Alya menatap lelaki didepan nya, lelaki yang baru saja menikah dengan nya. "sial kenapa aku harus menikah dengan wanita jelek sepertimu" ujar lelaki dengan perawak tinggi dan memakai setelan lengkap formal untuk pernikahan. alya hanya bisa menunduk karena takut dengan Jonathan yang memaki nya. lelaki yang mengatakan itu adalah Jonathan Abigail Marvendo CEO yang terkenal dingin dan tidak pernah ramah sedikitpun terhadap siapapun. .... "ingat kontrak pernikahan kita hanya satu tahun!, jangan menyukai ku.. " "gadis jelek sepertimu tidak pantas menyukaiku" desis Jonathan kesal. "ba.. baik Mas" jawab Alya takut-takut. "cih.. menjijikan" desis Jonathan.
View MoreAlya menatap lelaki dingin di depannya — tatapan yang menusuk hingga ke relung hatinya. Lelaki itu memandangnya seolah-olah dirinya adalah makhluk paling menjijikkan di dunia ini. Aura angkuh dan dingin yang terpancar darinya membuat dada Alya terasa sesak.
“Baca,” desis lelaki itu datar, suaranya penuh tekanan. Perlahan, tangan Alya yang gemetar meraih map biru yang tergeletak di atas meja. Ketika ia membuka map tersebut, matanya langsung menangkap tulisan besar di bagian atas halaman: Kontrak Pernikahan. Di bawahnya tertera beberapa poin yang tertulis rapi, tetapi setiap kalimat terasa seperti duri yang menusuk harga dirinya. Semuanya terdengar seperti perjanjian yang merendahkan — seolah dirinya tidak lebih dari sekadar alat tukar. Alya menelan ludah, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, di hadapan lelaki bernama Jonathan Arsenio itu, kelemahan hanyalah hal yang akan semakin mempermalukannya. “Kau tidak perlu khawatir,” ujar Jonathan dengan nada dingin tanpa menatapnya. “Uang akan selalu mengalir ke rekeningmu.” Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada hinaan. Seolah menegaskan bahwa nilai dirinya hanya sebatas uang. “Wanita jelek dan menjijikkan sepertimu pasti hanya mengincar uang dari keluargaku,” lanjut Jonathan, kini menatap Alya dengan pandangan penuh jijik. Alya menggigit bibirnya, menunduk. Kata-kata itu tajam, tapi sayangnya — tidak sepenuhnya salah. Ia memang menerima pernikahan ini bukan karena cinta, melainkan karena terpaksa. Karena hutang yang menjerat keluarganya hingga ke titik putus asa. “Sa… saya akan tanda tangan, Tu… Tuan,” ucap Alya pelan, suaranya bergetar namun berusaha tegar. Jonathan hanya mendengus sinis. “Cih… baguslah. Jangan memperlambat waktu. Aku tidak punya kesabaran untuk drama murahan.” Dengan tangan gemetar, Alya menandatangani dokumen itu. Setiap goresan pena terasa seperti mengikat dirinya pada nasib pahit yang tidak bisa ia tolak. Setelah menandatangani, ia meletakkan pena dengan perlahan. Jonathan menyilangkan tangan di dada, menatapnya tanpa ekspresi. “Semua wanita sama saja, gila dengan uang,” gumamnya dingin. Alya hanya diam. Ia tahu, tidak ada gunanya membela diri. Bagi Jonathan, semua perempuan mungkin sama — pembohong, matre, dan tak tahu diri. Tapi di balik tatapan pasrahnya, Alya menyimpan luka yang lebih dalam daripada yang bisa dilihat lelaki itu. Ironisnya, Jonathan sendiri sebenarnya juga terpaksa menikah dengan Alya. Neneknya — satu-satunya orang yang masih ia hormati — begitu menyukai Alya karena kebaikan hati gadis itu. Alya pernah menolong sang nenek ketika jatuh pingsan di pinggir jalan, tanpa tahu siapa perempuan tua itu. Karena rasa terima kasih dan kekaguman, sang nenek bersikeras agar Jonathan menikahi Alya. Namun bagi Jonathan, pernikahan ini adalah kutukan. Baginya, Alya hanyalah simbol dari keterpaksaan — seorang perempuan biasa yang merusak kesempurnaan hidupnya. Sementara bagi Alya, pernikahan ini adalah harga dari pengorbanan. Ia harus menukar kebebasannya demi menyelamatkan keluarga dari kehancuran. Dan di saat pena itu menyentuh kertas terakhir, hidupnya pun berubah — dari seorang wanita bebas menjadi istri dari lelaki yang membencinya. Namun, di balik kontrak dingin itu, takdir sedang menulis kisah lain yang tak mereka duga — kisah di mana benci perlahan akan diuji oleh waktu, luka akan bersentuhan dengan kasih, dan dua hati yang terluka akan dipaksa saling mengenal lebih dalam. ... Alya menatap pantulan dirinya di cermin besar di sudut kamar. Gaun putih yang terbalut di tubuhnya tampak begitu indah dan elegan, namun entah mengapa, ia tidak merasa bahagia sedikit pun. Semua ini terasa seperti mimpi yang salah arah — mimpi yang seharusnya penuh kebahagiaan, justru berubah menjadi kenyataan yang menyakitkan. Ia mengusap lembut gaun itu, merasakan tekstur halus kainnya. “Aku benar-benar sudah menjadi istri seorang Jonathan Abigail…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Suaranya bergetar, seolah ia sendiri tak percaya dengan kenyataan pahit itu. Suasana kamar begitu sunyi hingga yang terdengar hanyalah detak jam di dinding. Tapi kesunyian itu segera pecah ketika suara pintu terbuka dengan keras. Alya langsung menunduk, tubuhnya menegang. Ia tahu betul siapa yang baru saja masuk. Langkah kaki berat itu mendekat, dan suara dingin yang sudah dikenalnya menyusul tak lama kemudian. “Cih… bisa-bisanya nenek menikahkan aku dengan wanita jelek seperti kamu.” Suara Jonathan terdengar datar, tapi dingin dan tajam seperti pisau. Alya hanya bisa menunduk dalam-dalam. Kata-kata itu, meski sudah sering ia dengar sejak awal pertemuan mereka, tetap terasa menyakitkan. Dalam hati kecilnya, Alya sadar — ia memang bukan perempuan cantik seperti tipe wanita yang biasa ada di sekitar Jonathan. Penampilannya sederhana, selalu mengenakan kacamata dan poni tebal yang menutupi sebagian wajahnya. Hanya hari ini saja ia berusaha tampil berbeda, berusaha sedikit lebih pantas di samping lelaki yang kini menjadi suaminya. Namun usaha itu tetap terasa sia-sia di hadapan tatapan penuh kebencian Jonathan. Tanpa peringatan, tangan Jonathan terulur dan menjepit dagu Alya, memaksa gadis itu menatap ke arah dirinya. Alya terperanjat, tubuhnya kaku. Mata mereka bertemu — mata Jonathan yang tajam dan dingin seperti es, dan mata Alya yang bergetar, dipenuhi rasa takut dan luka. “Ck… untung MUA-nya pandai mendandanimu. Kalau tidak, bisa malu aku tadi di depan tamu,” ucap Jonathan sinis, melepas dagu Alya dengan kasar. Alya menunduk kembali, menahan napas agar tidak menangis. Harga dirinya terkoyak, tapi ia terlalu lemah untuk melawan. “Kau tidur di sofa,” lanjut Jonathan tanpa sedikit pun menatap ke arahnya. “Aku tidak sudi tidur seranjang dengan wanita sepertimu. Dan ingat, semua poin di dalam kontrak kita berlaku. Jangan berani melanggar satu pun.” Nada suaranya begitu tegas dan dingin, membuat dada Alya terasa semakin sesak. Setelah mengucapkan kalimat itu, Jonathan berbalik menuju kamar mandi dan menutup pintu dengan keras hingga suara benturannya menggema di seluruh ruangan. Alya terdiam. Hening kembali menyelimuti kamar yang kini terasa begitu luas namun dingin. Matanya mulai berkaca-kaca. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya menetes, membasahi pipinya yang mulai memerah. Ia duduk di tepi tempat tidur, memeluk dirinya sendiri. Hatinya bergetar di antara rasa malu, sakit, dan putus asa. Ia tahu, hidupnya tidak akan mudah setelah ini. “Aku bukan siapa-siapa… hanya pengantin kontrak, bukan istri yang diinginkan,” bisiknya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh isak tertahan. Sementara itu, dari balik pintu kamar mandi, Jonathan menatap dirinya di cermin dengan wajah keras. Ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan — kemarahan, penolakan, tapi juga seberkas rasa bersalah yang berusaha ia abaikan. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. “Nenek, apa yang kau pikirkan sampai membuatku menikahinya?” gumamnya dalam hati. Namun di balik kemarahan itu, ada kilasan samar dari kenangan — tentang gadis yang menolong neneknya tanpa pamrih, gadis yang kini berdiri di balik dinding, menangis sendirian karena pernikahan yang dipaksakan. Dan malam itu, dua hati yang disatukan oleh paksaan sama-sama terjebak dalam dinding kebisuan — satu menahan luka, satu menahan dendam. Namun waktu belum berhenti menulis kisah mereka. Sebab, di balik dinginnya kebencian, takdir perlahan sedang menyiapkan celah kecil untuk sesuatu yang belum mereka pahami: perasaan. Bersambung.......Alya sudah siap dengan pakaian rapi yang sederhana namun tetap terlihat pantas. Setelah tadi mengantar Jonathan—suami kontraknya—hingga ke depan pintu mansion, gadis itu segera kembali ke lantai atas apartemen untuk berganti pakaian. Hatinya berdebar pelan, bukan karena takut, melainkan karena gugup memikirkan pertemuannya dengan Riko siang ini. Hari ini ia akan membahas pekerjaan di kafe milik lelaki itu, pekerjaan yang bisa menjadi langkah awalnya untuk kembali mandiri. Di dalam kamar, Alya berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi. Ia mengenakan kaos polos berwarna lilac muda yang memberi kesan lembut dan bersih, dipadukan dengan celana jeans cargo hitam yang nyaman namun tetap terlihat rapi. Rambut panjangnya ia biarkan terurai, hanya dikuncir setengah ke belakang agar tak mengganggu wajahnya. Ia tampak sederhana, namun ada ketenangan dan keanggunan yang sulit dijelaskan dari caranya berdiri. Alya mengambil tas kecil berwarna krem yang sudah terlihat agak kusa
Xelio akhirnya mundur beberapa langkah sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Ia tahu, jika terus menggoda Jonathan, suasana kantor bisa berubah dingin seperti lemari es. “Baiklah, baiklah, aku pergi dulu. Tapi jangan lupa, makan siang nanti kau traktir aku. Anggap saja hadiah karena aku tidak datang ke pesta pernikahanmu,” ucap Xelio santai sebelum melangkah keluar dari ruangan. Jonathan hanya mendengus pelan tanpa menatap sahabatnya itu. “Keluar,” katanya singkat, tanpa menoleh sedikit pun dari layar laptopnya. Begitu pintu menutup, ruangan kembali sunyi. Hanya suara ketikan cepat di keyboard yang terdengar. Wajah Jonathan datar, tetapi sorot matanya tajam — seperti ada beban yang ia simpan di balik ketenangan itu. Alex, sekretarisnya yang setia, berdiri di dekat meja kerja sambil membawa beberapa berkas tambahan. “Tuan, ini laporan keuangan untuk proyek di Singapura. Perlu saya jadwalkan meeting dengan tim keuangan sore ini?” tanya Alex hati-hati. Jonathan meng
Alya baru saja tiba di depan pintu apartemen milik Jonathan. Lelaki itu hanya mengantarnya sampai lobi, lalu menyerahkan kartu akses dan secarik kertas berisi nomor unit tanpa sedikit pun menatap wajahnya.“Cari saja sendiri. Aku tidak punya waktu mengantarmu ke atas,” ucap Jonathan dingin sebelum melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Alya yang berdiri terpaku di depan lift dengan koper kecil di sampingnya.Perjalanan menuju lantai atas terasa sunyi. Hanya suara lembut dari musik instrumental lift yang menemani Alya. Jantungnya berdebar ketika ia menempelkan kartu akses ke pintu apartemen bernomor 2806 — unit milik suaminya, meski sebutan itu masih terasa asing di pikirannya.Begitu pintu terbuka, Alya tertegun.“Wow… besar dan mewah,” gumamnya tanpa sadar, matanya menelusuri setiap sudut ruangan yang tertata sempurna.Apartemen itu didominasi warna abu muda dan putih, dengan jendela besar menghadap langsung ke pemandangan kota. Cahaya matahari sore masuk menembus tirai tipis, men
Setelah makan malam selesai, Jonathan dan Alya kembali memasuki kamar mereka.Sesuai dengan apa yang telah Jonathan katakan sebelumnya, Alya tidak diperkenankan tidur di sebelah lelaki itu. Jonathan memang tegas soal batasan. Meskipun mereka baru saja resmi menjadi suami istri di mata hukum dan agama, hubungan mereka sama sekali belum layak disebut pernikahan yang sesungguhnya.Alya memandangi sofa panjang di sudut kamar — tempat yang akan menjadi ranjang tidurnya malam itu. Ia tidak mengeluh sedikit pun. Dalam hati kecilnya, ia justru merasa bersyukur. Setidaknya malam ini ia tidur di tempat yang layak, bukan di trotoar dingin seperti beberapa minggu lalu.“Nama aslinya memang Jonathan Abigail, kan?” gumam Alya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Dahi gadis itu sedikit berkerut, mengingat sesuatu. Saat pesta pernikahan tadi, ia sempat mendengar seseorang — mungkin rekan bisnis Jonathan — memanggil lelaki itu dengan sebutan Tuan Marvendo.Alya sempat bingung. Siapa sebenarny
Sekitar lima belas menit kemudian, suara air dari kamar mandi berhenti. Pintu terbuka perlahan, dan keluarlah Jonathan dengan hanya selembar handuk putih yang melilit di pinggangnya. Butiran air masih menetes dari rambutnya yang basah, menelusuri kulit dada dan perutnya yang bidang. Namun, alih-alih terlihat menggoda, aura yang terpancar darinya tetap dingin, kaku, dan tak bersahabat.Tatapannya langsung jatuh pada sosok Alya yang masih duduk di sofa panjang di depan ranjang. Gadis itu tampak begitu kecil dan gugup di antara megahnya kamar pengantin yang bernuansa putih dan abu-abu. Kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, matanya menunduk dalam, seolah takut hanya dengan mengangkat pandangan.“Mandi. Jangan lama,” desis Jonathan datar tanpa ekspresi. “Setelah ini ada makan malam keluarga.”Nada suaranya tajam, penuh tekanan. Alya spontan berdiri dengan tubuh kaku.“Ba… baik, Tuan,” jawabnya pelan, suaranya gemetar.Ia segera meraih gaun sederhana berwarna pastel yang tela
Alya menatap lelaki dingin di depannya — tatapan yang menusuk hingga ke relung hatinya. Lelaki itu memandangnya seolah-olah dirinya adalah makhluk paling menjijikkan di dunia ini. Aura angkuh dan dingin yang terpancar darinya membuat dada Alya terasa sesak. “Baca,” desis lelaki itu datar, suaranya penuh tekanan. Perlahan, tangan Alya yang gemetar meraih map biru yang tergeletak di atas meja. Ketika ia membuka map tersebut, matanya langsung menangkap tulisan besar di bagian atas halaman: Kontrak Pernikahan. Di bawahnya tertera beberapa poin yang tertulis rapi, tetapi setiap kalimat terasa seperti duri yang menusuk harga dirinya. Semuanya terdengar seperti perjanjian yang merendahkan — seolah dirinya tidak lebih dari sekadar alat tukar. Alya menelan ludah, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, di hadapan lelaki bernama Jonathan Arsenio itu, kelemahan hanyalah hal yang akan semakin mempermalukannya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments