Kinar irit bicara saat dalam perjalanan, meskipun berulang kali Galang berusaha menoleh, mengajaknya bicara untuk mencairkan suasana. Rasa cemburu dan penasaran terlanjur bersarang dalam dada Kinar sejak kemarin."Pelan dong, jangan ngebut! Aku takut. Trauma tau, Mas!" tegur Kinar sambil mencubit pinggang Galang.Galang tak peduli dengan Kinar yang terus sewot karena dirinya memacu kendaraan dengan kencang. Laki-laki itu malah sengaja semakin melajukan kendaraannya membuat Kinar bergidik ngeri dan ketakutan."Idih! Udah dibilangin jangan ngebut!" teriak Kinar karena merasa disepelekan oleh Galang."Aku tau kamu lagi kesal, Nar. Makanya, aku ngebut biar cepat sampe sana," sahut Galang sambil menoleh tanpa senyum sedikit pun.Kinar terpaksa mencengkeram erat pinggang Galang, saat laki-laki itu semakin menambah kecepatan laju motornya."Aduh!" teriak Kinar saat Galang secara tiba-tiba menghentikan motornya. Kepala gadis itu yang terbungkus helm membentur kepala Galang yang juga memakai p
Galang sigap menarik lengan gadis berambut di bawah bahu itu, ketika hendak kembali duduk di sofa. Laki-laki itu sengaja mendudukkan Kinar di pangkuannya.Keduanya lantas saling beradu pandang, membuat Kinar tak kuat dan langsung tertunduk sayu. Galang menyentuh dagu mungil Kinar agar kembali mendongak dan menatapnya. Laki-laki itu kemudian mendorong perlahan tubuh Kinar hingga telentang di sofa.Galang tepat berada di atas tubuh Kinar, hingga tubuh gadis itu nyaris tak dapat bergerak. Dibukanya lapisan jaket dan meletakkan asal di sisi sofa yang lain. Wajah Galang mendekat tanpa jarak di wajah Kinar setelah ia berhasil mencengkeram erat pergelangan gadis itu. Galang mencondongkan wajah, kemudian mendaratkan bibir dan mencium lembut bibir Kinar.Kinar yang terpejam, tidak berani membuka mata. Jantungnya berdebar hingga menimbulkan sensasi seperti tersengat aliran listrik. Melihat Kinar yang seakan-akan telah tergolek pasrah, Galang semakin menggencarkan aksinya berulang kali mencium
Kinar dan Galang sudah tiba di rumah. Keduanya melepas lelah sambil mengobrol di ruang tamu, sebelum Galang pulang ke rumahnya."Mas, kayaknya Mbak Rasti masih punya rasa deh, sama Mas?" pancing Kinar. Sebab, gadis itu tadi mengamati gestur Rasti yang merupakan mantan kekasih Galang juga. Keduanya terpaksa putus hubungan karena Rasti dijodohkan orangtuanya dengan laki-laki lain."Ya jelas dong, Nar ... orang dia itu dulu sampe rela ngikut aku hidup di jalanan," balas Galang tak merasa jika ia sedang dipancing oleh Kinar."Terus, Mas sendiri masih cinta gak sama dia?""Dia itu baik banget, loh, sama aku. Pengorbanan dia banyak banget ke aku.""Bukan itu yang aku tanyakan, Mas! Aku tanya perasaan Mas ke dia, apa masih ada?""Udah gak ada."Mendengar jawaban Galang, Kinar tak sepenuhnya percaya. Mengingat obrolan di rumah Rasti tadi, tampak sekali jika tatapan Galang masih menyimpan rasa untuk wanita itu. Ditambah, Rasti yang sudah menyandang status janda karena ditinggal kabur suaminya,
Tak berapa lama, Widya membawa sang suami kembali menuju kamar anak gadisnya itu. Ridwan menyerahkan segepok uang kertas warna biru yang masih tersegel dari bank ke tangan Kinar. Wanita yang sebentar lagi melepas masa lajangnya itu kemudian menatap wajah kedua orangtuanya secara bergantian."Ibu ... Bapak ... Kinar minta maaf," ucap Kinar kemudian dengan berurai air mata. Ia merasa bersalah kepada orangtuanya."Udah, Nar, gak papa. Yang penting rumah tangga yang mau kamu bina itu bisa rukun dan langgeng," ujar sang ibu sembari mengelus sebelah pipi Kinar yang basah."Ya udah, cepet uangnya disimpan dulu. Terus, kamu keluar sapa saudara-saudara sama tetangga ya, Nar," pinta sang ayah kemudian.Sesaat kemudian Ridwan dan Widya keluar dari kamar. Kinar lantas menyimpan uang dalam genggamannya itu ke lemari. Setelah menyimpan uang di lemari, Kinar menyusul ayah dan ibunya keluar kamar. Wajah yang tadinya muram merasakan risau itu, berangsur tersenyum.Para saudara dan tetangga melempar c
Tok, tok, tok! Suara pintu diketuk dari luar oleh seseorang dengan keras, membuat Kinar menoleh ke arah pintu."Mbak Pengantin ... Mbak ...! Siap-siap, ya! Calon pengantin laki-lakinya, kabarnya sebentar lagi datang. Katanya ini udah ada di jalan!" teriak seorang laki-laki yang mengetuk pintu kamar Kinar, memberitahu kabar itu. Kinar menghela napas dalam. Ada rasa sedikit lega memenuhi rongga dadanya.Sang penata rias yang baru saja merapikan alat rias pengantin untuk dimasukkan ke dalam box, bergegas menghampiri Kinar yang duduk di sisi ranjang. Merapikan kebaya dan kain batik yang membalut tubuh Kinar, serta menyentuh dahi yang penuh embun keringat dengan tisu."Wah ... udah cantik, Mbak Kinar," ujar Santi sembari menyapukan kuas ke wajah Kinar.Kinar tersenyum, meskipun merasakan gugup yang luar biasa.Setelah menanti lebih dari dua jam, akhirnya rombongan pengantin calon suami Kinar tiba. Kinar dan Galang saling duduk berhadapan diapit kedua orang tua masing-masing, tentunya dite
Keduanya terdiam dan saling berpelukan cukup lama di bawah lampu kamar yang telah berganti dengan cahaya redup itu. Kinar menenggelamkan wajah di dada suaminya yang hangat, sembari ujung jemarinya menari di atas perut laki-laki itu."Mas, maafkan aku. Malam ini jangan dulu, ya?" celetuk Kinar saat masih dalam dekapan Galang. Karena tak tahan dengan yang dirasakan di dalam perutnya, Kinar meminta suaminya untuk tidak menuntut jatah ranjang.Galang tak menyahut, justru melepas pelukan dengan kasar kemudian mendorong tubuh Kinar. Laki-laki itu bergegas bangun kemudian memakai celana jeans yang menggantung di balik pintu kamar. Tak lupa meraih jaket berbahan sama dengan celana. Wajah Galang yang tadinya hangat itu berubah berang, sejak Kinar menunda keinginannya untuk mengajak berhubungan badan. Bagi laki-laki itu, jatah ranjang hukumnya wajib dipenuhi Kinar yang sudah sah menjadi istrinya.Galang meraih kontak motor kesayangan Kinar di meja. Dengan langkah cepat, laki-laki yang telah sah
Tepat pukul setengah enam pagi, Kinar telah bangun dan turun dari ranjang. Ia segera keluar dari kamar menuju kamar mandi untuk membasuh muka dan sikat gigi."Sebenarnya kenapa dengan suamimu tadi malem, Nar? Bapakmu sampai mengeluh kelakuannya, begitu masuk kamar?" tanya sang ibu begitu Kinar keluar dari kamar mandi dan menghampiri ibunya itu yang telah berkutat di dapur.Kinar sendiri berniat membuatkan minuman kopi untuk Galang."Gak kenapa-napa, Bu. Ini, aku juga udah baikan sama Mas Galang," sahut Kinar yang ia tahu saat ini terpaksa berbohong.Widya mengernyitkan dahi saat menatap anak perempuannya itu. Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang diucapkan Kinar. Naluri Widya sebagai seorang wanita yang melahirkan dan mengasuh Kinar begitu tajam. Pasti tahu jika gelagat sang anak telah berbohong kepadanya.Tak ingin semakin dicecar pertanyaan, Kinar bergegas meninggalkan ibunya di dapur. Dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap dan sepiring pisang goreng buatan sang ibu, Kinar
Dengkuran Galang makin nyaring, membuat Kinar tak bisa tidur lagi, setelah mandi dan shalat Subuh. Padahal, dia berniat untuk tidur lagi. Kinar lantas memilih keluar kamar menuju dapur. Di sana rupanya ada sang ibu yang telah mulai berkutat di dapur. Maklum, malam nanti acara "ngunduh mantu" digelar di rumah orangtua Galang. Menandakan, Kinar sebagai pengantin wanita yang akan diantar ke rumah mertuanya.Segala keperluan sebagai oleh-oleh dari pihak pengantin wanita telah disiapkan Widya untuk acara nanti malam. Kecuali makanan basah yang tentunya harus dimasak dahulu. Ibunya Kinar tidak menyiapkannya sendiri, ia lebih memilih meminta tolong seorang juru masak yang telah dipercaya setiap ada hajatan di kampung."Kampungnya Galang itu kayak gimana, Nar?" tanya Widya pada Kinar yang duduk di ruang makan sembari menikmati segelas teh hangat."Gak usah tanya, nanti Ibu juga tahu, kok, Bu," sahut Kinar dengan santai."Ibu, itu tanya karena penasaran, Nar. Apa benar yang dikatakan ibunya Ka