Share

Saat Ayu Sudah Besar

Katanya Bibi Lusi adalah istri Paman. Tetapi, setiap kali Paman berangkat bekerja keluar kota Bibi Lusi selalu didatangi oleh pria. Jika hanya satu saja maka aku pasti berpikir kalau orang yang datang adalah kenalan Paman yang diminta untuk menjaga kami berdua. Tidak salah, sebab kami berdua adalah perempuan. Namun, orang yang datang selalu saja berbeda-beda.

“Bi ....” Aku muncul tepat sebelum Bi Lusi menutup pintu depan.

Aku akan dikunci lagi tampaknya. Aku ingin tahu, tetapi takut. Aku hanya menumpang di rumah ini. Bagaimana kalau Bi Lusi kemudian malah mengusirku kalau banyak tanya? Mau ke mana aku setelah ini? Aku jelas tak bisa kembali ke kampung. Tidak ada siapapun lagi di sana.

“Kamu tunggu di rumah. Kunci pintu dari dalam, kalau ada orang yang panggil Bibi ... diam saja! Jangan disahuti!” tegas Bi Lusi padaku.

Ini masih pesan yang sama seperti pesan-pesan sebelumnya. Aku mengangguk paham dan menerima kunci rumah yang diberikan oleh Bi Lusi. Seperti yang diperintahkan, aku mengunci pintu dari dalam. Melalui jendela aku melihat Bi Lusi dirangkul pria yang mencarinya dari belakang. Sepanjang penglihatanku, istri pamanku itu selalu tertawa.

“Teman Bi Lusi mungkin?” gumamku sambil mengangkat bahu. Bukan karena tidak tahu, tapi pura-pura tak tahu.

Setelah sendirian saja, aku jadi mengantuk. Aku beringsut dan tidur di ruang tamu. Sebelumnya, aku mematikan lampu rumah.

Rasanya aku belum lama tertidur saat kemudian mendengar seseorang memanggil dari luar. Memang yang dipanggil bukan namaku, tetapi aku terganggu karena panggilan tersebut tidak hanya sekali dua kali saja.

Setengah sadar hampir saja aku menyahuti. Aku menutup mulut dengan kedua tangan untuk menahan suara. Lalu aku membiarkan tubuhnya melorot ke lantai sebab suara-suara itu menjadi bayangan di jendela.

“Apa kamu bisa melihat sesuatu di dalam?” tanya bayangan tersebut pada yang lainnya.

“Tidak! Lampunya dimatikan. Lusi mungkin sudah keluar lagi! Sial!” bayangannya yang lain menyahuti dan memaki.

Di dalam hati aku bertanya, Siapa ya? 

“Kenapa sih susah sekali mendapatkan kesempatan untuk berjumpa dengan Lusi. Dia itu primadona di sini. Aku mau main dengannya sekali saja! Tetapi, dia malah selalu bersama dengan Darus kalau bajingan itu ada di kota ini!”

“Aku dengar dia bahkan sampai menitipkan keponakannya, kan, di sini?”

“Siapa? Si Darus itu?”

“Ya, para pria yang diizinkan Lusi main berkata kalau ada anak perempuan di dalam rumah ini. Kamu yakin tidak lihat siapapun di dalam?”

“Tidak!”

“Masa Lusi bawa anak kecil waktu main sih? Mau diajarin jadi pelacur juga?” Lalu kedua bayangan itu tertawa terbahak-bahak dan kemudian menjauh.

Aku mengetahuinya melalui suara tawa kedua bayangan yang mulai jauh dan kemudian hilang. Sekarang setelah merasa nyaman kembali. Aku ingin tahu apa yang baru saja dikatakan oleh orang-orang yang datang.

“Diajari jadi Pelacur? Memang ada pekerjaan yang seperti itu?” gumamku penasaran.

Kalau sudah sekolah lagi, aku akan bertanya apa itu pelacur pada guru. Aku yakin tidak akan bisa menjadi guru atau pun pekerjaan lainnya karena bodoh.

***

“Paman, kapan akan mendaftarkan aku sekolah?”

Aku jadi takut sekarang. Aku sudah sebulan di rumah paman, tetapi sama sekali tidak ada kabar soal pemindahan dari sekolah lama ke sekolah baru.

“Sabarlah! Soalnya sudah untuk memindahkanmu dari tempat yang lama ke sini!” Pamanku memijit-mijit dahinya. Tampaknya sangat letih.

Aku berpendapat kalau diriku pasti sudah menyusahkan sang paman. Aku mendengar dari bibi kalau hidup di kota sangat mahal. Mereka saat ini juga mengontrak dan tidak bisa memiliki rumah sendiri.

“Kalau begitu Paman, apa Ayu boleh membantu Bi Lusi kerja?” tanyaku yang lekas mendapatkan tatapan ingin tahu dari Paman.

Pamanku mengerjap. Ia kemudian melambai memanggilku. Kemudian disuruhnya aku berdiri tegap cukup lama di depannya. Selanjutnya aku disuruh berputar. Pada akhirnya sang paman tertawa terbahak-bahak. Padahal sama sekali tidak ada yang lucu di sana. “Memang apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak akan bisa membantu bibimu! Sudahlah di rumah saja jadi anak baik. Kalau mau bantu kamu bersihkan rumah dan belajar memasak. Itu cukup!”

Aku mendadak merasa malu sendiri. Padahal aku merasa bisa melihat sendiri bagaimana bibiku bekerja. Dengan begitu suatu saat kalau melakoni hal yang sama aku tidak akan canggung.

“Baik, Paman!”

Oleh karena itu, yang aku lakukan selanjutnya adalah belajar mengurus rumah dengan sangat baik. Aku bangun pagi-pagi sekali untuk membuatkan sarapan. Membereskan pakaian kotor bibi dan menyiapkan apapun keperluan pamanku saat akan berangkat keluar kota.

Setiap bulan, Paman memberikan uang yang cukup untuk aku jajan. Hingga aku tak pernah terpikir lagi untuk sekolah. Rasanya sekolah hanya akan memberatkan sang paman saja. Sekarang aku sudah bisa membaca dan menulis. Seperti kata paman, itu cukup.

Semakin aku bertambah usia, aku semakin paham dengan pekerjaan yang dilakoni oleh bibi. Aku menjadi sangat malu setiap kali orang-orang bertanya apakah aku akan ikut jejak bibi.

Aku selalu berpikir ke mana harus pergi untuk dapat melarikan diri. Tetapi, menyadari kalau tidak ada tempat lain yang bisa dituju. Kalau begitu yang bisa kulakukan adalah mengumpulkan uang untuk hidup sendiri.

Aku tidak membenci pamannya. Tetapi, aku benci hidup di bawah bayang-bayang prostitusi.

BRAK! BRAK!

Aku terkejut bukan main. Bibinya tidak ada saat ini dan aku sendirian saja di rumah. Biasanya orang-orang yang datang untuk mengetuk pintu mencari Bibi. Tapi, setelah berumur 15 tahun aku bisa mendengar kalau orang-orang itu mencari diriku juga.

Aku meloncat ke pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Kalau-kalau orang-orang itu mendobrak masuk.

“AYU INI PAMAN!”

Lega perasaanku begitu mengetahui kalau orang yang memukul-mukul pintu adalah Paman. “YA PAMAN! AYU AKAN KE DEPAN SEKARANG!”

Aku mengambil paju lengan panjang yang agak longgar dan celana training panjang juga. Setelah berumur 15 tahun, aku lebih merasa aman jika memakai pakaian yang tertutup seperti ini.

Begitu pintu rumah kontrakan dibuka, pamanku langsung hampir jatuh ke lantai. “Kenapa kamu lama sekali membukakannya?” gerutuan pria itu.

Tapi, dengan cepat ekspresi kesal pamanku berubah menjadi seringaian bahagia. Aku kenal dengan itu semua. Aku kenal bagaimana paman berekspresi saat menerima uang dari suatu tempat.

“Setelah kamu datang ke sini, aku mendapatkan berkat! Sekarang aku juga mendapatkan berkat! Syukurlah aku tidak menjadikanmu seperti Lusi, kamu jadi terjual dengan sangat mahal sampai seperti ini. Ayu ... kamu itu benar-benar membuatku kaya!” katanya sambil menguncang-nguncang bahuku.

Tapi tunggu, apa yang sebenarnya Paman maksud?

Dari semua hal yang dikatakan oleh sang paman, aku hanya mengerti sedikit hal. Salah satunya adalah kata “dijual”. Badanku gemetar karena takut. Aku berdehem sedikit, menghilangkan apapun yang menghalangi rongga tenggorokan.

“Paman, apa maksudnya dijual? Apa yang dijual?” Suaraku gemetar, satu kalimat yang akan didengarnya selanjutnya akan membuatku mungkin menangis dengan keras.

Pamannya diam sebentar dan kini menarikku ke dalam pelukannya. “Ada seseorang yang mencari istri bayaran, aku mendengarnya dari temanku dan aku mengajukanmu! Dia sangat kaya ... apa kamu tahu? Dia sangat kaya!”

“Paman ... aku bukan barang!” Aku berbisik.

Tapi, jelas kalau pamanku tak akan mendengar. Sebab pria itu telah bernyanyi-nyanyi tak jelas saat ini sambil merangkul aku di dalam pelukannya.

“Pantas saja abangku tidak berniat membuangmu dan memperlakukanmu dengan sangat baik! Kamu memang membawa keberuntungan Ayu! Benar-benar beruntung!”

Aku menangis, bukan karena senang. Padahal aku sudah membuat cita-cita yang lain setelah  tahu apa kata pelacur. Benar kata orang, perkataan itu adalah doa. Seharusnya aku mencari tahu dulu apa arti kata yang ingin diucapkan sebelum meyakininya sebagai cita-cita.

“Ayu, Lusi akan mendandani kamu yang cantik besok! Mereka akan datang menjemputmu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status