==PEMENANG JUARA 3 EVENT NOVEL BERTEMA 'PRIA TERDAHSYAT'== ==PEMENANG NOVEL ROMAN TERFAVORIT GOODNOVEL VAGANZA 2021== "Kamu, Sahara? Langsung saja, berapa harga keperawananmu? Aku yakin, kamu nggak punya banyak pilihan sekarang. Ambil ini untuk membayar tagihanmu segera. Lusa, datang ke sini." Roy Anindra Smith menyodorkan selembar cek dan kartu nama, yang membuat Sahara, seorang gadis penari sensual di club dewasa terperangah. Bagi Roy, memiliki gadis itu adalah harga mati dan penolakan adalah penghinaan. Namun, berhasil membayar dengan nilai fantastis sebuah petualangan sensasi satu malam, ternyata tak membuat Sahara jatuh ke pelukan Roy. Gadis penari sensual berusia 19 tahun, yang bersikukuh menolak perhatian Presdir raksasa bisnis properti, meski ia sendiri butuh uang. Mampukah Roy membangkitkan hasrat satu malam yang pernah ia lalui bersama Sahara, agar bisa membalaskan dendamnya pada seseorang? Apa yang membuat Roy, yang berusia lebih dua kali lipat dari Sahara, begitu ingin membuat gadis yatim piatu miskin itu agar bertekuk lutut dan tergila-gila padanya? ***Kunjungi sosial media Insstagram @juskelapa_ untuk info-info seputar karya***
View MoreIngatan Roy sedang meluncur ke tujuh tahun silam. Saat dia mendatangi rumah berdinding papan di pemukiman padat penduduk, dan melihat bocah perempuan duduk menampi beras di depan pintu. Rambutnya yang berwarna cokelat gelap terlihat kusut dan diikat asal.
Tak ada orang di sekitar sana yang melihat Roy memegang dagu gadis itu dan memandang wajahnya lekat-lekat. Bola mata berwarna hazel gadis itu menatapnya dengan tanpa rasa takut. Guratan wajah keturunan campuran, terlihat jelas dari rautnya.
“Om, siapa?” tanya gadis kecil itu, menyingkirkan tangan Roy dari dagunya, lalu kembali melanjutkan pekerjaan.
“Om?” tanya Roy. Dia tertawa kecil. Ternyata usianya yang menginjak 33 tahun sudah tampak seperti om-om di depan gadis itu. “Kamu sekolah kelas berapa?” tanya Roy, berjongkok di depan alat penampi beras. Tangan mungil di depannya bergerak dengan cekatan mencampakkan butir batu kecil ke tanah.
“Aku kelas enam SD. Sebentar lagi SMP. Dua belas tahun. Aku sudah remaja. Kenapa?” Gadis itu mengangkat pandangan dan menatap Roy. Bola mata hazelnya bertemu dengan bola mata abu-abu milik Roy.
Tak mengindahkan pertanyaan barusan, Roy mengusap kepala gadis itu. “Siapa namamu?” tanya Roy.
“Sahara,” jawab sang gadis.
Roy berdiri dari posisi berjongkoknya. Sahara? Nama gurun tandus? Roy melirik kulit wajah Sahara. Kulit yang bagus, tidak tandus seperti gurun. Nama yang kurang cocok, pikir Roy.
“Rara ...!” Seruan seorang wanita terdengar dari dalam rumah.
“Sebentar, Bu ...!” sahut Sahara. Jemarinya dengan cekatan menyeret beras yang sudah ditepikan kembali ke tengah penampi, lalu bangkit.
Tanpa mengindahkan Roy, Sahara memutar tubuhnya. Cepat-cepat Roy menangkap lengan gadis itu.
“Sahara, saya nggak mau jadi Om kamu. Saya bersedia menunggu lama, untuk melihat reaksi ayahmu nanti. Semoga si tua itu tak cepat-cepat menemukan satu anaknya yang tercecer,” ucap Roy, menatap Sahara dengan netra yang tersirat amarah.
Sahara tak mengatakan apa-apa. Gadis kecil itu berbalik menuju ke dalam rumah membawa berasnya. Sudut bibir Roy menarik senyum samar.
Tok Tok Tok
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Roy. Dia langsung memutar kursinya kembali menghadap meja. Pintu mengayun terbuka dan Novan muncul dengan raut khasnya. Ramah dan datar.
“Sudah dipastikan, Pak. Kali ini, Bapak tidak perlu keluar-masuk club.” Novan meletakkan amplop putih di atas meja. Tangannya menyatu di depan tubuh seperti seorang prajurit siaga.
Roy memungut amplop, lalu mengeluarkan selembar foto. “Club underground khusus dewasa?” Roy mengernyit, kemudian membalik foto itu. Sebaris tulisan di balik foto itu membuat sorot matanya menajam.
“Sahara Talita, 19 tahun. Penari sensual sebuah club dewasa? Pasti bayarannya menjanjikan,” gumam Roy, meletakkan kembali foto yang dipegangnya.
“Penari cuma bisa dipesan oleh member khusus, Pak. Sangat terbatas. Dan Sahara salah satu gadis penari yang ....” Novan menghentikan ucapannya, berusaha menemukan kata-kata yang lebih sopan.
Roy menaikkan sebelah alisnya, menatap staf pribadi yang masih selalu sungkan mengucapkan hal tabu, meski sudah lama bekerja dengannya.
“Tidak bisa diajak bermalam,” sambung Novan dengan suara pelan.
Roy melirik jam di pergelangan tangannya. “Kita berangkat sekarang,” tukas Roy, berdiri dan menyambar jasnya dari sandaran kursi.
Pintu masuk The Executive Club, terletak di sebuah basement gedung perkantoran. Roy tak ada rencana untuk datang ke sana sendiri, tapi otaknya secara otomatis menghafal ke mana Novan membaca mobil.
Novan menunjukkan sebuah lift tunggal yang terlihat lusuh. Roy masuk tanpa protes, meski hidungnya mengernyit jijik.
“Clubnya benar-benar tersamar, Pak.” Novan mengatakan hal itu setelah melihat Roy mengeluarkan sapu tangan sutra dan menutup hidungnya. Lift itu tidak bau. Roy hanya tak suka mencium aroma apek.
Dengan satu tangannya berada di saku dan sapu tangan menutup hidungnya, Roy melangkah keluar lift dan langsung berhadapan dengan lorong remang-remang. Suara hentakan musik yang teredam, menjalar ke tiap lapisan dinding.
Novan mendahului langkah atasannya menyusuri lorong. Sampai akhirnya dia tiba di depan sebuah pintu yang letaknya paling pojok. Ketika pintu itu terbuka, suasana ruang utama club terhampar di hadapan mereka.
Club yang di Amerika bisa dengan mudah ditemui Roy di tepi jalan atau di gang-gang sempit, di negaranya sendiri ternyata hanya diperuntukkan bagi kaum elit yang menginginkan sensasi.
Suara musik memekakkan telinga, aroma bir, whisky, dan cocktail mahal bercampur menjadi satu. Roy melangkah hati-hati seraya memandang karpet yang diinjaknya. Pria horny dan mabuk berat biasa suka meninggalkan sisa ceceran muntahnya di sana.
Novan menunggu di salah satu meja dengan posisi terbaik. Laki-laki itu harus membayar meja itu sedikit lebih mahal untuk menyingkirkan tamu yang telah memesan tempat jauh-jauh hari.
Roy menarik kursi tinggi, lalu duduk menyilangkan tangan di dada memandang lorong kosong di depan panggung. Lorong yang di luar negeri biasa disebut pervert row—lorong mesum, sebentar lagi akan dipenuhi wanita-wanita muda yang menari seraya melepaskan pakaiannya satu persatu hingga telanjang sepenuhnya.
Lagu Kept Me In The Dark–Rollipso, Eliine, memenuhi ruangan diiringi kedip lampu di langit-langit yang menyorot dengan cahaya berganti-ganti.
Barisan gadis dengan tubuh nyaris sempurna keluar satu persatu. Pakaian mereka hanya potongan-potongan kecil yang menutupi daerah intim.
Roy melirik Novan dengan ekor matanya. Belum apa-apa asistennya sudah menelan ludah.
“Sahara, keluarlah ...,” bisik Roy dalam hati.
To Be Continued
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments