ragu, tapi rasa penasarannya lebih besar. Begitu pintu terbuka, seseorang sudah berdiri di sana. Mata Aluna langsung berbinar melihat sosok pria matang dengan tubuh tegap, kulit eksotis, brewok tipis, dan tatapan tajam yang menusuk. Sejenak ia hanya terpaku, bahkan tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. "Ada yang salah denganku, Nona?" suara pria itu dalam, berat, penuh wibawa.Sementara itu, di rumah Kenzo, aroma daging panggang mulai memenuhi dapur. Aluna berdiri canggung di samping meja makan, menatap lelaki itu yang kini mengenakan kaos hitam dan celana bahan abu gelap. Lengan kekarnya tampak jelas setiap kali ia mengaduk saus di panci. “Om … ternyata beneran bisa masak sendiri,” ucap Aluna pelan, setengah kagum, setengah tak percaya. Kenzo menoleh sedikit, menatapnya dari balik bahu. “Kau pikir aku cuma bisa kerja dan menyetir mobil?” senyumnya muncul samar, lalu kembali fokus pada wajan. “Aku pikir Om tipe yang tinggal duduk, terus ada pelayan nyiapin semua,” sahut Aluna, berusaha terdengar santai. “Kalau semua dilakukan orang lain, apa gunanya punya tangan?” jawab Kenzo tenang. Ia menyalakan api kecil, lalu menuangkan saus cokelat ke piring daging yang sudah tertata rapi. Aluna memperhatikan setiap gerakannya. Entah kenapa, cara Kenzo memotong daging, mengaduk saus, bahkan menaruh garam di ujung jari saja terlihat seperti adegan dari film ya
Aluna masih membelalak, belum sempat menelan ludah ketika seorang asisten rumah tangga tiba-tiba muncul dari arah dapur sambil membawa nampan berisi gelas dan air. “Mau saya lanjutkan saja, Non?” tanyanya sopan, membuat Kenzo yang baru saja membuka kancing kemejanya sontak menoleh. Kenzo dengan cepat menutup kembali kemeja yang sudah terurai di bagian bawah, seolah tak terjadi apa-apa. “Tidak usah,” jawab Aluna santai. Tatapan Kenzo sempat melirik Aluna yang masih kaku di tempat, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Aku ke atas dulu, ganti pakaian. Enjoy, Aluna.” Ia mengedipkan sebelah matanya ringan sebelum berbalik dan menaiki anak tangga dengan langkah santai. Aluna hanya bisa menatap punggungnya menjauh, detak jantungnya masih belum stabil. Pria itu seolah tahu cara menimbulkan gemuruh tanpa harus banyak bicara. Begitu Kenzo menghilang di tikungan tangga, Aluna menunduk, menatap lantai berubin putih mengilap di bawah kakinya. 'Andai aku bisa tinggal di sini, aku g
Begitu Sarah dan Kenzo berjalan ke depan rumah, Aluna bergegas jalan melewati dapur. Ia hampir menabrak Lastri yang sedang menata piring.“Ibu ngagetin aja,” sergah Aluna setengah kesal.Lastri menatapnya heran. “Non mau ke mana? Baru juga pulang.”“Aku keluar sebentar ya, Bu. Kalau Papa gak di rumah, sikap Tante Sarah makin nyebelin,” keluhnya.Lastri menghela napas berat. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk membuat Aluna merasa tenang tinggal di rumah itu. “Ibu tahu, Non. Tapi hati-hati, ya. Jangan pulang terlalu larut, takutnya … nanti Tuan keburu pulang.”“Aku cuma sebentar, kok.”“Pergi sama siapa memangnya, Non?” tanya Lastri kemudian, menghentikan langkah gadis itu lagi. Aluna tersenyum, lalu mendekat dan berbisik pelan di telinga Lastri, “Om tampan, Bu.”Wajah Lastri langsung berubah merah, sementara Aluna terkekeh kecil dan pergi begitu saja. Di halaman depan, Sarah masih berbicara dengan Kenzo, berusaha menarik perhatian dengan suaranya yang manja. Namun begitu mobil pria
Selama belajar seharian, pikiran Aluna tak pernah bisa lepas dari Kenzo. Setiap kali menatap papan tulis, bayangan wajah pria matang itu muncul begitu jelas di kepalanya, dari caranya menatap dingin, nada suaranya yang dalam, hingga sorot matanya yang seolah bisa menembus hati siapa pun. Ia bahkan sempat tersenyum sendiri di tengah kelas, membuat salah satu temannya heran dan memandang aneh. Tapi sekalipun pikirannya dipenuhi oleh pria itu, semua pelajaran tetap masuk dengan sempurna. Aluna memang cerdas, hanya saja pikirannya sering melayang ke arah yang tidak seharusnya.Begitu kelas berakhir, ia buru-buru merapikan buku, lalu berjalan cepat keluar dari kelas. Tasnya disampirkan asal di bahu, langkahnya tergesa menuju parkiran. Ia hanya ingin cepat sampai di rumah, berharap Kenzo masih di sana. Namun baru beberapa langkah melewati lorong sepi kampus, dua sosok berdiri menghadangnya. Jenna dengan gaya sok berkuasa, dan Masrya, pengikut setianya. Aluna mendengus malas. “Masih ada
Aluna masih menatap Kenzo tanpa bisa menahan gugup yang tiba-tiba menyerang. Tatapan mata pria matang itu terlalu dalam, terlalu menekan, membuat jantungnya berdetak cepat tanpa alasan yang bisa ia pahami.“Kenzo, sahabat Papa kamu,” ucap pria itu dengan nada tenang, sembari menyodorkan tangan.Aluna sempat ragu sesaat, tapi akhirnya membalas jabatan tangannya. “S–saya Aluna,” sahutnya cepat, sedikit terbata. Sentuhan tangan Kenzo hangat, besar, dan entah kenapa membuatnya susah menarik diri.Andreas memperhatikan interaksi itu dengan dahi berkerut tapi tetap tersenyum tipis. “Tak biasanya kamu gugup begini, Sayang. Ada apa?” tanyanya ringan, seolah ingin menggoda.Aluna langsung menarik tangannya cepat-cepat. “Tidak, Pah. Aku hanya … lelah saja,” ucapnya singkat sambil memaksakan senyum. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang entah kenapa terasa panas.Andreas menatapnya agak lama sebelum kembali berkata, “Dari mana saja kamu semalam? Mama kamu laporan kalau tadi pagi kamu ba
Mereka masih berdiri di ambang pintu, saling melempar tatapan penuh tanda tanya. Udara pagi di ruang itu terasa hangat, tapi entah kenapa dada Aluna terasa sesak. Ia mengerjap pelan, berusaha menenangkan diri, sementara pikirannya masih melayang pada kejadian semalam. Rambutnya berantakan, wajahnya tampak gelisah, dan tenggorokannya kering.“M–maaf! Om yang nolongin aku semalam?” tanyanya pelan, suaranya agak serak.Kenzo berdiri tegak di ambang pintu, tubuhnya menjulang dengan pakaian santai namun tetap terlihat berwibawa. Pria matang itu menaikkan sebelah alisnya, tatapannya begitu dingin. “Kamu mabuk berat dan ….”“Aku ingat bagian itu,” potong Aluna cepat. Ia mengangkat tangan seolah tak ingin mendengar lebih jauh. “Om gak perlu jelaskan, karena memang bukan aku yang salah dalam kejadian rusuh malam tadi.” Nada suaranya datar tapi jelas, penuh pembelaan diri seperti biasa melakukan hal itu.Kenzo hanya diam beberapa detik, lalu tersenyum miring. Senyuman tipis itu lebih mirip eje






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

ความคิดเห็น