LOGINSepuluh tahun lalu, Axelia Aruna dinodai oleh pewaris Smitt, Alaric Deveraux Smitt. Ia Mengandung benih pria itu, namun Alaric justru mencampakkannya dan mengira dia adalah jalang yang yang bekerja di klub malam, tanpa dia mencari tahu siapa sebenarnya Axelia Aruna. Sepuluh tahun kemudian, Axelia Aruna kembali, dia dipaksa menikah dengan Alaric oleh Tuan Smitt karena tahu Aruna melahirkan pewaris Smitt. Namun, Aruna tak ingin pernikahan ini didasari tanpa cinta dan hanya melihat rupa juga kekuasaan. Dia menyamar sebagai wanita jelek, dan tidak memiliki apa-apa. Berharap Alaric bisa mencintai dia apa adanya, dan setelah itu dia akan memberitahu, jika sembilan tahun yang lalu dia melahirkan putra mereka. Akan tetapi, Alaric justru menghinanya, merendahkannya, dan menyuruh sahabat adiknya untuk berpura-pura menjadi kekasihnya agar Aruna meminta cerai. Lalu, bagaiman hidup rumah tangga Aruna dan Alaric selanjutnya.
View MoreSepuluh Tahun yang Lalu
Tubuh gadis itu menggeliat dalam gempuran seorang pemuda yang terus menghujamnya tanpa ampun. Napasnya terengah, suara desahan bercampur dengan aroma percintaan yang begitu kental memenuhi kamar hotel malam itu. Beberapa kali ia menjerit tertahan, ketika hentakan pria itu menghantam titik paling sensitifnya. Wajahnya merah padam, keringat menetes di pelipis, sementara hatinya—perlahan—terasa hancur. "Sebentar lagi… tahan sedikit lagi," gumam pria itu, sebelum desahan panjang menutup malam kelam tersebut.. Detik berikutnya, tubuh si pemuda ambruk di atasnya, terengah, lalu berbaring malas seolah tak terjadi apa-apa. Dia menegakkan tubuhnya sebentar, untuk merotasi di mana dia berada. "Luar biasa," ucapnya ringan. "Di saku celanaku ada cek. Tulis saja berapa pun yang kau mau. Aku pasti bayar jasamu malam ini." Dalam keadaan setengah sadar Alaric menatapnya, lalu kembali ambruk, dan berbaring di atas ranjang. Axelia Aruna memejamkan mata rapat-rapat. Gadis itu baru berusia tujuh belas tahun—seorang siswi sekolah menengah atas yang bermimpi menikah dengan pria yang mencintainya apa adanya. Tapi kini, mimpinya hancur di hadapan pria mabuk yang bahkan tak tahu siapa dirinya. Pelan, Aruna menyingkirkan tubuh pria itu dan bangkit dari ranjang. Matanya melirik sekilas ke arah lelaki tersebut—tertidur dengan napas teratur, namun Aruna tahu, pria itu belum sepenuhnya terlelap. "Aku bukan pelacur," ucapnya lirih. "Aku tidak butuh uangmu." Kaki telanjangnya menapak lantai marmer yang dingin, jemarinya memunguti pakaian yang berserakan. Setiap gerakan membuatnya meringis, rasa perih di bagian bawahnya terasa menusuk hingga ke dada. "Berhenti!" Suara berat itu membuat langkahnya terhenti. Aruna menoleh, mendapati pria yang baru saja merenggut kehormatannya kini duduk di ranjang, menatapnya dengan sorot tajam. Wajahnya tampan meskipun usianya masih sedikit di atas Aruna. Rahangnya tegas, seperti seorang aristokrat, namun tatapannya begitu angkuh yang membuat Aruna muak. "Jangan gila," ujarnya dingin. "Ambil uangku. Aku tidak mau berutang. Kau sudah melayaniku, dan aku membayarmu. Bukankah itu setimpal?" Aruna menggertakkan gigi. Marah? Tentu saja, dia ke sini karena undangan temannya menghadiri pesta ulang tahun. Namun, apa yang dia dapat. Justru dia diseret tiba-tiba oleh pemuda ini, dan berakhir di atas ranjang. "Kenapa kau diam saja, ayo ambil uangku. Aku lelah, jangan bangunkan aku. Sialan, kenapa kepalaku pusing sekali." Tanpa berpikir panjang, telapak tangan Aruna langsung mendarat di pipi pria itu—keras. "Berengsek!" Lelaki itu menatapnya geram. "Kenapa kau memukulku? Apa aku salah bicara?" "Aku bukan jalang," sahut Aruna, suaranya bergetar karena amarah. "Simpan saja uangmu, dan tanggung jawab atas apa yang kau lakukan!" ucapnya mutlak. "Apa maksudmu?" Lelaki itu menyipit. "Kau sendiri yang menawarkannya, bukan? Bukannya kau memang bekerja di tempat ini?" Dada Aruna bergetar hebat. "Aku bukan jalang, asal kau tahu!" serunya. "Harga diriku sudah kau renggut paksa. Suatu saat, aku akan menagih pertanggungjawabanmu. Dasar pria sialan, mesum, tidak tahu diri!" "Dasar gadis bar-bar! Di luar sana bahkan banyak sekali wanita yang rela membuka kakinya untukku dengan cuma-cuma." Lelaki itu bangkit setengah berdiri, wajahnya memerah karena tamparan. "Sudah bagus aku mau membayar! Kalau tidak mau uang, ya sudah!" Betapa arogansinya dia, padahal ini adalah pengalaman pertamanya. Aruna tak lagi ingin berdebat. Kata-katanya hanya akan terbuang percuma untuk pria semacam itu. Ia menunduk, memunguti pakaian terakhirnya dan memakainya, lalu melangkah keluar sambil membanting pintu keras-keras. Begitu di luar, tubuhnya gemetar. "Apa yang akan kukatakan pada Mama," bisiknya serak. Air mata akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Malam itu, Aruna mengunjungi pesta ulang tahun teman sekolahnya yang dirayakan di klub malam terbesar di kota Shane. Tapi takdir kejam menyeretnya ke dalam kamar seorang pria mabuk di bawah pengaruh obat perangsang, yang mengira dirinya adalah wanita panggilan. "Dasar pria berengsek," gumamnya di antara isak tangisnya yang tertahan. "Kau sudah merusak masa depanku." Ketika hendak pergi, sesuatu menarik perhatiannya—sebuah dompet kulit coklat tua tergeletak di lantai dekat pintu kamar. Aruna memungutnya dengan tangan bergetar. Bukan untuk mengambil uang. Ia hanya ingin tahu siapa pria itu—pria yang telah merenggut kehormatannya. Matanya membulat ketika membaca kartu identitas di dalamnya. "Dia...." Suaranya tercekat. Tubuh Aruna merosot ke dinding lorong hotel yang dingin. Ia memeluk lututnya, terisak dalam diam. Dunia seakan runtuh malam itu, dan tak ada satu pun yang bisa ia percayai lagi. Namun di tengah rasa takut dan malu, sesuatu terbesit di pikirannya—nama pada kartu identitas itu. "Alaric Deveraux Smitt." Putra tunggal keluarga Smitt, pemilik jaringan bisnis raksasa di kota Shane. Nama yang sering muncul di koran, di balik perusahaan-perusahaan besar dan yayasan amal bergengsi. Aruna menatap nama itu lama, seolah berusaha mengukirnya ke dalam ingatannya. "Akan kuingat nama ini." Ia memasukkan kartu identitas itu kembali ke dompet, lalu berdiri hendak pergi. Dari dalam kamar, terdengar teriakan kasar pria itu, "Cepat ambil uangku dan enyah dari sini! Aku tidak butuh kau lagi, dasar wanita murahan!" Aruna mengepalkan tangan, menahan air mata. "Tenang saja," gumamnya pelan. "Aku tidak butuh uangmu. Tapi suatu hari nanti, aku akan menagih semua yang sudah kau ambil dariku." Tangannya terangkat, menyentuh perutnya yang masih datar. Ada rasa takut yang menjalari dada, namun ia menepisnya cepat-cepat. "Tidak mungkin," bisiknya. "Tidak mungkin aku akan hamil anak pria itu.""Kau ini kenapa? Baru menikah tapi wajahmu kusut begitu?" Alaric mendongakkan kepala. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu tadi. Tiba-tiba saja Dean Dimitri—sahabat sekaligus manajer perencanaan di perusahaannya—sudah berdiri di ambang pintu, lalu masuk tanpa menunggu jawaban. "Kau rupanya? Sejak kapan kau masuk?" Alaric buru-buru memperbaiki posisi duduknya dan berpura-pura sibuk dengan tumpukan berkas di atas meja agar tak terlihat seperti orang tengah frustasi. Dean mendecak sambil melangkah masuk. "Sejak dinosaurus masih berkeliaran, Mr. Smitt." "Jangan bercanda. Ada apa?" Alih-alih menjawab, Dean mengangkat bahu dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa cokelat mewah di sudut ruangan itu. "Harusnya aku yang bertanya. Baru beberapa hari menikah tapi kau terlihat seperti orang yang kehilangan separuh hidupmu saja. Bukankah seharusnya kau pergi bulan madu dengan istrimu, huh? Ayolah, Ric. Nikmati hidupmu, jangan berkencan dengan tumpukan berkas bodohmu itu." Alaric
Suasana pagi itu ramai menyelimuti kantor polisi pusat kota Shane. Aktivitas rutin yang memang rutin terjadi di tempat ini. Laporan kasus, dan berkas olah tkp bertebaran di tempat ini. Beberapa polisi yang sedang lalu-lalang spontan menegakkan badan mereka, menundukkan kepala hormat ketika seorang wanita berparas menawan melangkah masuk dengan seragam kebanggaan kepolisian negara itu. Dia adalah Inspektur Axelia Aruna Weird — kepala divisi kriminal di kepolisian pusat kota Shane. Enam tahun sudah ia mengabdi di institusi itu sejak menamatkan pendidikannya di akademi kepolisian. Hanya sedikit orang yang tahu, bahkan suaminya sendiri—Alaric Deveraux—tak pernah menyadari bahwa wanita yang dinikahinya adalah seorang kepala divisi di markas besar kepolisian. Dulu, saat pertama kali Aruna menapaki dunia kepolisian, banyak rekan-rekannya yang meremehkan. Mereka menganggapnya hanya wanita lemah yang tak akan tahan dengan kerasnya dunia hukum. Ejekan dan hinaan menjadi makanan sehari
Aruna menata beberapa helai pakaian ke dalam lemari besar di kamar bernuansa putih itu. Ruangan tersebut tampak hangat dan elegan, dengan dinding berhias lukisan-lukisan pemandangan dan beberapa karya abstrak yang ia bawa dari rumah keluarganya. Senyum lembut sesekali tersungging di sudut bibirnya yang merah alami, terutama ketika pandangannya jatuh pada lukisan taman bunga magnolia—hasil tangannya sendiri—yang kini menghiasi dinding kamar pribadinya. Kamar itu bukan kamar utama, sebab Alaric memutuskan mereka tidur di ruangan terpisah. Mereka kini tinggal di sebuah apartemen mewah di pusat kota Shane—hadiah pernikahan dari Tuan Smitt. Letaknya tidak jauh dari kantor ADS Group, perusahaan besar milik keluarga Smitt yang kini dipimpin oleh Alaric Deveraux, putra sulung keluarga itu. Sejak ayahnya memilih untuk bekerja di balik layar, Alaric menjadi presiden direktur di usia muda, meski sifatnya jauh dari kata hangat. "Senang dengan kamar barumu, wanita aneh?" Belum apa-apa, tapi Al
Suara kicau burung gereja membuat kedua mata sipit itu terbuka. Meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, dan terasa pegal menjalar di seluruh persendiannya. Pandangannya mengedar ke seluruh kamar besar yang terasa dingin. Dilihatnya sosok Alaric yang masih bergelung di dalam selimut tebal dengan mulut terbuka. Kakinya beranjak turun dari atas sofa menghampiri sosok yang kemarin resmi menjadi pasangan hidupnya."Tidurnya nyenyak sekali, huh! Pria berkarisma, tetapi tidurnya seperti itu," gumamnya seorang diri seraya melirik jam weker di atas nakas yang sudah menunjuk pukul 8 pagi. Tanpa mau repot membangunkan suaminya, sosok berkacamata itu telah menghilang di balik pintu kaca transparan, setelah dirinya menyambar bathtrobe yang disediakan oleh pihak hotel di dalam lemari.Lima belas menit, waktu yang teramat singkat—karena biasanya ia menghabiskan lebih dari 30 menit di dalam kamar mandi—tetapi karena dia tak sendirian dikamar ini, secepat mungkin ia menyelesaikan acara mandinya, t
Suara bising beberapa menit yang lalu kembali menjadi hening saat dentingan piano menggema memenuhi gereja katedral yang berada di kota Shane. Semua orang berpakaian mahal berdiri dengan khidmat. Berpuluh mata memandang pada pintu masuk gereja—di sana berdiri seorang wanita dengan gaun putih pengantin membalut tubuhnya, ditemani seorang pria paruh baya yang ikut berdiri di sampingnya. Langkah-langkah kecil mulai bergema dari enam pasang sepatu di belakang mereka berdua membawa buket bunga mawar dan beberapa bunga tulip yang merupakan bunga favorit mempelai wanita. Saat alunan musik klasik mulai dilantukan, wanita bergaun putih beserta pria paruh baya—yang adalah ayahnya melangkah menyusuri altar dengan hiasan bermacam bunga di sampingnya, dengan karpet merah membentang di depannya hingga menuju singgahsana di mana calon mempelainya telah menunggu kedatangannya. Raut wajah itu terpancar datar, tanpa senyum khas seorang pengantin, tak berbeda dengan calon mempelainya yang saat
Hujan baru saja berhenti sore itu.Aroma tanah basah menyatu dengan dinginnya udara kota Shane, sementara langit yang kelabu perlahan memudar menjadi oranye pucat. Di pelataran rumah besar keluarga Smitt, beberapa pelayan berlalu-lalang menyiapkan meja dan hidangan. Tak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi sore ini, tapi suasana tegang terasa bahkan sejak di gerbang depan.Axelia Aruna turun dari mobil hitamnya dengan langkah perlahan.Gaun sederhana berwarna biru lembut membalut tubuhnya, rambut panjangnya diikat rapi ke belakang. Ia tampak sopan, namun tidak memperlihatkan kecantikan wajahnya yang justru dia tutupi dengan topeng penyamaran."Aku akan memperjuangkanmu, lihat saja pria itu harus bertanggung jawab," ujarnya.Seorang pelayan datang menyambut, menundukkan kepala dengan hormat. "Selamat datang, Nona Axelia. Tuan Besar sudah menunggu di ruang utama."Aruna tersenyum kecil. "Terima kasih," ucapnya lembut. Lalu ia berjalan mengikuti pelayan itu menyusuri lorong panjan






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments