Pemandangan sebuah foto keluarga yang terpajang di ruangan Aslan sedang mencuri perhatian sang pemilik ruangan. Mata teduh itu mengamati satu per satu wajah setiap anggota dalam foto. Ia memulai dari sepupunya yang berjajar berjumlah sembilan orang. Enam laki-laki dan tiga perempuan. Semuanya sudah beranjak dewasa sekarang. Lalu ia turun pada setiap pasangan yang duduk bersanding. Ada empat pasangan. Yakni saudara ayahnya, para paman dan bibi Aslan. Dan yang paling tengah wajah pria tua berambut putih sedang tersenyum memamerkan kewibawaan. 'Setelah sekian lama, baru ku sadari jika foto ini banyak kekurangan. Keluarga Anna belum sekalipun tampak dalam foto keluarga kami. Dan andai saja aku mengenalnya sejak kecil, mungkin perasaan ini tidak akan seperti sekarang. Sangat membuatku sesak jika harus memendam hati pada sepupu sendiri.' Aslan mengusap wajahnya kasar. Berusaha menghilangkan apa yang ada dalam lubuk hatinya.Ia mulai kembali fokus pada pekerjaannya hingg
'Datang ke ruangan ku sekarang.' Pesan dari Mr Riko, ayah Aslan, mendarat di ponsel yang sedang berada dalam genggaman Aslan. Mengetahui pesan mendadak sang ayah dan tak seperti biasa rasa penasaran menghampiri benak Aslan. Mr Riko selalu memberi perintah lewat sekretarisnya jika menyangkut pekerjaan. Aslan menutup pekerjaannya dan meninggalkan ruangan menuju ruangan Mr Riko yang hanya berjarak beberapa ruang dari ruangannya. Kakinya ia langkahkan dengan cepat. Aslan tau, jika ayahnya sudah mengirim pesan pribadi pasti ada sesuatu yang tidak beres.Aslan disuguhkan pemandangan yang membuatnya tercekat saat tiba di balik pintu ruangan ayahnya. Di ruangan itu ada Mr Riko, dan seorang karyawan berseragam office girl sedang duduk di kursi seberang Mr Riko. Posisinya membelakangi Aslan. Gadis itu berhijab dan membuat tebakan Aslan pasti benar, Anna.Gadis itu sepertinya sedang mengeluarkan argumen kritis sehingga mata Mr Riko tajam menatapnya. Aslan menghampiri mereka b
Perasaan aneh yang muncul saat melihat gadis di sebelahnya membuat Aslan bimbang. Perasaan yang sejak dulu ia tepis kini semakin besar. Seperti api yang sedang membara, semakin disiram air maka semakin menjadi. Begitupun apa yang ia rasakan saat ini. Perasaan yang tidak seharusnya bersarang dalam hati membuat Aslan sakit sendiri. Bagaimana tidak, perintah kakeknya 2 bulan lalu mempertemukannya dengan gadis mandiri dan tegas. Gadis yang tidak pernah terpikirkan olehnya, masuk dalam hidupnya melalui cara yang kilat. Ia harus mengikuti gadis itu setiap hari dan melindunginya. Hal yang awalnya terpaksa hingga menjadi kebiasaan Aslan dan itu sangat menyenangkan baginya.Gadis itu diam-diam mencuri perhatiannya dengan pesona dan sikap alami yang ia miliki. Mata coklat hazelnya telah menyihir Aslan menjadi pemuja yang melangkah atas nama perintah sang kakek. Ia sangat menikmati meski secuil hatinya memberontak mengingat Anna adalah sepupunya. Kenyataan yang menyakitkan.A
Anna dengan leluasa memandang pria di hadapannya dengan penuh kekaguman. Ia seakan disuguhkan pemandangan indah yang gratis untuk dinikmati oleh siapapun."Jangan memandangku seperti itu, ehm." Suara Aslan membuyarkan lamunan Anna. Ia dengan cepat menghapus senyum yang selama ini tersimpul dari bibirnya."Salah sendiri pakai tertawa. Kau tahu, senyumanmu bisa memikat gadis manapun." Anna berbisik di samping Aslan. Ia dengan leluasa bisa melakukannya karena mereka sedang di dalam lift. Anna semakin tidak canggung saat berkomunikasi dengan Aslan. Pria itu selalu menggodanya karena sengaja untuk meluruhkan perasaan canggung mengingat ia adalah atasan Anna."Oh, rupanya kau terpikat denganku?" Aslan menghadap gadis di sampingnya dengan kedua tangan di pundak gadis itu.Melihat tingkah Aslan, jantung Anna berdetak kencang. Ia berusaha terlihat netral saat Aslan semakin menatapnya dalam.Anna melirik tangan Aslan yang masih terpaku di pundaknya. Ia mencari alasan
Lepas dari perdebatan di gudang, Aslan pergi meninggalkan ruangan. Dengan jas di tangan kanan dan kemeja putih yang berubah jadi soft mocca akibat debu saat membuka jendela gudang.Aslan berjalan tenang dengan tatapan datar menuju ruang dapur perusahaan. Ia mencari Bu Vivin yang sedang fokus merekap bahan dapur perusahaan yang harus distok ulang."Bu Vivin, ada yang ingin saya bicarakan dengan anda." Suara berat baritone Aslan terdengar dingin Bu Vivin yang tak mengerti akan masalah yang menantinya berjalan patuh mengikuti Aslan hingga ke ruangan Direktur Utama. Bu Vivin setengah heran dengan apa yang telah terjadi pada atasannya itu. Melihat kemejanya yang kotor dan lecek serta jas yang menyangkut di genggaman tangan menambah besar pertanyaan dalam benak Vivin.Wanita berusia 40 tahun itu duduk di seberang menghadap Aslan yang berniat mengintrogasinya."Apa yang dilakukan ketiga anak buah anda di gudang tua lantai dua?" Aslan langsung menuju inti pembicara
Jarak kafe Coffee Break dengan perusahaan sekitar setengah jam. Dalam perjalanan yang lumayan lama, mereka hanya terdiam menikmati jalanan kota yang ramai. Tak ada percakapan satu pun yang menghiasi keduanya. Hanya suara deru mobil dan motor, serta klakson yang sengaja dibunyikan oleh pengemudi ugal-ugalan demi menyalip apapun yang ada di hadapannya.Aslan tampak fokus menyetir, Ia sangat menikmatinya karena sudah lama ia tak mengendarai motor dengan suasana seperti ini. Karena Aslan hanya memakai motor dalam waktu tertentu saja. Misalnya saat telat berangkat ke kantor. Itupun ia pacu motor gedenya dengan kecepatan maksimal. Tanpa menoleh pemandangan sekitar apalagi menikmati.Berbeda dengan Anna. Ia merasa perjalanannya kali ini sangat membosankan. Tidak biasa ia termenung di atas motor saat sedang berboncengan. Bersama Vania, ia biasanya membahas segala hal di atas motor. Dari mulai aktivitasnya hingga kesialan mereka. Bahkan suatu saat mereka pernah ditimpuk botol ol
Suasana di kafe Coffee Break sedang ramai pengunjung. Para karyawan sibuk melayani pelanggan yang rata-rata team kerja atau anak kuliahan yang sedang nongkrong. Kafe ini selalu ramai karena harga nya yang terjangkau bagi kalangan atas mauoun kantong pelajar sekalipun. Ruangan kafe ini luas, bernuansa klasik yang penuh hiasan antik tahun 90-an. Membuat mereka betah berlama-lama disini walau sekedar untuk bernostalgia.Anna mencari tempat duduk di meja nomor 17. Mereka masih belum memesan apapun karena menunggu meja pesanan sepi. Aslan sibuk memainkan ponselnya. Anna yang duduk di seberang Aslan sedang beradu dengan pikirannya mengenai kotak yang tadi ia bawa dari gudang.Ia mengeluarkan kotak merah sebesar buku tulis itu. Ia letakkan di meja. Kotak yang terlihat lusuh dan sudah berumur ia pandangi memutar. Dalam pikirannya yakin bahwa ini adalah kotak berlian warisan keluarga Suryadinata. 'Aku yakin ini adalah kotak berlian itu. Tapi isinya dimana? atau isinya
Suasana kembali sepi setelah kepergian Dandi melanjutkan tugasnya mengontrol kafe. Keheningan kembali mewarnai pertemuan mereka. Hanya Anna yang sesekali menatap Aslan dengan pandangan heran mengingat sejak tadi ia hanya fokus ke layar ponselnya."Apakah kita kesini hanya untuk mengamati orang-orang menikmati minumannya?" Anna memecah keheningan dengan menyuarakan isi hatinya yang sejak tadi sudah sesak. Aslan mengangkat kepala memandang sekitar."Pesan saja sesuatu?" jawabnya singkat."Kamu mau minum apa?" "Terserah." Jawab Aslan tetap singkat. Anna menghela napas dalam. Ia mencoba menahan sabar menghadapi pria di hadapannya.Anna beranjak ke coffee stand yang sudah tampak kosong. Ia bertemu dengan teman lamanya dan berbincang sebentar sembari menunggu pesanannya selesai. Lalu ia tampak berbalik ke arah Aslan dengan membawa nampan berisi minuman.Anna meletakkan nampan di atas meja. Ia ambil coffee latte pesanannya dan meninggalkan satunya untuk A