“Cukup!” teriak seseorang yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu ruangan itu. Ternyata orang itu adalah anak sulung Pandu. Dia merasa kesal dengan pertengkaran antara ayah dan adiknya itu. “Ini kantor. Suara kalian itu terdengar sampai luar!” Varell mendatangi mereka berdua.
“Kamu ngapain ikut campur?” tanya Pandu marah. Dia tidak suka ketika ucapannya dipotong oleh orang lain.
“Karena aku dengar kalau adikku ini terus memanggil namaku. Aku rasa aku harus ke sini, karena merasa terpanggil,” jawab Varell sambil melirik ke arah Darell.
“Cih!” Darell berdecih kesal.
Varell menghela napas, lalu menggeleng. “Sudahlah, Pa, Rell. Nggak usah berantem di sini. Ini bukan rumah! Kalau mau berantem silakan di rumah.”
“Nggak sudi aku datang ke rumah laki-laki tua ini!” hardik Darell.
“Darell!” sentak Varell saat mendengar adiknya itu mencela ayah kandu
Elaine membuka matanya perlahan. Ia mengerang, kepalanya terasa sedikit sakit. Walau pandangannya masih terlihat buram, tapi dia berusaha untuk memindai area sekelilingnya.“Di mana ini?” gumamnya. Ruangan itu sangat terasa asing baginya. Elaine sedang berada di sebuah kamar yang besar dan mewah. Dia mencoba bangkit dari tidurnya. “Ah,” desahnya, kepalanya berdenyut.Menjilat bibirnya yang terasa kering—akibat rasa gugup yang tiba-tiba saja muncul dari dalam dirinya, sambil terus memindai dengan teliti setiap inci ruangan. Elaine mengedipkan matanya berkali-kali, sungguh ini adalah tempat asing yang tidak dia ketahui. Kemudian dia mencoba mengingat momen terakhir saat dirinya sadar.Seketika matanya membulat, saat mengingat kejadian terakhir yang diingatnya. Kalau tak salah ingat, dia baru saja keluar dari toilet, lalu tiba-tiba ada seseorang yang menyekap dirinya. Sialnya, Elaine tak sempat untuk melihat orang itu.Elaine me
“Jawab!” Darell membentak ayahnya. Matanya kini melotot tajam, menyala karena terbakar api amarah.“Ck! Seharusnya kamu sudah tahu konsekuensinya, Darell,” ucap Pandu dingin.Jujur, Pandu tidak tahu di mana keberadaan gadis itu. Awalnya dia mengira bahwa anaknya itu sudah bertindak duluan, mengamankannya. Akan tetapi, melihat Darell sekarang, dia yakin bahwa gadis itu tidak ada bersama dengan anak bungsunya.Walau ada perasaan khawatir, tapi Pandu mengambil kesempatan ini. Dia akan berpura-pura kalau memang Elaine bersamanya. Kemudian bernegosiasi dengan Darell, membuat kesepakatan baru dengannya. Siapa pun orang yang membawa Elaine, Pandu sangat berterima kasih, karena dia tidak perlu repot-repot mengotori tangannya sendiri.“Pa, ini masalah kita berdua! Dia itu nggak salah apa-apa!” Darell terus membela Elaine.“Dia nggak salah apa-apa? Yang benar saja. Gara-gara dia, kamu jadi membangkang sama Papa
Tidak. Tidak bisa! Elaine tidak ingin sampai Darell menuruti permintaan ayahnya dan menikah dengan Chelsea. Bagaimanapun rasa sayang dan cintanya pada Darell sangat besar. Apalagi saat mengetahui perjuangan Darell untuk mempertahankannya.“Gue nggak bisa diem aja,” gumam Elaine. Dia mencoba memikirkan cara bagaimana dia bisa keluar dari sini, menemui Pandu dan menenatng usahanya.Elaine tidak bisa membiarkan Darell berjuang sendirian. Dia rasa, dirinya juga harus berusaha mempertahankan hubungan mereka berdua. Tapi bagaimana? Elaine medesah saat otaknya terasa tumpul, tak bisa memikirkan apa pun.***Keesokan harinya.Darell terlihat sangat kacau sekali. Kemarin, dia seharian mencari keberadaan Elaine tapi ia tak kunjung menemukannya. Perasaan khawatir semakin mencuat dari dalam diri Darell, ketika dia mengingat bahwa hari ini adalah tenggat waktu untuknya.Tok. Tok. Tok.Darell langsung menoleh
Bagai disambar petir, Pandu benar-benar terkejut dengan kedatangan sosok Elaine di rumahnya. Sontak laki-laki itu berdiri dari sofa yang sedang didudukinya. Matanya membelalak dan mulutnya sedikit menganga, saking terkejutnya. ‘Kenapa gadis itu ada di sini?’ batin Pandu. Melihat Elaine muncul dengan tiba-tiba di kediaman Bumantara, membuat Darell langsung berlari ke arahnya. Ia langsung mengecek kondisi Elaine. “Kamu baik-baik saja?” tanya Darell dengan nada khawatir. Belum juga Elaine menjawab pertanyaan Darell, Martha sudah langsung memberang. “Maksudmu gadis ini, kan?” tanyanya. Keluarga Admar hanya diam saja, mereka menoton pertengkaran antara Martha dan Pandu. Namun, bukan berarti mereka senang dan menikmatinya. Melainkan Tio dan Chelsea terlihat sangat gusar. “Ke-kenapa dia ada di sini?” tanya Pandu dengan terbata-bata. “Seenaknya kamu mengancam anakmu sendiri dengan melibatkan orang lain, yang tidak bersalah sama sekali!
Semua terasa cepat, sampai-sampai Darell masih belum begitu paham dengan situasi yang sedang berkecamuk di ruang keluarga kediaman Bumantara.‘Kenapa Elaine ada di sini? Kenapa Mama terlihat sangat marah? Dan kenapa ada Varell di sini? Apa semua ini rencanyanya?’ Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Darell.Mata Darell melihat ke arah amplop cokelat yang baru saja ditaruh oleh Varell tepat di depan Tio Admar. Merasa penasaran dengan isi amplop itu. Apalagi saat dia melihat ekspresi Tio yang terkejut saat membuka amplop tersebut. Tak hanya Tio, tapi Chelsea dan Clarisa pun merasa terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bahkan Chelsea menangis saat melihat isi dari amplop tersebut.Merasa penasaran, Darell langsung menghampiri Tio dan menyambar beberapa lembar kertas yang sedang dipegang oleh laki-laki itu. Tak ada perlawanan dari Tio, mungkin karena saking terkejutnya dia.Darell langsung membaca, membuka lembar demi lembar dokumen yang s
“A-anu, apa kamu sedang sibuk?”Darell mematung beberapa detik, ketika melihat Elaine ada di hadapannya. Kemudian dia menggeleng dengan cepat. “Oh, nggak. Kenapa?” tanya Darell.“Boleh kita bicara sebentar?” tanya Elaine dengan sedikit canggung.“Boleh, kok. Masuk aja,” ajak Darell. Dia mempersilakan Elaine untuk memasuki kamarnya. Di sana mereka berdua duduk bersebelahan di sebuah sofa kecil. Darell melihat gadis itu sedang meremas jarinya, sepertinya dia sedang merasa gugup.“Ada apa?” tanya Darell dengan nada yang sangat lembut. Mencoba memberikan kenyamanan pada Elaine. Walau sebenarnya jantungnya ini sedari tadi berdegup dengan kencang.Jujur saja, Darell ingin memeluk gadis itu sekarang juga, mencurahkan segala kerinduan dan rasa kekhawatirnya selama ini. Namun, melihat kondisi Elaine yang seperti itu, dia mengurungkan niatnya.“Mmm … anu itu ….” Ada
“Ngapain ke sini?” tanya Elaine, saat dirinya dan Darell sampai di sebuah butik mewah.“Beli soto. Ya, beli baju, lah. Kenapa masih nanya, sih?” timpal Darell yang langsung menggenggam tangan Elaine dan menariknya ke dalam.Tak bertanya lagi, Elaine hanya mengikuti Darell. Walau dia masih penasaran, kenapa juga Darell membawanya ke butik mewah? Tak banyak pergerakan yang dilakukan Elaine sampai akhirnya Darell langsung menegurnya.“Kenapa diem aja? Pilih bajunya, dong,” kata Darell.Elaine menoleh dengan mata membulat. “Buat apa? Aku harus tahu dulu alasan kamu bawa aku ke sini. Baru aku bisa pilih baju,” balas Elaine.Ya … bagaimana Elaine akan memilih baju, jika dia saja tidak tahu harus menghadiri acara apa? Pasalnya butik tersebut menjual baju formal untuk perempuan; gaun, blazzer dan lain-lain, tentu saja dengan desain dan harga yang wah. Mungkin butuh beberapa bulan bagi Elaine untuk seke
Mata Elaine membulat, saat Darell memanggil namanya dan melontarkan pertanyaan yang membuatnya mematung seketika. Mimpi apa Elaine semalam? Kenapa Darell melamarnya secara tiba-tiba dan di tempat umum seperti ini? Sungguh, tidak ada tanda-tanda bahwa Darell akan melamarnya. Elaine tersentak saat merasakan ada tangan yang merangkulnya. Dia langsung menoleh dan mendapati Martha yang sedang menyadarkan Elaine dari keterkejutannya. Jantung Elaine kini berdetak dengan cepat, semburat merah pun muncul di pipinya. Apalagi saat dia melihat ke arah sekeliling dan mendapati beberapa pasang mata memperhatikan dirinya. Bagaimana ini? Apa yang harus Elaine katakan? Sungguh, ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Elaine. Walau sebelumnya, memang Darell pernah melamarnya. “Elaine, jangan membuat Darell menunggu,” bisik Martha, saat seorang crew datang sembari membawa microphone untuk Elaine. “Ta-tapi, Tante aku—” “Jawab saja,” selanya sambil