Home / Romansa / AKU BUKAN ANAK AYAH! / Apa Ayu Masih Bisa Ketemu Ayah?

Share

Apa Ayu Masih Bisa Ketemu Ayah?

Author: ArgaNov
last update Last Updated: 2024-01-24 22:51:17

“Saat kami sampai di rumah hanya Mayat ayahnya Ayu saja yang ada di ruang tamu. Tapi ibunya sudah pergi! Parang yang digunakannya untuk menusuk ada di dapur, masih bersimbah darah!”

Perkataan itu disampaikan secara bisik-bisik antara para bapak-bapak yang berkumpul. Maksudnya mungkin supaya aku tidak dengar. Tetapi sayang sekali, pendengaranku lebih tajam. Aku menarik kakiku sedikit lagi supaya bisa menyembunyikan kepalaku di sana. Aku bagaikana seekor kucing yang ketakutan saat ini.

“Terus bagaimana?”

“Aku sudah panggil kepala desa! Beliau sudah datang dengan polisi ke sana!” Mereka semua berhenti sebentar bicara dan menoleh padaku secara serempak. “Polisi sudah membawa mayatnya. Ayu jelas ndak mungkin kita suruh pulang ke sana!”

Kalau pulang ke rumah dan seluruh polisi itu meninggalkan Ayu sendiri, bisa jadi ibunya kembali. Aku tak mau menyusul ayahnya seperti yang dikatakan Ibu. “Ayu boleh tidur di sini hari ini kan, Kak?” Aku menguncang tangan kakak perempuan temannya Wis, gadis itu hanya menatap sambil tersenyum saja.

“Wisnu, tolong bikinkan teh untuk Ayu, ya! Kakak mau ke depan!”

“Ya!” Wisnu dan kakak perempuannya hampir serempak berdiri.

Sekarang aku hanya tinggal sendiri saja di tengah-tengah rumah itu. Aku mendorong diri hingga punggungku menyentuh dinding dan kemudian membenamkan kepala di antara kedua kaki.

Wisnu adalah orang pertama yang kembali dengan gelas berisi teh hangat. Di letakannya di depanku dengan hati-hati. “Yu, minum dulu!” katanya. Suaranya jelas-jelas berisikan perasaan iba padaku.

Kami masih 10 tahun, tidak begitu paham dengan yang terjadi sebenarnya. Tetapi, yang jelas aku tahu kalau orang mati tidak akan bisa hidup lagi. Ayahku sudah tidak ada.

“Ini pasti karena aku nakal, kan, Wis?” tanyaku.

“Eh, aku lebih nakal darimu! Tapi, ibuku tidak marah pada Bapak! Itu bukan karena kamu nakal!” tegas Wisnu. Ia tampak berpikir keras menemukan masalah yang terjadi hingga ibuku menusuk Ayah. “Aku tidak paham, nanti tanya saja sama bapakku!” kata Wisnu akhirnya menyerah juga.

Aku mengambil gelas berisi teh hangat yang dibawa Wisnu tadi. Barulah setelah telapak tanganku menyentuh gelas itu seluruh tubuhku gemetar dan aku mulai menangis. Hanya saja aku tidak paham kenapa menangis. Aku terkejut, sedih, tetapi juga marah pada Ibu. Aku merasakan begitu banyak emosi ditubuh anak berusia 10 tahun.

Ibu Wisnu dan kakak perempuannya yang tadi muncul dari arah depan tempat para lelaki berkumpul. Ia mengambil gelas teh yang belum sempat kuteguk. Diangkatnya tubuh kurusku ke atas pangkuannya. Ia memeluk sambil mengusap-ngusap punggungku kini.

“Sudah! Sudah, yu! Jangan menangis! Ayu boleh tidur di sini kok malam ini. Tidur di kamar Kak Anis ya?”

Aku mengangguk dan menjawab dengan suara parau. Kemudian kulanjutkan tangisanku. Aku tak tahu berapa lama menangis, tetapi saat sudah kelelahan ibu Wisnu mengangkatku ke kamar Kak Anis, membaringkan aku diranjang dan menyuruh tidur.

Ketika aku bangun kembali, Kak Anis ada di sampingku. Matanya terpejam dan ia sama sekali tidak terganggu saat aku menyeret diri untuk bangun dari tempat tidur dan turun. Di luar sudah sepi. Ayah Wisnu ada di tengah ruangan, tidur beralaskan tikar. Tampaknya ia berjaga kalau-kalau ibuku mendobrak masuk ke dalam dengan sebuah parang.

Aku tak ingin membangunkannya. Jadi aku berjalan berjingkat dengan hati-hati, pergi menuju dapur. Tenggorokanku rasanya sakit sekali karena menangis tanpa minum sedikit pun. Selama beberapa saat aku terdiam di depan pintu dapur, memperhatikan isinya. Rak piring dan teko air yang letaknya hampir berdekatan membuatku tenang.

Masih berjingkat aku mendekati rak piring, mengambil gelas dan pergi mengisinya dengan air di dalam teko. Aku baru seteguk meminum air dari dalam gelas saat mendengar suara seseorang memanggil dari belakang.

“Ayu!” Suaranya pelan, seperti bisikan. Kupikir yang datang adalah ayah Wisnu. Aku mungkin saja membangunkannya tadi.

Tetapi, bukan salah satu dari pemilik rumah yang ada di belakangku. Memang tidak jelas, tetapi bayangan Ayah yang ada di sana. Hanya saja aku melihat sendiri saat Ayah ditikam. Aku melihat mata Ayah yang terbuka dan tidak bergerak lagi.

Bukannya senang karena akhirnya aku bisa melhat Ayah lagi, aku memilih mundur. Bahkan anak kecil berusia 10 tahun tahu kalau yang kulihat bukan ayahku. Gelas di tangaku jatuh dan kemudian aku berteriak ketakutan.

***

Aku bisa merasakan sesuatu yang dingin menyentuh dahiku. Kucoba untuk membuka mata sekuat tenaga dan melihat apa yang terjadi. Aku kembali berada di dalam kamar Kak Anis. Di sisi kanan ranjang ada ibunya Wisnu. Di sisi kiri yang dekat dengan pintu ada lebih banyak orang.  Salah satunya adalah Bapak Wisnu dan yang lainnya mungkin polisi.

Aku kenal hampir seluruh orang di tempat ini, tetapi tak mengenal pria yang berdiri di samping bapak Wisnu.

“Jadi dia demam tinggi sekali?” Pria bersuara serak dan terkesan dalam itu bertanya, mengabaikanku kali ini.

“Ya, saya menemukannya pingsan di dapur setelah berteriak tengah malam tadi, Pak! Dia sadar tadi pagi dan kami sudah memanggil mantri ke sini. Katanya cuma kaget saja!” jelas bapak Wisnu.

Pria yang tinggi besar itu diam sebentar, kupikir berpikir. “Apa dia bertemu ibunya semalam?”

“Tidak! Itu Ayah! Saya lihat Ayah!” kataku dengan suara serak. Lalu aku batuk tak henti-hentinya dan setelah itu para pria itu memutuskan keluar dari kamar Kak Anis, meninggalkanku dalam pengawasan ibu Wisnu.

Wanita itu dengan lembut mendudukkanku di ranjang dan memberi minum. Setelah itu menidurkanku kembali dengan hati-hati. Kain basah yang tadi di atas kepalaku juga dikembalikan. Setelah dirasanya kalau aku nyaman, baru ia bicara.

“Yu, ayahmu dikubur hari ini! Keluarga ayahmu kemarin malam menolak untuk autopsi dan mau memakamkannya.”

Aku terperanjat mendengarnya. Ayah mau dikubur. Kalau begitu aku juga harus melihatnya. Aku tidak mau terbaring di sini dan kemudian hanya mendengar saja. Aku memaksakan diri untuk bangkit, tetapi tidak berhasil.

“Saya mau lihat Ayah!” kataku pelan dan batuk lagi.

“Nanti kita lihat ayahmu kalau sudah sembuh. Sekarang kamu tidak boleh bangun dulu!” Ibunya Wisnu berkata dengan tegas.

Mendengar hal itu yang bisa aku lakukan hanya menangis saja. Aku benar-benar ingin melihat Ayah untuk terakhir kalinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AKU BUKAN ANAK AYAH!   Pilihan

    Barusan aku dengar apa?Aku menatap Gatra yang memandangku balik tanpa keraguan. Aku tahu kalau Gatra bukanlah seorang pembohong. Tetapi, menceraikan Alina sepertinya bukan hal yang mungkin.Bagaimana pun masalah yang menampar kehidupanku bagaikan angin topan adalah karena pernyataan Alina yang dengan terang-terangan tidak mau memiliki anak. Pria di depanku ini kemudian “membeliku” untuk menjadi rahim istrinya.Aku tertawa, tetapi sama sekali tidak bahagia. “Ini sama sekali tidak lucu, Tuan Gatra!” kataku padanya.“Aku sama sekali tidak sedang bercanda tuh! Apa menurutmu tampak seperti ini bercanda?” Gatra benar-benar tak tersenyum sedikit pun kulihat.Aku mengeleng pelan. “Kamu bercanda dengan hidupku menggunakan tampang seperti itu. Apa kamu ingat? Apa perlu kupanggil Pak Prana supaya memberitahumu!”Gatra sama sekali tidak gentar. Tatapannya masih sama saja seperti sebelumnya, tanpa keraguan. Dilain pihak, aku yang mulai ragu pada diriku sendiri sekarang. Bagaimana aku merasa bahag

  • AKU BUKAN ANAK AYAH!   Butuh Lebih Dari Cinta Saja

    Ayu mencintai Anda, Tuan! Tetapi, dia penuh dengan ketakutan saat ini! Dia takut Anda akan membuangnya. Hubungan kalian tidak dimulai dengan cara yang bagus. Bahkan ketika itu saya berpikir kalau Anda akan merasa bosan dengannya dan kemudian mencampakkannya. Yah, lalu saya memang ingin membawanya jauh dari Anda saat tahu kalau dia adalah putri kandung saja!Benar. Aku paham betul semua yang dikatakan Pak Prana. Aku juga bisa merasakan perasaan Ayu. Tetapi, jalan hidup wanita itu telah membuatnya tak bisa mempercayai dengan mudah. Ia telah dikhianati beberapa kali sebelum kemudian bertemu denganku.“Bahkan dia menangis di dalam tidurnya!” kataku pelan.Aku memandang garis pantai yang hitam legam. Kemudian memutuskan untuk mempersiapkan semuanya dengan benar. Semuanya harus dimulai dari pertemuan yang bagus lagi. Aku harus melakukannya kalau ingin memperoleh rasa kepercayaan Ayu.“Pak, bisa aku minta nomor ponsel Anda?”Pak Prana sepertinya tengah berusaha mencari tahu apa yang kurencan

  • AKU BUKAN ANAK AYAH!   Aku Mencintaimu, Aku Akan Katakan Berulang Kali

    Apa aku melakukan kesalahan? Aku jelas pergi seperti yang diinginkan?Aku sangat terkejut begitu melihat Gatra di halaman. Tanpa mempedulikan apapun, aku berlari pergi. Tapi, aku bisa tahu kalau orang-orang itu berteriak-teriak mencegahku untuk berlari. Hal yang tidak kuhiraukan sama sekali.Namun, pada akhirnya aku tersandung dan tergolek di atas gundukan pasir pantai. Secubit pasir masuk ke dalam mulutku, rasanya tidak menyenangkan dan aku terbatuk-batk karena hal itu.“Apa yang terluka? Ada yang sakit?” Suara penuh kekhawatiran yang kemudian disusul dengan penampakan wajahnya hanya beberapa inci di depan wajahku terlihat.Sial!Dorongan untuk berteriak dan memaki mendesak keluar. Akan tetapi, yang lebih dulu terlaksana adalah menangis. Aku tahu. Sebab pandanganku menjadi kabur karena itu. Aku terisak.“Kita ke rumah sakit! Tidak. Aku melihat tempat praktek dokter saat dalam perjalanan kemari!” katanya sambil mengenggam kedua bahuku, menarikku untuk berdiri.Aku mendorongnya hingga

  • AKU BUKAN ANAK AYAH!   Tidak Ada Tempat Untukmu Kembali

    Aku segera kembali ke rumah, meninggalkan segala pekerjaan yang ada di kantor. Pencarian ini lebih penting. Dan aku benar-benar harus bersiap jika tidak ingin kehilangan Ayu lagi.Suara putraku terdengar begitu aku masuk ke dalam rumah. Tampaknya dia terbangun dari tidurnya atau sudah saatnya anak lelakiku itu makan malam. Beberapa pelayan berlarian dengan nampan. Dan tak lama Oma muncul dari kamar yang harusnya dihuni Ayu dan putraku.“Ada apa, Oma?” tanyaku sedikit binggung karena Oma tampaknya dalam keadaan marah.“Wanita itu … kenapa dia tidak pergi dari rumah ini setelah kamu ceraikan!” teriak Oma di depan wajahku.Aku tahu betul siapa yang Oma maksud. Aku juga tidak mengerti kenapa Alina bertahan di tempat ini setelah kami bercerai. Bahkan sikapnya menjadi lebih baik pada Oma dan aku. Tentu saja itu tidak berlaku pada putraku dan Ayu.“Apalagi yang dilakukannya?”“Aku tidak melakukan apapun!”Aku menoleh lekas ke arah suara yang kukenali sebagai milik Alina. Wanita itu berdiri d

  • AKU BUKAN ANAK AYAH!   Titik Temu

    Berapa lama waktu yang diperlukan manusia untuk melupakan hal yang ingin dilupakan?Selama apapun aku memikirkannya, aku sama sekali tidak memperoleh jawaban dari apa yang aku inginkan. Aku tidak bisa melupakan hal yang ingin kulupakan walau berusaha setiap hari sekuat tenaga.Bagaimana bisa orang-orang berkata dengan mudah kalau manusia harus melangkah maju?Sudah tiga bulan. Benar. Suah tiga bulan sejak aku meninggalkan rumah Gatra. Luka cesar sudah kering sepenuhnya. Kalau aku merenung masih akan tiba-tiba berdenyut, tetapi hanya itu saja. Tidak ada hal yang lebih lebih dari itu.Benarkah? Yah … aku hanya mengatakan sesuatu yang angkuh saja. Sebab setiap kali luka itu berdenyut aku jadi ingat wajah anakku yang mirip Gatra. Aku jadi ingat Oma. Dan saat sendirian, aku jadi ingat suamiku.Ah … apakah aku masih bisa menyebutnya sebagai suamiku sekarang? Aku kabur loh. Aku melarikan diri dari manusia yang aku sebut suamiku itu karena takut. Aku takut harus mendengar dari mulutnya sebuah

  • AKU BUKAN ANAK AYAH!   Kenyataan

    Aku tertidur selama perjalanan. Begitu aku bangun, tak ada satu pun pemandangan yang aku kenali. Semuanya begitu asing, tetapi juga tidak kubenci karena indah.“Ini di mana?” tanyaku pelan sambil menguap dan mengucek mata.Bekas operasi cesarku tiba-tiba saja terasa sedikit nyeri sekarang. Aku mengerang sedikit, menengadah menatap langit-langit mobil. Beberapa kali aku mengambil napas panjang, berusaha menepis rasa sakit yan datang. Lalu pada akhirnya aku berhasil bertahan sedikit.“Kamu baik-baik saja?”Aku berusaha tersenyum pada Pak Prana, tetapi yang berhasil tercipta di mulutku hanyalah seringaian. Perlahan aku beringsut keluar dari mobil. Sedikit pusing saat pertama kali kaki ini menginjak tanah.“Kemarilah, aku akan memapahmu!” kata Pak Prana masih dengan perhatian yang terlihat tulus di matanya.Aku mundur selangkah hingga punggungku terbentur badan mobil. Kehangatan dan perhatiannya mengangguku. Aku tidak terbiasa dengan kebaikan hati seperti yang dipancarkannya saat ini.“Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status