MANTAN SUAMI MATI GAYA

MANTAN SUAMI MATI GAYA

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-08-09
Oleh:  PuspitaBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
7Bab
6Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Setelah beberapa tahun menikah tanpa dikaruniai keturunan, Tama tiba-tiba memutuskan untuk menceraikan istrinya. Keputusan itu disampaikannya dengan dingin, membuat sang istri terkejut dan tak percaya. Awalnya, Tama pernah berjanji bahwa ia tidak akan mempermasalahkan soal anak, namun kini ia berdalih bahwa keluarganya menginginkan keturunan dan ia berniat menikah lagi. Sang istri, yang sedih namun tetap berusaha tegar, menuntut penjelasan yang masuk akal. Namun Tama tetap kukuh pada keputusannya dan bahkan melarang istrinya menuntut harta gono-gini. Dengan tenang, sang istri menyerahkan sebuah amplop yang selama ini ia simpan—hasil pemeriksaan rumah sakit yang membuktikan bahwa sebenarnya bukan dirinya yang bermasalah dalam hal keturunan. Di luar dugaan, percakapan mereka ternyata disaksikan oleh ibu mertua dan keluarga Tama yang sengaja menguping. Fakta mengejutkan yang dibawa oleh sang istri mengguncang Tama, membuatnya sadar bahwa ia telah salah menilai dan membuat keputusan yang gegabah. Namun semua sudah terlambat, karena sang istri sudah siap melepaskannya tanpa penyesalan.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

"Berkemaslah. Besok aku akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu."

Aku yang sedang membersihkan wajah refleks menghentikan gerakan. Kutatap wajah Mas Tama-suamiku– lewat pantulan cermin dengan tatapan tak percaya.

"Apa maksudmu, Mas?"

Pria yang menikahiku beberapa tahun yang lalu itu berdiri, kemudian membalas menatapku.

"Mulai hari ini aku talak kamu," jawabnya lagi.

Kapas yang ada di tanganku terlepas. Detak jantung yang awalnya normal, langsung memacu dengan cepat.

"Bercandamu nggak lucu, Mas," sahutku. Mencoba untuk menanggapinya dengan santai, walaupun hatiku kebat-kebit tak karuan.

"Aku tidak sedang bercanda." Suaranya terdengar datar dan serius. "Seperti kata orang tuamu dulu. Mereka memintaku mengantarmu pulang jika sudah tak bisa lagi melanjutkan hubungan ini."

"Mas ...." Aku yang sudah dikuasai oleh emosi menghadap penuh padanya. Aku benar-benar tak suka dengan leluconnya kali ini.

"Aku serius." Dia nampak biasa saja ketika mengucapkannya, sama sekali tak terlihat gejolak emosi di wajahnya. "Setelah aku berpikir, memang lebih baik kita berpisah," imbuhnya tanpa ragu.

Untuk beberapa saat tatapan kami bertemu. Aku melihat keseriusan di sorot matanya. Tak ada lagi tatapan penuh cinta yang membuatku tergila-gila.

"Beri aku alasan yang logis, Mas," ucapku akhirnya setelah sepersekian detik membisu.

Walaupun rasanya ingin menangis, aku berusaha untuk meredamnya. Aku tak mau merengek, apalagi memintanya untuk memikirkan ulang tentang apa yang dikatakannya. Dia cukup dewasa untuk tidak main-main dengan hal itu.

"Alasannya jelas, karena kamu tak bisa memberiku keturunan."

Setelah hening beberapa saat, tawaku meledak. Menurutku ini benar-benar lucu.

"Mengapa baru sekarang? Lalu ke mana kata-katamu dulu, yang katanya takkan mempermasalahkan soal keturunan?"

"Ini bukan hanya tentang aku. Ini tentang keluarga besarku yang memang menginginkan keturunan."

Aku menangkap keanehan dalam keadaan ini. Bagaimana mungkin tiba-tiba Mas Tama ingin bercerai. Pasti ada yang tidak beres. Aku yakin itu, akan tetapi aku tak bisa mengatakannya.

"Selama ini orang tuaku selalu menuruti keinginanku. Jadi, mengapa aku tak bisa menuruti keinginan mereka yang ingin memiliki keturunan dariku."

"Oh, jadi sekarang kamu sudah mau menikah lagi? Gitu aja pakai muter-muter ngomongnya," sinisku.

"Iya, aku butuh wanita yang mampu memberikan keturunan," sahutnya dengan cepat. Terlihat jelas kilatan amarah di sorot matanya.

"Baiklah, aku bisa apa jika itu alasannya. Aku tak bisa menjanjikan sesuatu yang bukan kehendakku kan?"

"Baguslah kalau kamu sadar. Oh iya, karena kita tidak ada keturunan dan selama ini aku yang bekerja, maka jangan sekali-kali meminta harta gono-gini."

Lagi, sesaat aku menahan napas mendengar penuturannya.

"Harusnya kalimat itu tidak keluar dari seseorang yang berpendidikan seperti kamu. Baiklah, aku takkan meminta harta gono-gini, tapi tolong kembalikan lima tahunku yang terbuang karena sudah mengabdi dan melayanimu."

Mas Tama nampak kesal mendengar jawabanku. Mungkin dia tak menyangka aku akan mengatakannya, kemudian tanpa bicara lagi, Mas Tama melangkah menuju pintu.

"Sebelum kita berpisah, ada sesuatu yang ingin kutunjukan padamu. Anggap saja ini hadiah perpisahan dariku." Ucapanku berhasil menghentikan langkahnya.

Bergegas aku membuka lemari. Setelah itu mengambil sesuatu yang selama beberapa tahun tersimpan rapi di dalamnya.

"Ini." Aku menyerahkan sebuah amplop yang bertuliskan nama sebuah rumah sakit.

"Masih ingat kan kenapa kita datang ke rumah sakit itu. Baca dengan teliti, jangan sampai ada yang tertinggal." Setelah berucap aku melangkah maju, kemudian membuka pintu.

Aku ingin Mas Tama segera keluar dari kamar. Namun, pemandangan di luar kamar membuatku mengerutkan dahi. Ada mama mertua, adik ipar dan seorang wanita yang tak kukenal tengah berdiri sambil bersikap seolah sedang serius mendengarkan sesuatu.

"Mama?"

Mama Hani gelagapan. "Kebetulan saja kami lewat dan berhenti ketika mendengar keributan," sahutnya beralasan.

"Keributan? Siapa yang ribut? Kok aku nggak dengar?"

"Mungkin telinga kamu bermasalah. Karena kami tadi benar-benar mendengar keributan dari sini."

"Jadi Mama memang menunggu kami ribut? Jadi, Mama sudah tahu jika Mas Tama akan menalakku?" tanyaku menohok.

Wanita baya itu melengos. Tanpa menjawab dia langsung mengajak anak dan wanita yang bersamanya itu pergi.

"Ini tidak mungkin!" dengus Mas Tama. Lelaki itu terlihat shock dengan apa yang baru saja diketahuinya.

"Ini tidak mungkin kan, Nin?!" Mas Tama mendekatiku. Dia terlihat panik dan emosi.

"Sayang sekali, itulah kebenarannya. Jadi, jika nanti kamu menikah dan istrimu itu hamil. Maka, bisa dipastikan jika itu bukan darah dagingmu."

"Omong kosong apa ini, Nin!" Mas Tama mencengkeram daguku.

Dengan susah paya aku melepas cengkramannya. "Kalau kamu tidak percaya, lakukanlah lagi, tes lagi. Gampang kan? Tak perlu marah begitu, apalagi menyakitiku."

"Tidak mungkin!" Lagi-lagi Mas Tama menolak kebenarannya. Hingga dia pergi dengan tergesa meninggalkanku. "Ma!" teriaknya memekakkan gendang telinga. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku pun segera menutup pintu, kemudian menguncinya. Rasa sesak dan sakit yang sedari tadi kutahan, tumpah sudah. Tak ada hati yang tak patah, tak ada yang baik-baik saja jika seseorang yang dicintai memutuskan untuk berpisah. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Setiap hari bersama, setiap hari merajut kasih. Kini, aku harus melepaskan semua itu, tentu saja tidak mudah.

Setelah sekian menit meratapi nasib, aku pun bergegas membereskan barang-barang milikku. Sakit ini jangan sampai kusimpan lama-lama, tak ada untungnya juga. Aku yakinkan diri, jika ini memang jalan hidupku. Bisa, aku pasti bisa menjalaninya. Tekadku.

Aku terjaga setelah terdengar gedoran pintu. Kepala langsung pening karena baru saja mata ini terpejam. Aku pikir itu Mas Tama, jadi aku enggan untuk membuka pintu. Namun, gedoran itu tak kunjung berhenti dan malah semakin sering dan keras.

"Buka pintunya, Nin!"

Tak perlu mempertajam pendengaran untuk mengetahui siapa yang berada dibalik pintu. Itu adalah suara Mama mertua. Mau apa dia? Sebelum aku beranjak dari kasur, sempat kulirik jam yang menempel di dinding. Pukul setengah satu, gerutuku.

"Nin!"

"Ada apa, Ma?" tanyaku setelah pintu terbuka sedikit.

"Cepat pergi dari sini. Kamu sudah dicerai Tama kan? Tak usah menunggu besok, takkan ada yang berubah. Tama tetap akan menceraikanmu."

"Mama jangan khawatir, besok aku akan langsung pergi dari sini."

"Kelamaan nunggu besok, sekarang aja! Mau kupaksa atau pergi baik-baik?" ancamnya. Matanya melotot dengan kedua tangan yang berkacak pinggang.

"Saya akan pulang diantar Mas Tama, itulah kesepakatannya."

"Jangan mimpi! Tama takkan melalukan itu. Sebagai seorang ibu, aku takkan mengizinkannya melakukan itu."

"Mas Tama memang sudah menalakku, tapi bukan berarti dia lepas tanggung jawab denganku. Semua ada prosedurnya, Ma. Talak yang diucapkan Mas Tama masih lemah."

"Halah, aku tak percaya. Tentu saja akan banyak usaha yang akan kamu lakukan agar Tama mau menerimamu lagi kan? Aku yakin itu." Wanita baya itu bersungut-sungut.

"Udah ya, Ma. Sekarang Mama istirahat. Kupastikan besok aku akan pergi dari sini."

"Jangan keras kepala kamu, Nin!" Mama mertuaku berusaha mendorong pintu.

"Mama juga jangan keras kepala. Ini sudah malam, Ma." Aku menahan pintu dengan sekuat tenaga.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
7 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status