LOGINNadin, seorang bidan honorer muda yang baru saja bekerja di sebuah puskesmas sederhana di desa nya. mendapatkan pekerjaan itu bukan suatu hal yang mudah, namun Nadin harus bisa menerima pahitnya peghinaan dikala dirinya menikahi seorang pria sederhana yang ibunya tidak menyukai Nadin karena pekerjaan sebagai seorang bidan honorer biasa. bukan hanya sang mertua saja, namun semua anggota keluarga suaminya menganggap bahwa pekerjaan Nadin adalah pekerjaan yang tidak bergengsi.
View MoreHujan baru saja reda sore itu, meninggalkan aroma tanah basah yang meruap ke udara. Nadin duduk di kursi kayu ruang tamu rumah besar bercat krem pucat, rumah mertuanya. Perasaan campur aduk menyeruak dalam dadanya: bahagia karena akhirnya resmi menjadi istri Rama, tapi juga canggung, sebab ia tahu sejak awal bahwa pernikahan mereka tidak sepenuhnya disambut hangat oleh keluarga suaminya.
Nadin masih mengenakan kebaya sederhana, rambutnya disanggul rapi, namun hatinya resah. Beberapa jam lalu ia masih duduk di pelaminan, tersenyum terhadap tamu yang memberi selamat. Kini hanya ada Nadin, Rama dan tatapan tajam ibu mertuanya. "Jadi ini menantuku?" suara Bu Rahayu datar, dingin, tanpa senyum. Tatapan matanya menyapu Nadin dari ujung kepala hingga kaki. "Bidan, tapi honorer, kan?" Nadin menunduk. Ada nada sinis yang jelas terasa. "Iya, Bu. Saya baru ditempatkan di puskesmas kecamatan," jawab Nadin lirih, mencoba terdengar sopan. Bu Rahayu menghela napas panjang, lalu melirik Rama. "Kamu ini, Rama. Dari dulu Ibu bilang carilah istri yang bisa bikin hidupmu naik derajat. Eh, yang dipilih malah bidan honorer. Gajinya berapa sih, Nak? Paling cuma cukup buat beli beras." Ucapan itu menusuk hati Nadin. Rasanya panas menjalari dadanya, namun ia berusaha tersenyum. "Insya Allah, Bu, rezeki bisa dicari bersama." Alih-alih melunak, Bu Rahayu justru tersenyum miring. "Iya, rezeki bisa dicari. Tapi kalau dasarnya cuma honorer, kapan mau cukup? Kamu itu perempuan, harusnya pikir panjang. Kasihan suamimu." Rama yang sejak tadi diam, mengengam tangan Nadin di bawah meja. Isyarat itu seakan berkata, sabar, jangan diambil hati. Namun, malam pertama sebagai menantu di rumah baru itu justru terasa berat. Nadin tak pernah menyangka dirinya akan langsung mendapat luka pertama dari ibu mertuanya sendiri. Keesokan harinya, Nadin bangun lebih pagi. Ia ingin menunjukkan kesungguhannya sebagai istri dan menantu. Ia ke dapur, mencoba membantu mertua menyiapkan sarapan. "Bu, boleh saya bantu masak?" tanyanya hati-hati. Bu Rahayu menoleh sekilas, lalu mengangkat alis. "Kamu bisa masak?" "Insya Allah bisa, Bu. Memang nggak jago, tapi..." "Sudah, nggak usah. Nanti malah bikin repot. Kamu kan sibuk kerja, katanya mau jadi bidan hebat, ya sudah fokus saja. Urusan dapur biar Ibu." Sekali lagi, ada nada meremehkan. Nadin merasa tidak dianggap, seolah keberadaannya di rumah itu hanya beban. Ia ingin membalas, tapi memilih menahan. Ia tahu, sebagai menantu, terlalu cepat melawan hanya akan memperburuk keadaan. Hari berganti minggu. Nadin mulai menjalani rutinitasnya sebagai bidan honorer. Setiap pagi ia berangkat ke puskesmas kecamatan dengan motor tua peninggalan ayahnya. Gajinya kecil, kadang bahkan telat cair, tapi Nadin selalu pulang dengan cerita penuh semangat: menolong ibu melahirkan, memeriksa balita, atau sekadar memberi penyuluhan kesehatan. Namun di rumah, semangat itu selalu dipatahkan. Suatu sore, Bu Rahayu sedang berbincang dengan beberapa tetangga di teras. Nadin baru pulang kerja, masih mengenakan seragam putihnya yang mulai pudar warnanya. "Wah, baru pulang kerja ya, Mbak Nadin?" sapa salah satu tetangga. Nadin tersenyum, "Iya, Bu." Tapi sebelum ia sempat duduk, Bu Rahayu sudah menimpali dengan tawa hambar. "Iya, kerja sih kerja. Tapi tahu sendiri, cuma honorer. Dapat gajinya paling buat beli bensin motornya itu." Beberapa ibu terdiam, ada yang tertawa kecil, ada pula yang menatap Nadin dengan rasa kasihan. Nadin tersenyum kaku, meski dalam hatinya runtuh. Setelah tamu pulang, Nadin masuk kamar dengan mata berkaca-kaca. "Rama..." suaranya bergetar saat suaminya masuk. "Kenapa Ibu selalu begitu ke aku? Aku salah apa?" Rama menarik napas dalam, duduk di sampingnya. "Kamu nggak salah, Nad. Ibu cuma... ya, memang begitu orangnya. Dia selalu ingin yang terbaik buat aku." "Yang terbaik itu apa, Ram? Yang gajinya besar? Yang statusnya tinggi? Bukankah seorang istri itu yang penting harus patuh dan setia sama suaminya?." Rama terdiam. Ia tidak bisa menyangkal. Nadin pun terisak pelan, menyadari bahwa perjuangannya sebagai bidan honorer bukan hanya melawan pandangan masyarakat, tapi juga rasa tidak diterima di rumah mertuanya sendiri. Hari demi hari, kata-kata tajam dari mertua dan bisikan tetangga terus menghantui. "Bidan kok honorer, kasihan suaminya." "Kalau mau hidup enak, jangan nikah sama pegawai honorer." "Bisa apa sih gajinya? Paling kalah sama tukang bangunan harian." Kalimat-kalimat itu membekas di telinga Nadin. Kadang ia ingin menyerah, berhenti bekerja, lalu mencari pekerjaan lain yang lebih dianggap. Namun setiap kali ia membantu persalinan, mendengar tangisan pertama seorang bayi, melihat senyum lega seorang ibu, Nadin kembali kekuatannya. Baginya, menjadi bidan bukan sekadar soal gaji. Ini adalah panggilan jiwa. Tapi akankah mertua dan masyarakat pernah melihat itu? Malam itu, sebelum tidur, Nadin menatap wajah Ardi yang sudah terlelap. Dalam hati, ia berbisik, Aku akan buktikan, Ram. Aku mungkin cuma bidan honorer, tapi suatu hari semua orang akan tahu arti pengabdian ini. Aku bukan perempuan lemah seperti yang mereka pikirkan. Dan dengan tekad itu, Nadin memejamkan mata, menyimpan luka sekaligus menyiapkan diri untuk hari-hari berat yang masih menantinya. Malam semakin larut. Nadin duduk sendirian di teras rumah mertua, ditemani suara jangkrik dan aroma tanah basah yang masih tersisa setelah hujan sore tadi. Rama sudah tidur di kamar karena kelelahan, sementara Bu Rahayu masih terdengar berbicara di ruang tengah lewat telepon. Sesekali terdengar nada tinggi suaranya, seperti biasa-tegas, keras, dan penuh gengsi. Nadin mengusap lengannya sendiri. Udara dingin menusuk kulit, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil. Lebih karena perasaan terasing di rumah yang seharusnya menjadi rumahnya juga. "Menjadi istri itu sudah sulit," batinnya, "tapi menjadi menantu di rumah yang tidak benar-benar menerimaku... rasanya seperti berjalan di atas duri." Ia teringat wajah ibunya di kampung, yang sempat memeluknya erat sebelum ia dibawa ke rumah Rama. "Nadin sayang, nak. Kamu harus kuat. Orang menikah bukan hanya dengan suami, tapi juga dengan keluarganya. Kalau ada yang meremehkanmu, buktikan dengan kesabaran dan kerja keras." Kalimat itu menguatkan, tapi tetap saja, hatinya rapuh. Nadin menatap tangannya sendiri. Tangan ini tadi siang menolong seorang ibu muda di puskesmas yang nyaris melahirkan di ruang tunggu. Meski hanya bidan honorer, tangannya sudah berkali-kali menyentuh batas hidup dan mati. Bukankah itu cukup mulia? Tapi kenapa orang-orang masih melihatnya sebelah mata? Keesokan paginya, suara keras Bu Rahayu membangunkannya. "Rama! Kamu jangan manja sama istrimu. Suruh dia belajar mengurus rumah. Masa semua Ibu yang kerjakan?" Nadin segera bangun, menyingkap selimut, dan bergegas ke dapur. Ia ingin menunjukkan itikad baik. Tapi ketika sampai di sana, Bu Rahayu sudah menata piring dan memasak sayur. Wajahnya masam saat melihat Nadin datang. "Baru bangun? Kalau orang desa itu biasanya sudah bangun subuh. Bantu suaminya, bantu mertuanya. Jangan cuma bisa kerja di luar lalu pulang bawa badan capek," katanya sambil mengaduk kuah sayur. Nadin menunduk. "Maaf, Bu. Saya akan bangun lebih pagi besok." "Ah, percuma. Bidan honorer sibuknya sok-sokan saja. Kerjanya nggak seberapa, gajinya juga kecil, tapi pulang selalu capek. Coba kalau PNS, beda cerita. Ada masa depan." Kata-kata itu menusuk lagi. Nadin menelan ludah, mencoba menahan air mata. Kalau saja bukan mertua yang bicara, mungkin ia sudah pergi meninggalkan dapur. Tapi ia tahu, di sinilah ujian barunya dimulai. Siang harinya, Nadin mendapat panggilan mendadak dari puskesmas. Seorang ibu hamil dari desa tetangga mengalami kontraksi lebih cepat dari perkiraan. Nadin segera berpamitan. "Bu, saya dipanggil ke puskesmas. Ada persalinan darurat," katanya sambil meraih tas kecil berisi peralatan sederhana. Bu Rahayu hanya menoleh sekikas lalu mendengus. "Ya sudah, sana. Tapi jangan berharap kamu dapat bayaran besar. Orang desa paling ngasihmu apa? Beras, ayam, atau sekadar ucapan terima kasih. Kalau mau hidup enak, bukan begitu caranya." Nadin tersenyum kaku, meski hatinya sakit. Ia tahu benar, seringkali ia memang pulang hanya dengan sekantong sayuran atau seikat pisang. Tapi bagi Nadin, setiap tangisan bayi yang lahir adalah hadiah paling berharga. Rama yang ikut mendengar hanya bisa diam, menatap istrinya penuh iba. Di puskesmas, Nadin bekerja dengan cekatan. Tangannya gemetar sebentar saat pertama kali melihat kepala bayi mulai keluar, tapi ia segera menguasai diri. "Ibu, tarik napas dalam... keluarkan pelan-pelan. Bagus, Bu. Sedikit lagi..." Tak lama kemudian, tangisan nyaring bayi perempuan memenuhi ruangan. Ibu itu menangis lega, suaminya sujud syukur di lantai. Mereka berterima kasih berkali-kali, bahkan memeluk Nadin dengan haru. "Terima kasih, Bu Bidan. Kalau bukan karena Anda, mungkin istri saya tak selamat." Nadin tersenyum, matanya ikut berkaca-kaca. Saat-saat seperti inilah yang membuatnya bertahan, meski direndahkan mertua, meski digaji rendah, meski dicibir tetangga. Baginya, inilah panggilan jiwa. Namun, kebahagiaan itu sirna begitu ia pulang ke rumah. Di ruang tengah, Bu Rahayu sudah duduk menunggu dengan wajah dingin. "Lama sekali. Kamu tahu nggak, Rama tadi makan siang cuma dengan tempe goreng. Kamu ke mana saja? Kalau sudah nikah, kewajiban pertama itu mengurus suami, baru kerja. Jangan dibalik." "Maaf, Bu," suara Nadin bergetar. "Tadi ada persalinan darurat, Bu. Nyawa ibu dan bayi bisa terancam kalau saya terlambat." "Tapi tetap saja, apa gunanya? Kamu cuma honorer. Orang kalau butuh bidan yang benar-benar ahli, pasti cari yang sudah PNS. Kamu itu hanya cadangan, Nadin. Cadangan!" Kata itu menghantam seperti palu. Cadangan, seolah-olah hidupnya hanya sisa, hanya pengisi, tak pernah dianggap utama. Nadin akhirnya masuk kamar, menutup pintu, dan membiarkan air matanya jatuh deras. Di balik pintu, ia mendengar suara mertuanya lagi, bercampur dengan suara Rama yang mencoba menenangkan. "Terserah kamu, Ram. Tapi Ibu nggak yakin Nadin bisa jadi istri yang membanggakan. Hidupmu akan berat kalau terus bersamanya." Mata Nadin merah. Dadanya sesak, seperti ada batu besar yang menindih. Kata-kata itu terus bergema di kepalanya, menusuk lebih dalam daripada sekadar ucapan. Nadin meremas ujung kerudungnya, mencoba menahan perih yang kian meluap. "Apa aku memang seburuk itu di mata mereka?" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Ia ingin menutup telinga, tapi suara dari luar tetap jelas. Suara Rama, yang biasanya menenangkan, kini terdengar gamang. "Bu, Nadin itu baik. Dia berusaha keras buat menyesuaikan diri. Jangan gitu..." Rama mencoba menegaskan, tapi suaranya terdengar ragu, seakan ikut terhimpit di antara kasih pada istrinya dan bakti pada ibunya. Air mata Nadin makin deras. Ia berharap Rama membelanya habis-habisan, tapi nyatanya, laki-laki itu terdengar seperti seseorang yang sedang menimbang, bukan berdiri tegak untuknya. Nadin mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu mendekap bantal erat-erat. Hatinya ingin berlari jauh, keluar dari rumah itu, dari pandangan penuh penilaian, dari ucapan yang membuatnya merasa kecil. Tapi di sisi lain, ada cinta untuk Rama yang membuatnya bertahan. "Aku kuat... aku harus kuat..." ucapnya, meski suaranya bergetar. Namun, di dalam lubuk hatinya, Nadin tahu luka itu tidak akan mudah sembuh. Dan ia mulai bertanya-tanya, apakah cintanya pada Rama cukup untuk melawan rasa sakit karena tidak pernah dianggap pantas oleh keluarganya sendiri.Pagi itu udara terasa berat. Nadin bangun lebih awal, matanya masih sembab karena kurang tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa hari ini akan lebih baik. Namun, doa itu belum sempat selesai ketika kabar buruk datang di puskesmas. Kegaduhan di Puskesmas membuat Nadin yang tidak sepenuh nya siap menghadapi sedikit kewalahan. Seorang ibu muda masuk dengan wajah panik sekaligus marah. Di gendongannya, seorang balita tampak lemas. Suaranya menggema di ruangan. "Mana Bu Nadim? Saya mau ketemu sekarang!" Nadin yang sedang mengatur berkas pasien menoleh terkejut. Ia segera menghampiri dengan langkah cepat. "Saya di sini, Bu. Ada apa dengan anaknya?" tanyanya, berusaha tenang. Ibu itu menatapnya dengan mata berapi-api. "Anak saya makin parah setelah saya ikuti saran Ibu! Katanya cukup dikasih obat penurun panas, tapi sekarang malah kejang! Kalau sampai kenapa-kenapa, Ibu tanggung jawab!" Semua mata di puskesmas menoleh. Beberapa pasien berbisik-bisik, sebagian tampak tegang. Nadin m
Pagi itu, Nadin kembali ke puskesmas dengan wajah letih, namun matanya menyimpan api kecil yang baru saja menyala. Ia berjanji pada dirinya sendiri: Aku tidak boleh terus tenggelam. Kalau aku diam, aku akan hancur. Aku harus berdiri, meski pelan-pelan. Suasana puskesmas ramai. Pasien antre, sebagian ibu hamil, sebagian lagi membawa anak-anak mereka yang demam atau batuk pilek. Nadin langsung sigap, mengenakan jas putihnya yang sederhana namun selalu rapi. "Bu Bidan, tolong lihat anak saya. Semalam panasnya tinggi sekali," ujar seorang ibu muda dengan wajah panik. Nadin meraih termometer dan dengan sabar memeriksa anak itu. "Tenang, Bu. Mari kita cek dulu suhunya, jangan khawatir berlebihan." Setelah memeriksa, ia memberikan penjelasan singkat tentang perawatan rumah yang bisa dilakukan sambil menunggu resep obat dari dokter. Ibu muda itu mengangguk penuh syukur. "Terima kasih banyak, Bu. Kalau sama Ibu, rasanya tenang," katanya. Ucapan sederhana itu membuat hati Nadin menghangat
Nadin terbangun dengan mata sembab. Malam tadi ia tidak benar-benar tidur. Setiap kali memejamkan mata, suara mertuanya kembali terngiang-tajam, dingin, dan penuh penilaian. Kata-kata itu menempel seperti duri, sulit dicabut. Ia melirik Rama yang masih terlelap di sampingnya. Wajah suaminya terlihat tenang, seakan tidak ada beban. Nadin menahan helaan napas panjang. Dalam hati ia iri pada ketenangan itu. Baginya, hidup di rumah ini seperti berjalan di atas pecahan kaca-setiap langkah bisa melukai. Pagi menjelang. Nadin tetap bangkit, meski tubuhnya terasa berat. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan sederhana. Tangan yang biasanya lincah kini gemetar, hampir menjatuhkan piring. "Assalamualaikum," suara mertuanya terdengar dari belakang. Nadin buru-buru menoleh. "Waalaikumsalam, Bu." Senyum yang ia pasang terasa kaku, sekadar formalitas. Mertuanya hanya melirik, lalu duduk di kursi ruang makan dengan tatapan menilai. "Rama suka sarapan yang agak berat, jangan cuma nasi sama tempe g
Hujan baru saja reda sore itu, meninggalkan aroma tanah basah yang meruap ke udara. Nadin duduk di kursi kayu ruang tamu rumah besar bercat krem pucat, rumah mertuanya. Perasaan campur aduk menyeruak dalam dadanya: bahagia karena akhirnya resmi menjadi istri Rama, tapi juga canggung, sebab ia tahu sejak awal bahwa pernikahan mereka tidak sepenuhnya disambut hangat oleh keluarga suaminya. Nadin masih mengenakan kebaya sederhana, rambutnya disanggul rapi, namun hatinya resah. Beberapa jam lalu ia masih duduk di pelaminan, tersenyum terhadap tamu yang memberi selamat. Kini hanya ada Nadin, Rama dan tatapan tajam ibu mertuanya. "Jadi ini menantuku?" suara Bu Rahayu datar, dingin, tanpa senyum. Tatapan matanya menyapu Nadin dari ujung kepala hingga kaki. "Bidan, tapi honorer, kan?" Nadin menunduk. Ada nada sinis yang jelas terasa. "Iya, Bu. Saya baru ditempatkan di puskesmas kecamatan," jawab Nadin lirih, mencoba terdengar sopan. Bu Rahayu menghela napas panjang, lalu melirik Rama. "Ka






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.