Mas Bayu memarkir sepeda motornya di sebuah rumah minimalis tak jauh dari kontrakan kami. Pantas saja kalau kami tadi bertemu di supermarket. Ternyata rumah teman kantor Mas Bayu ini cukup dekat. Bisa jadi, sebelumnya aku pernah bertemu dengan beliau entah di mana. Tapi, karena aku tak mengenal beliau, kami tak pernah bertegur sapa. “Ayo, Dik,” ucap Mas Bayu seraya menggandeng tanganku, mendekat ke pintu pagar itu. Tampak cahaya lampu terang berpendar menyinari teras rumah itu. Sementara, di dalam rumah, ruang tamu terlihat gelap. Setelah sekali memencet bel, tak lama lampu ruang tamu menyala. “Lho, Dik Bayu.” Seorang lelaki menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Lalu si empunya rumah membuka pintu itu lebar-lebar tatkala menyadari Mas Bayu yang datang. “Ayu masuk-masuk. Tadi, istri cerita kalau ketemu Mas Bayu di supermarket ya. Kebetulan saat belanja tadi, saya hanya nunggu di parkiran, karena istri ceritanya cuma mau beli buah aja,” jelasnya seraya mempersilahkan kami duduk
“Bagaimana kalau besok Pak Arman dan Ibu kita undang makan bakso di rumah?” Tiba-tiba Mas Bayu memberi usul. Rupanya dia ingat kalau aku siang tadi juga belanja bahan bakso.Aku pun langsung menghiyakan. Pak Arman dan Bu Arman saling berpandangan, lalu mereka tersenyum. “Jangan merepotkan,” sahut Pak Arman. “Nggak repot, Pak. Kebetulan, Dik Anita ini senang masak, Pak. Iya kan, Dik?” ujarnya seraya menatapku disertai senyuman hangatnya. Hatiku menghangat. Dipromosikan seperti ini, aku merasa dihargai dan dianggap oleh Mas Bayu.“Iya Pak, Bu. Sekalian icip-icip bakso, kita bisa ngobrol.” Aku menyahut.Sepanjang jalan, aku tak lagi memikirkan bakso yang besok harus dimasak. Tapi, aku justru memikirkan obrolan apa yang sesuai saat bersama dengan Bu Arman nanti. Aku tak ingin melukai hatinya. Namun aku pun tetap ingin menunjukkan perhatianku padanya. ***“Bener tadi kamu nggak papa?” tanya Mas Bayu saat kami sudah bersiap-siap hendak tidur. “Aku tadi sedih banget, Mas, mendengar cer
Pak Arman dan Bu Arman sudah pulang. Aku dan Mas Bayu membereskan semuanya. Lelaki itu lalu berinisiatif mencuci semua bekas makanan yang tadi telah kita gunakan. Sementara dia menyuruhku istirahat saja. “Kamu pasti lelah. Duduk saja di situ. Aku yang bereskan semuanya,” ucapnya. Kuakui, Mas Bayu memang sangat baik. Jadi, buat apa aku menyimpan segala kecewaku. Bukankah seharusnya aku bersyukur mendapatkannya.Perkara Sinta, harusnya tak lagi kupikirkan. Dia hanyalah duri dalam pernikahan kami. Bukan aku yang menjadi duri di hubungan mereka. Karena hubungan mereka adalah hubungan semu. Sementara hubunganku dengan Mas Bayu terikat norma agama. Ibadah yang menjadi landasannya.“Ngga usah dipikir, Dik kata-kata Pak Arman tadi,” ujar Mas Bayu sambil mengusap lenganku kala dia usai merapikan semua perabot. Aku menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa aku tak memikirkannya, sementara mereka, seolah sangat serius mengatakannya padaku.“Gimana kalau kita bikin tasyakuran saja. Sebentar lagi kan
Acara tasyakuran pun tiba. Meski rencananya hanya sederhana, namun ternyata banyak juga yang kami undang. Bahkan, kami sampai menyewa tenda, antisipasi kalau carport penuh. Aku mengundang beberapa teman kantor yang cukup akrab denganku. Meski aku tidak pernah curhat ke mereka tentang masalahku dengan Mas Bayu, paling tidak, aku pun merasa tenang karena tamu tak hanya didominasi oleh rekan kerja dan teman-teman Mas Bayu saja. Tak lupa kami juga mengundang tetangga sekitar dan jamaah masjid yang sudah akrab dengan Mas Bayu. Kami sengaja mengundang dari jam sepuluh pagi. Rencana pagi diisi dengan siraman rohani oleh salah satu ustadz yang dikenal Mas Bayu. Setelah itu, baru ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah. Sedari pagi, Mama sudah repot mengurus segala sesuatunya. Dari catering hingga ruangan. Mama mendesain bagaimana caranya agar semua tamu dapat duduk dengan nyaman selama berlangsung acara. Orang tuaku tak dapat hadir. Kehadirannya sudah diwakilkan dengan mama mertua
EPILOG “Dedek udah tidur, Bun?” tanya Mas Bayu saat aku keluar kamar. Dia baru pulang dari masjid. Kami masih mengontrak di kontrakan yang lama. Kata Mas Bayu, uangnya ditabung saja agar dapat membeli rumah cash. Dia sudah trauma mencicil rumah, ternyata kalau belum lunas, menjual kembalinya sulit sewaktu-waktu kita butuh uang. Mas Bayu juga jadi dipromosikan jabatannya. Aku mengalah meskipun dia bilang kalau aku menghendaki, dia bisa saja mengajukan pengunduran diri dari kantor itu. Tapi aku tak mau menjadi orang yang kalah. Sinta sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Tak pernah kusangka, justru dia yang mengundurkan diri. Sejak sakit, performanya menurun. Sebenarnya aku juga kasihan. Aku tahu, banyak yang masih menyalahkanku. Aku dianggap sebagai biang sakitnya Sinta, hingga kondisinya saat ini. Meski aku tak pernah merasa berkontribusi. “Berhentilah memikirkan pikiran orang lain, Dik. Selamanya kita tak bisa mengendalikan mereka.” Nasehat Mas Bayu setiap aku kembali lemah,
“Saya terima nikah dan kawinnya Anita Prameswari binti Arya Wiguna dengan maskawin perhiasan emas seberat 20 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”Suara lantang dalam satu tarikan napas tak ayal membuat hati Anita berbunga-bunga. “Saksi sah?”“Sah!”“Sah!”"Sah!"Anita tersenyum lebar. Impiannya nikah muda dan menjadi nyonya Bayu Wicaksono tercapai sudah. Hatinya mengembang bahagia.Lelaki di sebelahnya pun tak henti-hentinya menarik kedua unjung bibirnya ke samping. Memberikan senyum terbaiknya pada semua yang hadir di hari bersejarah bagi kedua mempelai. Suasana bahagia pun menyelimuti perhelatan itu. Para tetamu juga memberikan selamat dengan suka cita karena melihat roman bahagia terhias di wajah kedua mempelai.“Makasih ya, Mas. Akhirnya kita menikah, ” kata Anita saat keduanya usai menunaikan sholat dua rekaat di kamarnya. Diciumnya punggung tangan Bayu yang kini telah resmi menjadi suaminya. Anita tak bisa menyembunyikan binar kebahagiaannya. Berbeda dengan lelaki
“Dik, sebentar lagi akan ada yang kirim lemari sama kasur ya. Baru setelah itu kita pergi belanja,” kata Mas Bayu sambil menurunkan barang-barang dari taxi online yang kami sewa. Sebenarnya kami hanya membawa dua koper tas isi baju-baju kami, dan beberapa dus isi beberapa barang yang aku punya di kosan lama dan beberap kado-kado pernikahan kami. Mas Bayu membawaku mengontrak di rumah petak. Aku tidak tahu kenapa. Aku pun tidak bertanya. Khawatir dia tersinggung. Bagaimanapun aku sekarang tahu posisiku di hatinya. Dia masih bersedia mengontrakkan rumah buat kami saja, aku sangat bersyukur. Mas Bayu sudah selesai menurunkan barang-barang kami. Dia menumpuk barang-barang kami di pojok, sedangkan aku mengamati rumah yang baru saja kami masuki. Rumah dimana aku akan menghabiskan waktu di awal-awal pernikahanku ini. Rumah petak yang kami tinggali terdiri dari tiga sekat. Petak pertama, sepertinya cocok untuk menerima tamu dan aktifitas utama kita lainnya. Petak kedua berukuran lebih sem
Kudorong trolly yang berisi belanjaan. Kutahan airmata untuk tidak keluar. Berkali-kali kuhirup nafas kuat-kuat. Sekilas dari ekor mataku, perempuan itu sudah tidak ada. Mas Bayu kelihatan bergegas menghampiriku. “Sudah semua, Dik?” tanyanya. Aku hanya mengangguk pelan. Kuhempaskan kuat-kuat bayangan yang tadi terlihat. Beruntung Mas Bayu tidak melihat perubahan raut mukaku, atau pura-pura tak melihat. Aku tahu, dia pun tidak menginginkanku. Jadi tidak perlu juga terlalu perhatian kepadaku. “Sini biar aku saja,” katanya sambil mengambil trolly dari tanganku. “Kita makan disini aja sekalian. Di lantai bawah ada foodcourt,” katanya lagi. Dia benar-benar seperti sudah mengenal tempat ini. Kubiarkan dia melangkah di depanku, sedang aku mengekorinya. Toh percuma berjalan di sebelahnya, belum tentu dia akan mengajakku bicara. Apalagi menggandeng tanganku. Aku benar-benar hidup bagai pungguk merindukan bulan. Aku mengikuti saja kemana Mas Bayu berjalan. “Mau masakan Sunda, Padang, ata