Share

Paman Datang

“Kita tidak bisa terus-terusan menaruh Ayu di sini, kan? Bagaimana pun dia harus kembali ke rumahnya lagi!”

Sudah sebulan penuh setelah Ayah dikuburkan dan Ibu ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Beberapa orang saksi mata memberitahu kalau Ibu terlihat di halte bus beberapa saat setelah menikam Ayah. Yang lainnya masih yakin kalau Ibu bersembunyi di sekitar rumah mereka dan akan muncul saat tidak lagi diperhatikan. Yang mana pun saat kasusnya ini kemudian perlahan lenyap, aku adalah orang pertama yang akan dicari oleh ibunya.

Aku baru saja pulang sekolah dan menanggalkan sepatunya di bale-bale depan rumah. Wisnu temanku telah lebih dulu masuk dan aku sama sekali tidak tahu apakah boleh masuk ke dalam dan bergabung. Jelas-jelas pembahasan keluarga Wisnu adalah diriku yang menjadi beban.

Di kampung ini tidak ada orang yang kaya, semuanya hidup pas-pasan dari bertani dan berladang. Kalau pun ada yang kaya mereka meninggalkan rumah dan membuat kediaman lain yang lebih bagus di pinggiran kota. Jadi menambah seorang anak yang kehilangan kedua orang tua dengan tiba-tiba sepertiku hanya akan membuat semua orang sulit saja. Apa yang harus kulakukan?

“Assalamualaikum!” Seseorang menyentak konsentrasiku yang tengah menguping pembicaraan pada orang dewasa dari keluarga Wisnu di dalam.

Obrolan di dalam berhenti. Sebelum itu aku menyadari kalau yang datang adalah adik dari ayahku.

“PAMAN!” teriakku riang.

Aku berlari bertelanjang kaki untuk bisa memeluk pria yang berusia 33 tahun itu. Biasanya pamanku ini jarang sekali datang ke rumah. Kadang dua kali setahun ia pulang, menginap beberapa hari dan pergi lagi di antar Ayah.

“Ayu ... Paman kangen sama kamu! Apa kamu sehat?” tanya pamanku sambil membalas pelukanku sekilas dan kemudian melepaskannya. Ia membelai-belai pucak kepalaku hingga rambutku  yang rapi berantakan. “Paman sudah dengar!”

Kata-kata terakhir pamannya membuatku mundur cukup jauh. Apa Paman akan menyalahkanku? Paman adalah adik Ayah yang paling disayangi. Aku tidak pernah melihat saat Ayah marah pada Paman ketika berkunjung. Hubungan keduanya sangat harmonis.

“Loh, Ayu kok murung?” tanya pamanku.

“Paman ... tidak marah sama Ayu? Yang nikam Ayah kan Ibu!” Aku dengan berani berkata. Bagaimana pun hubungan Paman dan Ibu juga tidak begitu baik. Walau Paman masih memperlakukanku dengan sangat baik.

“Apa Ayu yang menyuruh Ibu?” tanya Paman.

Aku mengeleng. Tentu saja tidak. Kalau saja aku tahu Ibu mengambil parang untuk melakukan hal jahat itu pada Ayah maka pasti akan kuhentikan.

“Kalau begitu jangan berkata kalau Ayu salah! Ayu hanya anak kecil berusia 10 tahun. Ibu salah! Tetapi Ayu tidak!” Tangan Paman yang besar dan kasar mengapai kepalaku lagi selama beberapa saat menguncangnya.

“Loh, kamu toh Gus!” Ayah Wisnu muncul di pintu dan tampak tidak senang dengan kemunculan Paman. Aneh sekali menurutku. Karena Paman tidak pernah pulang lama dari beberapa hari dan selama itu selalu berada di rumah bersama Ayah.

“Ya, aku baru dari kantor polisi ditemani Pak RT lalu dia menyuruhku kemari untuk melihat Ayu!” kata pamanku. Ia menunduk dan berbisik padaku. “Ganti bajumu, Yu, lalu bereskan barang-barangmu ya!”

Mendengar itu aku merasa senang. Artinya aku akan dibawa Paman. Keluarga Wisnu, temanku ini memang baik. Tetapi, mereka memiliki empat anak. Kakak perempuan Wisnu, Wisnu sendiri, dan dua adik Wisnu yang berusia lima dan tiga tahun. Menambahkanku dalam daftar perhatian mereka pasti sangat menyulitkan.

Aku mengangguk segera dan berlari ke tempat sepatuku ditinggalkan. Kuambil kedua pasang sepatu itu dan kemudian kubawa ke dalam. Kakak perempuan Wisnu tampak heran melihat kegembiraanku.

Seperti yang diperintahkan Paman aku menyiapkan semua barangku. Pakaian kumasukan dengan rapi ke dalam tas kain yang dibawakan oleh ayah Wisnu dari rumah. Buku-buku sekolah kujejalkan ke dalam tas sekolah. Sepatu yang telah kupakai masuk ke dalam kantong kresek. Semuanya dengan susah payah kuseret ke pintu keluar. Paman masih bicara dengan Ayah Wisnu.

Sayup-sayup aku bisa mendengar obrolan kedua orang itu. Tampaknya Ayah Wisnu tidak suka aku pergi dengan Paman. Aku tidak jelas alasannya!

“Kalau kamu tidak bisa mengurusnya, pulangkan dia kemari! Jangan menelantarkannya!” suruh Ayah Wisnu.

“Ya, ya! Aku akan melakukan sesuai arahan kalian. Aku juga tidak bermaksud untuk melakukan hal buruk padanya. Bagaimana pun dia keponakanku!” kata Paman. “Kamu sudah siap, Ayu?”

Aku mengangguk senang. Lalu kupeluk Ibu Wisnu dan kakak perempuannya. “Makasih ya, Buk, Kak!”

Keduanya menyeka air mata yang tumpah dengan ujung jari. Lalu kepalaku diusap lagi. Paman mengambil tas yang kujatuhkan dan membawanya dengan enteng ke depan. Aku menyalami ayah Wisnu terakhir kali dan Wisnu.

“Alah, kenapa kamu malah nangis sih! Kita kan bakal ketemu di sekolah nanti!” kata Wisnu sambil menyilangkan tangan di depan dada.

“Ah, benar!” kataku. Sebagai ganti salaman kupukul bahu Wisnu keras-keras.

Tetapi, sayangnya itu adalah terakhir kalinya aku melihat Wisnu. Jauh sekali akhirnya kami bertemu nanti. Saat itu aku bukanlah Ayu yang berusia 10 tahun lagi. Bukan seorang gadis naif lagi.

***

Rumah Paman terletak jauh ke arah pusat kota. Bukan kampung kecil yang tempat aku tinggal dulu. Tidak ada sawah sejauh mata memandang, perumahaan tampak rapat. Bahkan setiap tanah kosong memiliki pemiliknya.

“Nanti Paman akan urus kepindahan sekolahmu! Selama itu Paman akan antar jemput kamu sekolah! Berapa lama lagi ujian kenaikan kelas?” tanya Paman padaku.

“Seminggu lagi Paman!” jawabku.

Paman menghentikan motornya di depan rumah petak kecil. Di depan rumah berdiri sebuah kerangka jemuran. Beberapa pakaian terjemur di sana dan tampaknya hampir kering. Setelah menurunkan koperku dan memastikan aku turun dengan aman, Paman mendorong motor bututnya ke tepi kerangka jemuran. Motor itu mau tak mau bersandar di dana.

Paman mengetuk pintu, tanpa mengucap salam langsung masuk ke dalam rumah. Seorang wanita yang mengenakan celanan pendek di atas lutut muncul. Lipstiknya merah menyala dan ia memakai baju tanpa lengan.

“Ini istri Paman!” kata Paman memperkenalkannya padaku.

Aku benar-benar tidak tahu kalau Paman sudah menikah. Ayah juga tidak pernah menyebutkan hal itu. Tetapi, wanita dengan lipstik merah menyala itu adalah bibiku. Sebagai keponakan aku harus bersikap baik supaya tidak menyulitkan Paman.

“Ini Ayu, keponakanku! Kamu tahu kan yang aku bilang waktu itu?”

Rupanya Paman sudah memberitahu identitasku pada Bibi. Jadi aku tersenyum manis dan menunduk dalam memperkenalkan namaku lagi pada wanita itu.

“Oh, anak kakakmu yang mati itu ya, Darus?”

Paman meletakan telunjuknya di depan bibir dan mengeleng. Wanita dengan lipstik merah menyala itu membelalakan mata dan mengangguk. “Hai, sayang, aku Lusi, istri Darus!”

“Ya Bibi Lusi!” kataku riang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status