“Saat kami sampai di rumah hanya Mayat ayahnya Ayu saja yang ada di ruang tamu. Tapi ibunya sudah pergi! Parang yang digunakannya untuk menusuk ada di dapur, masih bersimbah darah!”
Perkataan itu disampaikan secara bisik-bisik antara para bapak-bapak yang berkumpul. Maksudnya mungkin supaya aku tidak dengar. Tetapi sayang sekali, pendengaranku lebih tajam. Aku menarik kakiku sedikit lagi supaya bisa menyembunyikan kepalaku di sana. Aku bagaikana seekor kucing yang ketakutan saat ini.
“Terus bagaimana?”
“Aku sudah panggil kepala desa! Beliau sudah datang dengan polisi ke sana!” Mereka semua berhenti sebentar bicara dan menoleh padaku secara serempak. “Polisi sudah membawa mayatnya. Ayu jelas ndak mungkin kita suruh pulang ke sana!”
Kalau pulang ke rumah dan seluruh polisi itu meninggalkan Ayu sendiri, bisa jadi ibunya kembali. Aku tak mau menyusul ayahnya seperti yang dikatakan Ibu. “Ayu boleh tidur di sini hari ini kan, Kak?” Aku menguncang tangan kakak perempuan temannya Wis, gadis itu hanya menatap sambil tersenyum saja.
“Wisnu, tolong bikinkan teh untuk Ayu, ya! Kakak mau ke depan!”
“Ya!” Wisnu dan kakak perempuannya hampir serempak berdiri.
Sekarang aku hanya tinggal sendiri saja di tengah-tengah rumah itu. Aku mendorong diri hingga punggungku menyentuh dinding dan kemudian membenamkan kepala di antara kedua kaki.
Wisnu adalah orang pertama yang kembali dengan gelas berisi teh hangat. Di letakannya di depanku dengan hati-hati. “Yu, minum dulu!” katanya. Suaranya jelas-jelas berisikan perasaan iba padaku.
Kami masih 10 tahun, tidak begitu paham dengan yang terjadi sebenarnya. Tetapi, yang jelas aku tahu kalau orang mati tidak akan bisa hidup lagi. Ayahku sudah tidak ada.
“Ini pasti karena aku nakal, kan, Wis?” tanyaku.
“Eh, aku lebih nakal darimu! Tapi, ibuku tidak marah pada Bapak! Itu bukan karena kamu nakal!” tegas Wisnu. Ia tampak berpikir keras menemukan masalah yang terjadi hingga ibuku menusuk Ayah. “Aku tidak paham, nanti tanya saja sama bapakku!” kata Wisnu akhirnya menyerah juga.
Aku mengambil gelas berisi teh hangat yang dibawa Wisnu tadi. Barulah setelah telapak tanganku menyentuh gelas itu seluruh tubuhku gemetar dan aku mulai menangis. Hanya saja aku tidak paham kenapa menangis. Aku terkejut, sedih, tetapi juga marah pada Ibu. Aku merasakan begitu banyak emosi ditubuh anak berusia 10 tahun.
Ibu Wisnu dan kakak perempuannya yang tadi muncul dari arah depan tempat para lelaki berkumpul. Ia mengambil gelas teh yang belum sempat kuteguk. Diangkatnya tubuh kurusku ke atas pangkuannya. Ia memeluk sambil mengusap-ngusap punggungku kini.
“Sudah! Sudah, yu! Jangan menangis! Ayu boleh tidur di sini kok malam ini. Tidur di kamar Kak Anis ya?”
Aku mengangguk dan menjawab dengan suara parau. Kemudian kulanjutkan tangisanku. Aku tak tahu berapa lama menangis, tetapi saat sudah kelelahan ibu Wisnu mengangkatku ke kamar Kak Anis, membaringkan aku diranjang dan menyuruh tidur.
Ketika aku bangun kembali, Kak Anis ada di sampingku. Matanya terpejam dan ia sama sekali tidak terganggu saat aku menyeret diri untuk bangun dari tempat tidur dan turun. Di luar sudah sepi. Ayah Wisnu ada di tengah ruangan, tidur beralaskan tikar. Tampaknya ia berjaga kalau-kalau ibuku mendobrak masuk ke dalam dengan sebuah parang.
Aku tak ingin membangunkannya. Jadi aku berjalan berjingkat dengan hati-hati, pergi menuju dapur. Tenggorokanku rasanya sakit sekali karena menangis tanpa minum sedikit pun. Selama beberapa saat aku terdiam di depan pintu dapur, memperhatikan isinya. Rak piring dan teko air yang letaknya hampir berdekatan membuatku tenang.
Masih berjingkat aku mendekati rak piring, mengambil gelas dan pergi mengisinya dengan air di dalam teko. Aku baru seteguk meminum air dari dalam gelas saat mendengar suara seseorang memanggil dari belakang.
“Ayu!” Suaranya pelan, seperti bisikan. Kupikir yang datang adalah ayah Wisnu. Aku mungkin saja membangunkannya tadi.
Tetapi, bukan salah satu dari pemilik rumah yang ada di belakangku. Memang tidak jelas, tetapi bayangan Ayah yang ada di sana. Hanya saja aku melihat sendiri saat Ayah ditikam. Aku melihat mata Ayah yang terbuka dan tidak bergerak lagi.
Bukannya senang karena akhirnya aku bisa melhat Ayah lagi, aku memilih mundur. Bahkan anak kecil berusia 10 tahun tahu kalau yang kulihat bukan ayahku. Gelas di tangaku jatuh dan kemudian aku berteriak ketakutan.
***
Aku bisa merasakan sesuatu yang dingin menyentuh dahiku. Kucoba untuk membuka mata sekuat tenaga dan melihat apa yang terjadi. Aku kembali berada di dalam kamar Kak Anis. Di sisi kanan ranjang ada ibunya Wisnu. Di sisi kiri yang dekat dengan pintu ada lebih banyak orang. Salah satunya adalah Bapak Wisnu dan yang lainnya mungkin polisi.
Aku kenal hampir seluruh orang di tempat ini, tetapi tak mengenal pria yang berdiri di samping bapak Wisnu.
“Jadi dia demam tinggi sekali?” Pria bersuara serak dan terkesan dalam itu bertanya, mengabaikanku kali ini.
“Ya, saya menemukannya pingsan di dapur setelah berteriak tengah malam tadi, Pak! Dia sadar tadi pagi dan kami sudah memanggil mantri ke sini. Katanya cuma kaget saja!” jelas bapak Wisnu.
Pria yang tinggi besar itu diam sebentar, kupikir berpikir. “Apa dia bertemu ibunya semalam?”
“Tidak! Itu Ayah! Saya lihat Ayah!” kataku dengan suara serak. Lalu aku batuk tak henti-hentinya dan setelah itu para pria itu memutuskan keluar dari kamar Kak Anis, meninggalkanku dalam pengawasan ibu Wisnu.
Wanita itu dengan lembut mendudukkanku di ranjang dan memberi minum. Setelah itu menidurkanku kembali dengan hati-hati. Kain basah yang tadi di atas kepalaku juga dikembalikan. Setelah dirasanya kalau aku nyaman, baru ia bicara.
“Yu, ayahmu dikubur hari ini! Keluarga ayahmu kemarin malam menolak untuk autopsi dan mau memakamkannya.”
Aku terperanjat mendengarnya. Ayah mau dikubur. Kalau begitu aku juga harus melihatnya. Aku tidak mau terbaring di sini dan kemudian hanya mendengar saja. Aku memaksakan diri untuk bangkit, tetapi tidak berhasil.
“Saya mau lihat Ayah!” kataku pelan dan batuk lagi.
“Nanti kita lihat ayahmu kalau sudah sembuh. Sekarang kamu tidak boleh bangun dulu!” Ibunya Wisnu berkata dengan tegas.
Mendengar hal itu yang bisa aku lakukan hanya menangis saja. Aku benar-benar ingin melihat Ayah untuk terakhir kalinya.
“Kita tidak bisa terus-terusan menaruh Ayu di sini, kan? Bagaimana pun dia harus kembali ke rumahnya lagi!”Sudah sebulan penuh setelah Ayah dikuburkan dan Ibu ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Beberapa orang saksi mata memberitahu kalau Ibu terlihat di halte bus beberapa saat setelah menikam Ayah. Yang lainnya masih yakin kalau Ibu bersembunyi di sekitar rumah mereka dan akan muncul saat tidak lagi diperhatikan. Yang mana pun saat kasusnya ini kemudian perlahan lenyap, aku adalah orang pertama yang akan dicari oleh ibunya.Aku baru saja pulang sekolah dan menanggalkan sepatunya di bale-bale depan rumah. Wisnu temanku telah lebih dulu masuk dan aku sama sekali tidak tahu apakah boleh masuk ke dalam dan bergabung. Jelas-jelas pembahasan keluarga Wisnu adalah diriku yang menjadi beban.Di kampung ini tidak ada orang yang kaya, semuanya hidup pas-pasan dari bertani dan berladang. Kalau pun ada yang kaya mereka meninggalkan rumah dan membuat kediaman lain yang lebih bagus di pinggi
Katanya Bibi Lusi adalah istri Paman. Tetapi, setiap kali Paman berangkat bekerja keluar kota Bibi Lusi selalu didatangi oleh pria. Jika hanya satu saja maka aku pasti berpikir kalau orang yang datang adalah kenalan Paman yang diminta untuk menjaga kami berdua. Tidak salah, sebab kami berdua adalah perempuan. Namun, orang yang datang selalu saja berbeda-beda. “Bi ....” Aku muncul tepat sebelum Bi Lusi menutup pintu depan. Aku akan dikunci lagi tampaknya. Aku ingin tahu, tetapi takut. Aku hanya menumpang di rumah ini. Bagaimana kalau Bi Lusi kemudian malah mengusirku kalau banyak tanya? Mau ke mana aku setelah ini? Aku jelas tak bisa kembali ke kampung. Tidak ada siapapun lagi di sana. “Kamu tunggu di rumah. Kunci pintu dari dalam, kalau ada orang yang panggil Bibi ... diam saja! Jangan disahuti!” tegas Bi Lusi padaku. Ini masih pesan yang sama seperti pesan-pesan sebelumnya. Aku mengangguk paham dan menerima kunci rumah yang diberikan oleh Bi Lusi. Seperti yang diperintahkan, aku m
Pemberitahuan yang bagaikan ledakan granat itu membuatku nyaris tidak bisa berpikir. Seolah mendukung ledakan tersebut, petir menyambar dengan sangat hebat dan kemudian hujan mulai turun dengan lebat. Aku nyaris tidak tidur semalam. “Yu!” Aku mengangkat kepala, tidak tahu apa yang dirasakan kini. “Ya, Bi!” “Sana mandi! Kita harus mulai sekarang. Orang-orang itu akan datang sekitar tengah hari. Dan aku harus pergi ke suatu tempat juga sebelum itu!” Bibinya menyusun kuas, kotak-kotak pipih berisi riasan, juga beberapa pakaian di dekat lemari meja rias dalam kamar sempit milik Bibi. “Apa Ayu boleh nggak pergi, Bi! Ayu akan lakukan pekerjaan rumah dengan lebih baik!” Kali ini aku merasa seperti tercekik. Gerakan tangan bibiku berhenti. Ia tidak berbalik, tetapi menatapku dari pantulan di cermin. “Apa mengurusi rumah ini bisa menghasilkan uang? Jangan bercanda! Kalau kamu nggak mau dijual ke orang sembarangan, maka cepat mandi sekarang!” Nada suara wanita yang biasanya ramah itu dingi
“Siapa namamu?” Aku duduk tegang di samping bajingan yang telah membeliku. Orang itu pasti berpikir kalau aku akan mengatakan semua hal yang diinginkan. Tidak akan! Bahkan jika pria di sampingku ini memukuli aku seperti Ibu dulu, ia takkan mendapatkan apa-apa. Persetan dengan keselamatan yang telah diberikan. Siapa yang selamat? Jelas-jelas saat ini aku terperangkap! “Tidak mau jawab, ya?” Lalu pria itu terkekeh-kekeh tertawa. Aku merinding mendengarnya. Sementara sopir yang tadi menenangkan saat aku masuk ke dalam mobil hanya bisa melirik melalui kaca spion tengah. Harusnya pria tua itu membiarkan aku lari saja. Dengan begitu mereka tidak akan bertemu lagi. Dengan begitu sopir itu tidak akan membuat dosa. “Kamu bisu?” tanya pria itu padaku. “Tadi sepertinya kamu berteriak keras sekali!” Yang keluar dari mulut pria gagah itu hanyalah ejekan. “Biarkan aku pergi!” “Hah?” Setelah menyuarakan ketidakpercayaan pria yang membeliku itu tertawa terbahak-bahak lagi. Tampaknya aku semacam
“Bapak sama saja jahatnya sama pria tadi!” tudingku. Sopir tak dikenal yang tadi menyuruh aku masuk ke dalam mobil sedikit terkejut. “Maaf, ya Neng, saya cuma disuruh!” Ia tampak kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa. “Tapi, Tuan bukan orang jahat kok Neng!” katanya menegaskan. Aku ingin sekali tertawa. “Mana ada orang baik-baik yang membeli manusia! Saya memang bukan orang berpendidikan, Pak, tapi saya juga tahu yang benar dan yang salah!” Aku bisa melihat si sopir itu mencengkram kemudi erat-erat. Ia melirik ke arah luar dan kemudian membuka sabuk pengamannya. “Percaya sama Bapak, dia bukan orang jahat! Sekarang kita turun dulu ya Neng!” ajak si bapak. Ingin sekali aku berteriak tidak mau. Tetapi, berada di dalam sini hanya akan memutus kesempatannya untuk melarikan diri. Pemilik mobil ini pasti mengunciku di dalam. Jika keluar aku juga akan mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi sebenarnya. Pelan-pelan aku mengangguk setuju. “Nama Bapak, Prana. Kamu bisa panggi
Aku sudah mengutus Pak Prana untuk mengurus gadis yang baru dibawa. Aku yakin kalau sopir yang bekerja sudah lama di rumah ini akan melakukan tugas dengan baik. Semalam aku sudah meminta asistenku untuk menghubungi pengacara yang akan membuatkan surat kontrak untuk Ayu. Aku hanya membutuhkan gadis itu untuk mengandung anakku. Setelah anakku lahir, akan kukeluarkan dari rumah ini gadis itudan diberi fasilitas untuk hidup dengan nyaman. Syaratnya Ayu tidak boleh muncul di hadapan anakku nanti dan memberitahu tentang dirinya. “Pak, Tuan Erlan sudah ada di ruang tengah!” Asistenku memberitahu saat ia telah meminum kopiku sampai habis. “Terima kasih!” jawabku. Aku menarik serbet dan mengelap sedikit bibirku. Asistenku mundur memberi jalan. Aku berpapasan dengan nenekku di lorong. Wanita tua itu memalingkan wajah ke arah lain saat aku mendekat. Bagiku itu semua sesuatu yang luar biasa, karena dengan begitu aku tidak harus memikirkan apapun. Erlando Atmajaya adalah temanku sejak masih
Kontrak yang aku baca untuk kedua kalinya itu sudah terasa sempurna. Ini adalah penanganan yang tepat untuk seseorang yang akan memberiku dan Alina anak.Aku belum melihat Alina sejak pagi. semalaman aku memang berada di kantorku di lantai 1. Mungkin setelah pulang dari ulang tahun temannya Alina langsung naik ke kamar kami. Lagi pula keberadaannya di kantorku sama sekali tidak membantu.Gadis yang kusuruh panggil oleh Pak Prana rasanya begitu lama datang. Apakah seharusnya aku menempatkannya di kamar tamu yang dekat dengan segala ruang utama?Begitulah, saat aku memikirkan kemungkinan memindahkan gadis itu pintu ruang tengah ini diketuk. Pintu terbuka lebar, aku menoleh ke belakang begitu juga dengan Erlan.Lalu gadis itu muncul dengan cara yang biasa. Hanya saja tepat saat gadis itu berdiri dengan malu-malu dan canggung beberapa langkah dari pintu, seperti muncul cahaya di belakangnya. Seolah-olah Pak Prana menaruh lampu sorot untuk memperkuat esensi gadis itu.Aku terpana. Dan keti
Dokter yang menjemputku ke lobi menyuruhku untuk mengganti pakaian di ruang ganti. Seorang perawat masuk saat ia menutup pintu dan menyerahkan pakaian berwarna putih padaku. Perawat yang sama kemudian memasangkan gelang di tangan kiriku dan memintaku untuk mengikutinya.“Kita akan melakukan serangkaian tes, saya harap Anda mematuhi semua yang dikatakan perawat dan dokter yang bertugas!” dokter yang merupakan kenalan dari tuan memberikan instruksi yang cukup jelas.Hanya saja bukankah seharusnya mereka bertanya kepadaku Apakah aku mau atau tidak melakukan semua tes ini?“Mari lewat sini!” Si perawat menunggu di pintu selanjutnya yang harus kumasuki.Aku dengan sengaja berjalan lambat-lambat ke arah pintu. Tepat sebelum aku melewati pintu tersebut, seorang wanita muncul. Wanita tak dikenal itu sangat cantik.Rupanya hanya aku saja yang tak kenal dengan wanita itu. Dokter yang datang bersamaku menyalami wanita yang datang dengan ramah.“Nyonya Alina! Apakah Anda akan menemani Nona Ayudi